HomeNalar PolitikKekhawatiran Puan Pada Wibawa Pemerintah

Kekhawatiran Puan Pada Wibawa Pemerintah

Puan Maharani membuat pernyataan menarik terkait kebijakan larangan mudik. Puan mengatakan bahwa wibawa negara dipertaruhkan dalam implementasi pembatasan mobilisasi mudik. Lantas, apakah Puan sendiri skeptis dengan legitimasi pemerintah atas kebijakannya?


PinterPolitik.com

Menjelang lebaran, pemerintah memberlakukan pelarangan kegiatan mudik pada tanggal 6 Mei hingga 17 Mei 2021. Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan bahwa kewibawaan pemerintah dipertaruhkan pada hari pertama diberlakukannya pelarangan mudik. Puan meminta agar masyarakat dapat menahan diri untuk tidak mudik sebagai bentuk perlindungan kepada keluarga dari Covid-19.

Puan juga meminta agar Kementerian Perhubungan (Kemenhub), TNI dan Polri dapat berkoordinasi dengan baik demi kelancaran masa larangan mudik. Dalam pelaksanaannya, Puan mengimbau agar aparat dapat tegas melarang mudik, namun juga humanis dan sopan dalam menghadapi pemudik. Aparat juga diharapkan dapat menjelaskan kebijakan larangan mudik dan mengapa pemudik harus diputarbalikan.

Sehari sebelum larangan mudik berlaku, Puan meninjau beberapa titik lokasi yang biasanya dipadati oleh pemudik, seperti di terminal dan stasiun Kereta Api (KA) di Cirebon. Puan ditemani Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi untuk melakukan pengawasan terhadap aturan mudik lebaran.

Baca Juga: Meneropong Politik Mudik Jokowi

Implementasi pelarangan kebijakan mudik sudah terlihat di hari pertama ini. Aparat melakukan penjagaan di beberapa tol dan mengamankan travel gelap. Polri juga telah menyiagakan petugas di 381 titik penyekatan, di mana paling banyak berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun sanksi bagi yang masih nekat mudik, yakni diputarbalik, denda atau pidana, terkhusus untuk mobil pribadi yang menjadi travel gelap.

Walaupun sudah diberlakukan larangan mudik, masih banyak masyarakat yang melanggar kebijakan tersebut dan tetap nekat mudik. Jika dikembalikan ke pernyataan Puan, apakah pemerintah masih memiliki wibawa dalam mengimplementasikan larangan mudik? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kebijakan ini sendiri?

Masyarakat dan Trust Issue

Istilah “wibawa” pada pernyataan Puan mengarah kepada kemampuan pemerintah mengimplementasikan kebijakannya serta kepatuhan masyarakat untuk taat. Ketika Puan mengatakan bahwa “wibawa negara dipertaruhkan” mungkin memang ada keraguan pada diri Puan atas implementasi larangan mudik yang tidak sesuai ekspektasi.

Kepercayaan publik merupakan salah satu variabel penting dalam kesuksesan implementasi suatu kebijakan. Jika ditarik dari pernyataan Puan, maka kata “wibawa” dapat dilekatkan kepada political trust atau kepercayaan politik masyarakat terhadap pemerintah atas kebijakannya.

Tulisan Sedef Turper dan Kees Aarts yang berjudul Political Trust and Sophistication: Taking Measurement Seriously menjelaskan pentingnya political trust dalam pemerintahan. Turper dan Aarts mengatakan bahwa political trust menjadi indikator penting dalam legitimasi politik pemerintahan.

Ketika pemerintah mengalami kemunduran political trust, maka ada konsekuensi ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi pemerintah dan masyarakat tidak patuh kepada hukum dan kebijakan pemerintah.

Pentingnya kepercayaan juga dijelaskan dalam ajaran Konfusius. Dalam kehidupan pemerintahan, Konfusius mengatakan ada tiga hal krusial yag perlu diperhatikan dalam menjaga stabilitas pemerintahan, yakni kepercayaan rakyat, kecukupan makanan, dan tentara yang kuat. Dari ketiga hal tersebut, kepercayaan rakyat merupakan hal yang paling utama.

Baca juga :  Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Tulisan Richard Brown yang berjudul Leadership lessons from Confucius: on trust menjelaskan dalam Konfusius, kepercayaan sendiri menjadi hal krusial karena menjadi landasan hubungan manusia. Hubungan tersebut mengikat keluarga dan komunitas secara bersama-sama.

Baca Juga: Masyarakat Tak Peduli Jokowi?

Dengan masih banyaknya pelanggar kebijakan mudik dan fenomena tidak patuh terhadap prokes, besar kemungkinan itu menunjukkan tengah terjadi kemunduran kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini  dapat dijelaskan melalui tulisan Noto Suoneto yang berjudul Indonesia and the COVID-19 Pandemic: Challenges for President Jokowi’s Political Leadership.

Noto menjelaskan bahwa mundurnya kepercayaan publik dalam penanganan pandemi diakibatkan oleh inkonsistensi kebijakan, baik di pemerintah pusat dan daerah, dalam menangani pandemi. Noto juga mengutip survei dari Institute for Development of Economics dan Finance (INDEF) yang menunjukkan sebesar 67,7 persen warganet mengutarakan kekecewaannya pada langkah mitigasi pemerintah di awal pandemi.

Berangkat dari tulisan Noto, inkonsitensi kebijakan berimplikasi pada kepercayaan publik atas pemerintah sehingga implementasi larangan mudik juga tidak maksimal karena masyarakat tidak taat. Inkonsistensi kebijakan dapat terlihat pada sikap pemerintah yang memperbolehkan tempat wisata untuk beroperasi, walaupun memberlakukan larangan mudik di saat yang sama.

Kedua kebijakan tersebut dinilai berseberangan, karena tempat wisata dapat membuka potensi penularan, sedangkan mudik dilarang untuk menekan probabilitas penyebaran virus.

Puan juga turut memberikan kritik terhadap kebijakan tempat wisata yang boleh beroperasi. Puan mengatakan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam membuat kebijakan untuk mengatur mobilitas warga sehingga masyarakat dibuat bingung.

Inkonsistensi kebijakan juga terlihat pada keputusan pemerintah yang memperbolehkan masyarakat melakukan mudik lokal yang terbatas berlaku di 8 wilayah. Hal tersebut tertulis pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. 

Walaupun begitu, ada beberapa wilayah lainnya yang diperbolehkan kepala daerahnya untuk melakukan mudik lokal di luar 8 wilayah yang diatur dalam Permenhub. Wilayah tersebut adalah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sumatera Selatan.

Simpang siur dan inkonsitensi kebijakan pemerintah dalam mengatur mobilisasi masyarakat pada masa pandemi sekiranya dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah.

Alhasil masih banyak masyarakat yang nekat mudik dan melakukan berbagai cara untuk pulang kampung. Melihat pelanggaran yang ada, maka pemerintah bisa dianggap tidak memiliki wibawa dalam mengimplementasi kebijakan larangan mudik.

Ketiadaan Rasa Adil?

Pelarangan mudik mulai berlaku tanggal 6 April di seluruh Indonesia. Namun, di saat yang sama, pemerintah juga mulai membuka penerbangan internasional dan menerima warga negara asing (WNA) ke Indonesia.

Mulai tanggal 4 Mei 2021, Indonesia membuka kembali bandaranya untuk Singapura. Maskapai Singapore Airlines mulai beroperasi untuk penerbangan internasional Singapura-Denpasar selama dua kali seminggu.

Selain itu, penerbangan oleh maskapai Lion Air juga membuka rute Wuhan-Jakarta di waktu yang berdekatan. Disebutkan penerbangan tersebut adalah penerbangan carter yang telah memenuhi persyaratan terbang dan mendapatkan Flight Approval (FA) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Selain itu penerbangan juga telah memenuhi syarat keimigrasian dan kesehatan.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Pemerintah mengatakan penerbangan dari Singapura dan Wuhan, Tiongkok hanya diperuntukkan untuk perjalanan bisnis. Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 26 Tahun 2020 tentang visa dan izin tinggal dalam masa adaptasi kebiasaan baru belum dicabut.

Peraturan ini menjadi dasar warga asing masih boleh mengunjungi Indonesia bagi pemegang Kitas, Kitap, keluarga diplomat, dubes, pelaku bisnis, dan evakuasi medis.

Di luar perizinan dan persyaratan legal yang ada, kebijakan ini mudah dipersepsikan tidak memenuhi sense of justice bagi masyarakat yang tidak bisa melakukan mudik, walaupun hanya pada level domestik.

Tulisan John Rawls yang berjudul The Sense of Justice dapat digunakan untuk menjelaskan ketidakadilan kebijakan pemerintah yang menerima kedatangan WNA pada saat larangan mudik berlaku.

Rawls mengatakan sense of justice adalah keadaan di mana seseorang merasakan rasa adil dan perasaan tersebut merupakan landasan karakter natural manusia yang didasari oleh moral. Rawls mengatakan pada dasarnya manusia ingin merasakan keadilan dan menuntut untuk diperlakukan secara adil.

Berbagai kritik dilontarkan atas kebijakan Indonesia yang masih menerima kedatangan WNA. Pemerintah dinilai tidak memenuhi sense of justice karena melarang mobilisasi dalam negeri perihal mudik, namun menerima kedatangan WNA.

Baca Juga: Tepatkah Membandingkan Kerumunan Jokowi dengan HRS?

Di saat berlangsungnya larangan mudik, Indonesia telah menerima 85 WN Tiongkok yang tiba menggunakan pesawat carter China Southern Airlines. Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kemenkumham Arya Pradhana Anggakara buka suara.

Arya tidak menjelaskan kedatangan puluhan orang dari Tiongkok, namun Arya mengatakan bahwa pihak imigrasi sudah memeriksa status imigrasinya dan telah dilakukan pemeriksaan kesehatan sesuai dengan aturan.

Penanganan Indonesia dalam menghadapi kedatangan WNA tergolong belum optimal, terutama pada sistem pelacakaannya (contact tracing). Pasalnya sudah ada 10 orang yang terpapar virus varian baru di Indonesia, di mana varian tersebut sudah tersebar di India.

Hal ini tentu mengingatkan kita pada 117 WN India yang datang ke Indonesia pada pertengahan bulan April. Selain itu, ada juga kasus WN India yang lolos dari karantina dan melakukan penyuapan jutaan rupiah untuk menghindari karantina Covid-19.

Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam mengontrol mobilisasi mungkin dapat menjawab keraguan Puan dalam eksistensi wibawa pemerintah atas implementasi kebijakannya. Banyak masyarakat yang masih tidak taat pada larangan mudik dan merasa tidak adil ketika pemerintah  menerima kedatangan WNA.

Kedatangan WNA tentu juga dapat memperbesar peluang persebaran Covid-19 mengingat masih belum optimalnya penanganan pemerintah  atas “virus impor.”

Jika sudah seperti ini, seperti kekhawatiran Puan, kira-kira bagaimana pemerintah bisa mengembalikan wibawanya dalam menangani pandemi? (R66)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku

spot_imgspot_img

#Trending Article

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...