HomeNalar PolitikEmil Diskusi Publik, Bikin Tertarik?

Emil Diskusi Publik, Bikin Tertarik?

Kemauan Emil hadir di diskusi publik tentang Masjid yang ia arsiteki tak hanya bisa menguntungkan masyarakat, tetapi juga bisa memberi manfaat bagi dirinya.


Pinterpolitik.com

Suhu di kawasan Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung tiba-tiba meninggi. Penyebabnya bukan perubahan iklim atau sengatan matahari, tetapi kehadiran dua tokoh yang kala itu akan melakukan diskusi publik. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Emil saat itu harus menjawab dan meladeni tudingan yang diarahkan oleh seorang penceramah bernama Rahmat Baequni.

Panggung tersebut boleh jadi tidak terlalu lazim bagi seorang politisi seperti Emil. Topik diskusinya memang sedikit berbau agama seiring dengan tudingan illuminati dari Baequni terhadap Masjid Al Safar Bandung yang diarsiteki Emil.

Meski panggung diskusinya tak lazim, bukan berarti Emil tak bisa melakukan paparan secara maksimal. Dihadapkan dengan massa yang lebih berpihak kepada Baequni, Emil tergolong tampak rapi untuk memberikan jawaban terkait tudingan yang dialamatkan padanya. Aspek argumentasi tampak lebih diutamakan ketimbang memberikan ruang kepada emosi dalam pemaparan tersebut.

Kemauan Emil meladeni tudingan Baequni secara publik kemudian mendapatkan sorotan dari media massa dan media sosial. Beberapa netizen tampak heran mengapa Emil mau menanggapi diskusi publik tak lazim baginya tersebut. Apresiasi kemudian diberikan netizen kepada Emil yang mau menghadiri diskusi publik tersebut.

Tampak bahwa diskusi publik menjadi panggung tersendiri bagi sosok seperti Emil. Lalu, bagaimana sebenarnya diskusi semacam itu dapat memberi manfaat kepadanya?

Kerelaan Emil

Tak ada yang mewajibkan Emil untuk datang ke acara yang berpotensi menyudutkan dirinya tersebut. Kala itu, massa yang hadir memang cenderung lebih berpihak kepada Baequni yang menuduh masjid yang diarsiteki Emil berbau Illuminati.

Duduk perkara tudingan itu muncul akibat desain Masjid Al Safar yang disebut oleh Baequni memiliki ornamen berbau simbol-simbol Illuminati. Bentuk segitiga menjadi salah satu ciri dari aliran tersebut yang menjadi salah satu desain utama dari masjid tersebut.

Akibat tudingan tersebut, publik dibuat cukup heboh dan bingung. Di tengah kehebohan dan kebingungan tersebut, keduanya kemudian bersepakat untuk menghelat dialog terbuka dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar sebagai penengah. Dialog yang dipublikasikan melalui akun media sosial masing-masing ini ternyata mendapatkan perhatian cukup luas dari masyarakat.

Saat diskusi berlangsung, arena tampak tak sepenuhnya berpihak kepadanya. Baequni memulai dialog dengan presentasi yang berisi beberapa poin yang berpotensi membuat Emil tersudut. Hal ini belum termasuk dengan massa yang juga tak berpihak padanya yang terus beberapa kali menyoraki Emil saat memaparkan argumennya.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 

Sikap Emil yang memilih menjawab tudingan Baequni melalui diskusi publik kemudian menuai simpati dari masyarakat terutama di media sosial. Tentu, netizen yang bersepakat dengan Baequni juga ada, tetapi banyak influencer di media sosial yang memuji Emil yang mau hadir di panggung tersebut.

Tak hanya sekadar mengapresiasi argumentasi Emil, apresiasi juga diarahkan kepada Emil yang mau menjaga tradisi berdiskusi. Terlepas dari siapa yang dianggap menang, gelaran tersebut tampak dapat menjadi preseden bahwa gagasan harus dibalas dengan gagasan, bahkan jika menyangkut politisi sekalipun.

Menyentuh Publik

Dalam kadar tertentu, kemauan Emil sebagai politisi menghadiri acara publik tersebut seperti membuka public sphere atau ruang publik yang dikenalkan oleh Juergen Habermas. Di ruang publik seperti ini, siapapun boleh berdiskusi isu apapun dan mengungkapkan pendapatnya secara bebas.

Lebih jauh, kehadiran Emil ini bisa menjadi preseden awal dari sesuatu yang disebut oleh Indra Overland sebagai public brainpower. Hal ini ditandai dengan koeksistensi banyak aktor publik yang dengan bebas mengekspresikan pemikiran mereka.

Menurut Overland, public brainpower ini dapat memiliki manfaat tersendiri bagi masyarakat. Ia menyebut bahwa semakin besar public brainpower maka akan semakin baik pengelolaan masyarakat tersebut terhadap sumber daya alam mereka.

Sebagaimana disebutkan di atas, media, baik media massa maupun media sosial turut berperan dalam memberikan sorotan kepada langkah Emil yang menghadiri diskusi publik tersebut. Tanpa peran media, boleh jadi apresiasi kepada Emil tak akan mengalir sederas ini, dan tertutup oleh massa pendukung Baequni.

Peran media, terutama new media ini digambarkan oleh Diana Owen seorang profesor dari Georgetown University. Ia menggambarkan bagaimana media dapat menjadi tempat bagi ekspresi politik dan juga diskusi publik. Lebih jauh, media juga menjadi sarana yang baik untuk membangun komunitas (community building).

Dalam kondisi yang sangat ideal, penggunanan new media ini penting untuk beberapa hal. New media bisa memfasilitasi pembangunan komunitas dengan membantu orang-orang menemukan pergerakan yang sama, mengidentifikasi kelompok sipil, dan bekerja sama untuk menyelesakan masalah di masyarakat.

Terlepas dari hal itu, new media sebagai fasilitas pembangunan komunitas berpotensi dapat digunakan untuk hal yang lain. Secara spesifik, untuk urusan politik bahkan yang sifatnya elektoral sekalipun dapat menikmati fasilitas pembangunan komunitas melalui new media ini.

Baca juga :  Tiongkok Kolonisasi Bulan, Indonesia Hancur? 

Menjadi Modal

Di satu sisi, publik boleh jadi diuntungkan melalui gelaran diskusi yang dihadiri Emil dan Baequni tersebut. Tradisi diskusi terbuka dapat menjadi awal yang baik untuk membangun public sphere atau public brainpower.

Melalui kemauan Emil melayani diskusi secara publik, publik menjadi pihak yang diuntungkan karena terjadi adu argumen dan gagasan yang terbuka. Mereka dapat menilai dan menentukan sendiri argumen mana yang paling kuat melalui panggung di Pusdai beberapa waktu lalu.

Diskusi publik bisa menjadi panggung awal bagi Ridwan Kamil menuju Pilpres 2024 Click To Tweet

Di sisi yang lain, manfaat juga boleh jadi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat secara umum, tetapi Emil secara spesifik. Sebagaimana disebut di atas, media memiliki peran yang cukup baik dalam mewartakan sikap Emil dalam menghadiri diskusi tersebut.

Dalam kadar tertentu, diskusi publik tersebut dapat komunitas khusus bagi Emil yang kariernya sebagai politisi tengah menanjak. Diskusi publik tersebut bisa saja menumbuhkan beberapa elemen masyarakat yang bersimpati kepada sosoknya.

Para influencer di media sosial yang memiliki banyak pengikut memberikan pujian setinggi langit kepada Emil di diskusi tersebut. Pujian dari influencer ini akan ditangkap oleh para pengikut, sehingga paparan positif terhadap Emil menjadi lebih luas. Pandangan publik terhadap Emil pun berpotensi semakin positif seiring dengan sorotan tersebut.

Kalaupun tak semuanya memuji Emil, diskusi publik itu setidak-tidaknya sudah membuat Emil mendapatkan paparan publik yang cukup luas. Hal ini membuat pengenalan publik terhadapnya berpotensi menjadi lebih luas.

Munculnya komunitas semacam ini bisa saja akan menjadi modal penting bagi kiprah Emil sebagai politisi. Meski masih sangat dini, nama Emil merupakan sosok yang diproyeksikan akan menjadi kandidat potensial untuk memperebutkan kursi kepemipinan nasional dalam Pilpres 2024 nanti.

Diskusi publik beberapa waktu lalu kemudian menjadi sarana pembangunan komunitas paling awal bagi Emil jika benar-benar memutuskan berlaga di Pilpres 2024. Panggung di Pusdai tersebut dapat menjadi panggung paling awal untuk menjaga momentumnya menuju Pilpres 2024.

Pada akhirnya, idealnya memang semua politisi mau membuka diri dengan meladeni argumentasi yang menyudutkannya melalui diskusi publik. Tak hanya baik bagi iklim diskusi, hal ini juga berpotensi baik bagi mereka secara politik. Kita tunggu saja, apakah momentum baik Emil ini bisa berlanjut bahkan hingga 2024. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...