HomeHeadlineBenua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Kecil Besar

Dengarkan artikel berikut

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?


Asia, sebagai benua terbesar di dunia, memiliki 48 negara yang terbagi ke dalam berbagai wilayah yang lebih kecil, seperti Jepang di Asia Timur, dan Indonesia di Asia Tenggara.

Benua ini sering menjadi topik utama dalam diskursus politik internasional karena miliki proyeksi demografis yang luar biasa. Dengan wilayah yang terdiri dari negara-negara dengan populasi terbesar seperti India dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Asia memiliki potensi menjadi pusat ekonomi dan kultur dunia.

Namun uniknya, meskipun sering dianggap sebagai wilayah uang homogen, Asia sebenarnya memiliki perbedaan yang besar di antara negara-negaranya. Jika kita bandingkan Benua Asia dengan Benua Eropa, kita mungkin akan sadar bahwa satu sub-kawasan di Asia saja bisa setara dalam aspek kekayaan kulturalnya dengan Eropa.

Keunikan ini kerap menjadi pertanyaan besar bagi para pemerhati budaya dan modernisme. Mengapa suatu wilayah yang peradaban di dalamnya sebetulnya tidak memiliki kesamaan yang besar dengan satu sama lain bisa dianggap sebagai masyarakat satu benua?

Apakah pemberian nama Benua Asia murni karena praduga atas “homogenitas”nya? Atau justru ada hal lain dalam sejarah yang membuat Benua Asia bisa dianggap sebagai satu wilayah?

image 9

Rasisme dalam Nama “Benua Asia”?

Di dalam bukunya “World Order”, Henry Kissinger, mendiang diplomat dan ahli geopolitik dari Amerika Serikat (AS), mengemukakan pandangan kontroversial tentang Benua Asia. Dia menyoroti bahwa konsep Benua Asia sebenarnya hanya merupakan hasil dari konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh peradaban Barat, terutama dari kolonialisme Eropa.

Baca juga :  Ormas, The Necessary Power?

Menurut Kissinger, pandangan bahwa Asia adalah benua yang terpisah dari Eropa timbul dari sikap arogan yang cenderung rasis orang Eropa dalam melihat wilayah di sekitarnya.

Kissinger mengungkapkan bahwa istilah Asia seringkali dimaknai sebagai julukan untuk orang-orang yang tidak berasal dari Eropa atau dari peradaban pecahan Kekaisaran Romawi serta tidak menganut Agama Kristen. Istilah Asia pada awal-awal masa Kekaisaran Romawi bahkan sudah diberikan ke wilayah Anatolia, atau Turki, di mana wilayah tersebut jadi ujung pengaruh budaya dan politik Romawi.

Pandangan ini menjadi turun temurun di antara elite Eropa dan menyebabkan konsep Benua Asia terbentuk menjadi suatu konsep yang terlalu simplistik. Kissinger bahkan menyoroti bahwa ketika berbicara tentang peradaban Timur dan Asia, orang Barat cenderung hanya memikirkan peradaban India dan Tiongkok, padahal setiap wilayah di Asia, seperti Asia Timur, Tengah, dan Tenggara, memiliki komunitasnya sendiri yang layak diakui.

Semua ini menjadi pelajaran bahwa banyak hal di dunia ini yang mungkin dianggap biasa, namun sebenarnya memiliki sejarah yang kompleks dan kelam. Oversimplifikasi Benua Asia jadi salah satu contoh akan hal ini.

Namun, menarik untuk kemudian dipertanyakan. Apakah generelisasi Benua Asia ini hanyalah bentuk aroganisme yang Eropa-sentris, atau kira-kira ada motif tersembunyi di baliknya?

image 10

Ada Motif Politik?

Kalau kita ingin berspekulasi, mungkin salah satu motivasi utama simplifikasi Benua Asia oleh para kolonialis Eropa di masa lampau adalah berkaitan dengan ambisi mereka untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah.

Benua Asia kaya akan sumber daya seperti rempah-rempah, emas, perak, dan tekstil yang sangat diminati oleh negara-negara Eropa pada masa itu. Untuk membenarkan upaya pengambilalihan ini, bangsa Eropa bisa menggunakan simplifikasi Benua Asia untuk mereduksi kompleksitas wilayah tersebut menjadi entitas yang seakan mudah dimengerti dan dikuasai.

Baca juga :  Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Narasi semacam ini bisa jadi merupakan bagian dari motif kolonial. Bangsa Eropa di masa kolonialisme lampau memang tercatat sering mengklaim bahwa mereka memiliki misi untuk “menyivilisasi” dan “memperkenalkan agama Kristen” kepada penduduk Asia. Pandangan ini menganggap peradaban Eropa sebagai superior.

Sebagai dampaknya, pandangan tersebut juga menekankan perlunya upaya “mengubah” dan “membentuk” masyarakat Asia sesuai dengan standar Eropa, yakni sebuah kesatuan masyarakat yang bukan lahir dari “rahim” bangsa Barat. Dalam konteks ini, bangsa Eropa cenderung menyederhanakan keberagaman budaya dan agama di Benua Asia agar sesuai dengan narasi kolonial mereka.

Pada akhirnya, hal ini semua layaknya jadi perenungan kita bersama. Diskusi soal simplifikasi Benua Asia ini mungkin hanyalah sebagian kecil dari banyaknya hal dalam peradaban kita yang semula terlihat normal, tapi syarat akan motif politik. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

AHY Indonesia’s Next Chapter?

Nama AHY kini jadi salah satu komoditas politik yang diperhitungkan serius. Bukan tanpa alasan, dengan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan serta sebagai Ketua Partai Demokrat, posisi AHY jadi salah satu kandidat kuat untuk jadi cawapres Prabowo di Pilpres 2029.

Negara Ini Korban Sesungguhnya Konflik India-Pakistan?

Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?

Window Dressing Maruarar Sirait?

Maruarar Sirait dapat target berat wujudkan mimpi 3 juta rumah baru untuk rakyat. Namun, dengan berbagai tantangan dan kondisi yang ada, program-programnya terlihat jalan di tempat.

Teuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Kendati aktor politik prominen yang silih berganti adalah sebuah keniscayaan, terdapat empat poros kekuatan yang kiranya akan terus lestari di era kontemporer. Bagaimana itu bisa terjadi?

Prabowo’s Destroy “Vampire Castle” Mission?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Direspons kritik hingga skeptis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang BUMN yang telah disahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto...

no na dan Mimpi Besar Indonesian Pop

Debut girl group Indonesia, no na, menandai babak baru dalam perkembangan I-pop. Mungkinkah soft power dan diplomasi budaya Indonesia siap?

The Real Winner of Joki UTBK: Teknologi

Dari smartwatch hingga AI, teknologi kini digunakan untuk menipu dalam ruang ujian. Ujian bukan lagi soal belajar, tapi ajang kecanggihan kecurangan.

Ormas, The Necessary Power?

Diskursus mengenai organisasi kemasyarakatan dengan “genre” yang dinilai meresahkan seolah tak ada habisnya. Menariknya, eksistensi mereka dinilai memiliki simbiosis multiaspek tertentu yang membuatnya terus lestari dan harus diregulasi dengan cermat demi stabilitas nasional.

More Stories

Negara Ini Korban Sesungguhnya Konflik India-Pakistan?

Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?

Logam Tanah Jarang, “Adamantium”-nya AS-Tiongkok?

Logam Tanah Jarang (LTJ) diprediksi akan semakin diperebutkan para negara besar. Mungkinkah ini awal dari persaingan sengit terbaru dalam menguasai sumber daya vital dunia?

Ini Kunci Rahasia Menjadi Adidaya?

Tidak ada negara adidaya tanpa armada laut yang tangguh—dari Romawi hingga Amerika, lautan selalu jadi panggung kekuasaan dunia. Mengapa laut begitu menentukan?