HomeHeadlineSingapura 'Ngeri-ngeri Sedap' ke Prabowo?

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak Prabowo Subianto saat bertemu Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong yang didampingi oleh Deputi PM Lawrence Wong pada Senin (29/4) kemarin. Mungkinkah hanya untuk memperkenalkan penerus masing-masing?


PinterPolitik.com

“Negara sebesar titik di peta dunia kamu mampu melahirkan rapper Melayu seperti aku” – Daly Filsuf, “South East A” (2013)

Pada tahun 2013, sejumlah lagu dirilis oleh kumpulan musisi rap dan rock asal negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. 

Dalam album itu, terdapat satu lagu yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam rap, yakni “South East A”. Menariknya, ketika Daly Filsuf, seorang penyanyi rap (rapper) asal Singapura, menyanyikan bagiannya, dirinya menyebut negaranya sebagai negara sebesar titik di peta dunia. 

Mungkin, kutipan lirik Daly di awal tulisan sedikit terkesan mengerdilkan Singapura. Negara ini memang punya julukan the Little Red Dot, yang mana artinya titik kecil merah.

Beberapa versi mengatakan bahwa asal-muasal julukan ini berasal dari Indonesia, lebih tepatnya adalah Presiden ke-3 RI B.J. Habibie. Pada tahun 1998, dalam suatu wawancara, Habibie membandingkan ukuran Indonesia dan Singapura.

“Semua area hijau itu Indonesia. Dan titik merah itu adalah Singapura,” ujar Habibie. Pernyataan inipun akhirnya ditanggapi oleh Perdana Menteri (PM) Singapura kala itu, Goh Chok Tong, yang mengatakan, “Kita akan bantu Indonesia sesuai batas. Kita ekonomi kecil. Hanya setitik merah di peta.”

Bila mengingat kembali kenangan atas memori saling sindir dan saling balas antara dua pemimpin ini, pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan PM Singapura Lee Hsien Loong jelas jauh tidak menggambarkan situasi kala itu. Jokowi dan Lee selalu menunjukkan keakraban setiap kali bertemu.

Terbaru, misalnya, pada Senin, 29 April 2024, kemarin, Jokowi dan Lee malah mengajak penerus mereka masing-masing, yakni presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, dan Deputi PM Singapura Lawrence Wong.

Pertemuan ini seakan-akan menjadi simbol dari masing-masing pemimpin bahwa hubungan Indonesia-Singapura akan tetap baik meski kedua negara akhirnya nanti akan dipimpin oleh orang-orang yang berbeda. Sejumlah pengamat menilai ini karena nilai investasi Singapura yang begitu besar di Indonesia.

Namun, benarkah demikian? Mungkinkah ada faktor-faktor lain, Indonesia-Singapura memiliki hubungan yang begitu kompleks? Mengapa ini bisa jadi karena faktor Prabowo?

Indonesia-Singapura: Hijau Besar dan Titik Merah

Terdapat sebuah ungkapan yang banyak orang yakini sebagai sesuatu yang penting. Dalam Bahasa Inggris, ungkapan ini berbunyi, “Forgive but never forget.”

Menarik bukan? Ungkapan ini juga memiliki rima depan antara dua kata forgive dan forget. Namun, maknanyapun dalam yakni “memaafkan tetapi tidak melupakan.”

Dengan tidak melupakan, individu yang tersakiti jadi lebih bisa berhati-hati atas tindakan yang sama di masa depan. Setidaknya, individu ini bisa menjadi lebih waspada bila ada tanda-tanda bahaya.

Tidak hanya dalam hubungan interpersonal, ungkapan ini juga berlaku dalam hubungan antarnegara. Pemahaman mengenai hubungan internasional (HI) seperti ini datang dari perspektif konstruktivis.

Mengacu ke penjelasan Alexander Wendt dalam bukunya yang berjudul Social Theory of International Politics, hubungan antarnegara berjalan berdasarkan pada gagasan dan pemahaman bersama. Pemahaman ini terus terbangun menjadi sebuah konstruksi sosial ketika negara-negara saling berinteraksi, membangun identitas di antara satu sama lain.

Hubungan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang, misalnya, bisa menjadi salah satu contoh di mana pemahaman bersama ini turut mempengaruhi hubungan keduanya. Jepang memiliki sejarah imperial di abad ke-20 ketika Korsel menjadi salah satu wilayah yang didudukinya.

Memori masa lalu mengenai penindasan terhadap perempuan-perempuan Korsel sebagai comfort women (perempuan penghibur) oleh tentara-tentara Kekaisaran Jepang masih menjadi memori jelas yang berdampak pada hubungan kedua negara. 

Hal yang mirip juga berlaku dalam hubungan Indonesia dan Singapura. Hubungan kedua negara Asia Tenggara ini tidaklah selalu lovey-dovey (mesra) seperti di era Presiden Jokowi dan PM Lee Hsien Loong.

Bila ditarik kembali hingga tahun 1960-an, Indonesia dan Singapura bahkan memiliki sejarah berdarah. Sebagai bagian dari Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Harun Said dan Usman Hj. Mohd. Ali, dua anggota Korps Komando Operasi (KKO) melakukan pengeboman di sejumlah tempat di Singapura yang kala itu masih menjadi bagian dari Malaysia.

Usman dan Harun yang akhirnya dieksekusi pada tahun 1968 kini dilihat sebagai pahlawan di Indonesia. Namun, bagi Singapura, keduanya dianggap sebagai masa lalu kelam.

Belum lagi, di bawah Soekarno, Indonesia dinilai memiliki potensi ekspansionis. Mengacu ke penjelasan Bernard K. Gordon dalam tulisannya yang berjudul The Potential for Indonesian Expansionism, Indonesia kala itu punya gagasan yang disebut sebagai “Indonesia Raya,” yang mana adalah sebuah mimpi untuk menyatukan negara-negara Melayu lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, hingga Thailand bagian selatan.

Perkataan “hijau besar” dan “titik merah kecil” seakan-akan menjadi hal serius bila mengingat tendensi ekspansionis Indonesia. Apalagi, keamanan kerap menjadi salah satu hal mendasar yang mengatur hubungan antarnegara.

Bila benar Indonesia-Singapura punya masa lalu yang tidak selalu baik, lantas, apa hubungannya dengan situasi sekarang? Mengapa faktor Prabowo juga memainkan peran penting dalam hubungan Indonesia-Singapura saat ini?

‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan Indonesia dan Singapura berada pada situasi yang sangat baik di bawah Jokowi dan Lee. Namun, perubahan kepemimpinan bisa saja mempengaruhi stabilitas hubungan kedua negara ini.

Hubungan baik yang dibangun oleh Jokowi ini bahkan terlihat dari seberapa sering sang presiden menyebutkan Singapura di akun-akun media sosial (medsos) miliknya. Dalam sebuah studi, disebutkan bahwa Singapura menjadi negara yang paling sering disebut Jokowi di Twitter, mengalahkan negara-negara lain seperti Malaysia, Amerika Serikat (AS), Arab Saudi, Jepang, Tiongkok, dan Australia.

Mungkin, masuk akal apabila demikian faktanya. Singapura juga masih tercatat menjadi investor terbesar di Indonesia. Apalagi, pemerintahan Jokowi selalu menekankan pada peningkatan investasi asing untuk pembangunan.

Sebelumnya, hubungan Indonesia-Singapura tidaklah selalu baik, khususnya di awal era Reformasi. Mengacu ke tulisan Jonathan Chen yang berjudul Indonesia‑Singapore Relations: Between New Order and Reformasi Era, hubungan dua negara ini kerap terhambat oleh pergantian kepemimpin di awal-awal Reformasi.

Namun, hubungan menjadi sangat membaik melalui kerja sama yang dilakukan oleh Jokowi. Beberapa di antaranya adalah investasi Singapura di kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), serta Kendal Industrial Park di Jawa Tengah (Jateng).

Meski begitu, perubahan kepemimpinan bisa saja kembali membawa perubahan terhadap hubungan Indonesia-Singapura. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Lee di Singapura juga khawatir akan hal itu, mengingat Prabowo akan dilantik pada Oktober 2024 nanti.

Seperti yang dijelaskan oleh Herbert C. Kelman dalam tulisannya yang berjudul The Role of the Individual in International Relations: Some Conceptual and Methodological Considerations, individu yang mengambil kebijakan juga mempengaruhi tindakan sebuah negara.

Sosok Prabowo-pun menjadi salah satu sosok yang sulit diprediksi oleh negara-negara lain. Bila mengingat kembali kampanye Prabowo pada tahun 2014 dan 2019, kecenderungan nasionalistik sangat terlihat dalam pesan-pesannya.

Bahkan, tidak jarang, narasi kampanye Prabowo juga bisa mengganggu kepentingan negara-negara tetangga di Indonesia, termasuk Singapura. Edward Aspinall dalam tulisannya yang berjudul The New Nationalism in Indonesia menjelaskan bahwa tendensi nasionalistik ini bahkan akan paling berdampak pada negara-negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia dan Singapura, daripada terhadap negara-negara besar seperti Tiongkok dan AS. 

Menariknya lagi, nama partai Prabowo, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), memiliki frasa “Indonesia Raya” di dalamnya, sebuah gagasan yang kerap dikaitkan dengan kecenderungan ekspansionis Indonesia di masa lampau. Meski begitu, belum bisa dipastikan apabila nama Gerindra terinspirasi dari nama partai fasis di masa lalu, yakni Partai Indonesia Raya (Parindra).

Yang jelas, perubahan kepemimpinan di Indonesia bisa saja mempengaruhi kontinuitas hubungan baik yang terjalin antara pemerintahan Jokowi dan pemerintahan Lee. Wajar apabila akhirnya negara titik kecil merah ini merasa was-was dan “ngeri-ngeri sedap” terhadap ketidakpastian di masa depan. (A43)


Baca juga :  Gaining Weight yet, Mr. President?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

More Stories

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?