HomeNalar PolitikBenarkah Moeldoko Titisan Moertopo?

Benarkah Moeldoko Titisan Moertopo?

Polemik kudeta Partai Demokrat dinilai sejumlah pengamat menguak celah atas dugaan adanya intervensi kekuasaan terhadap parpol. Lantas, mengapa kecenderungan campur tangan eksternal itu dapat terjadi di kancah perpolitikan tanah air?


PinterPolitik.com

Masih terus bergulirnya isu kudeta Partai Demokrat menyiratkan bahwa persoalan ini bukanlah perkara sembarangan. Silang pendapat dan lempar tudingan masih terus terjadi sebagai reaksi atas dugaan keterlibatan oknum di kekuasaan dalam pusaran polemik, hingga presumsi adanya skenario tertentu.

Setelah sorotan tajam tertuju kepada Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko atas kabar keterlibatannya, kali ini diskursus diramaikan dengan komentar bernada sindiran kepada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Pengamat politik Ninoy Karundeng menilai bahwa isu kudeta yang dilontarkan AHY dan menyeret nama Moeldoko sebagai upaya playing victim untuk menutupi kegagalannya memimpin partai bintang mersi.

Hampir senada dengan Ninoy, koordinator aktivis Brigade 98 Aznil Tan, juga berkomentar dan menambahkan bahwa politik playing victim masih menjadi sebuah pola yang digunakan oleh politikus yang pada akhirnya berujung pada proyeksi rengkuhan dukungan.

Dengan munculnya postulat tersebut, praktis saat ini terdapat dua narasi yang saling berhadapan, yakni apakah isu kudeta Partai Demokrat memang merupakan bagian dari intervensi kekuasaan, atau merupakan skenario yang secara langsung atau tidak langsung dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.

Kendati misteri keduanya tampak cukup sulit dipecahkan dengan tuntas, narasi pertama mengenai kemungkinan “sentuhan” eksternal agaknya masih dapat ditelisik dan dianalisa lebih dalam, baik secara kalkulasi politik maupun dari sisi aspek historis.

Baca juga: Moeldoko for Presiden 2024?

Visiting Fellow ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura, Made Supriatma memandang bahwa kudeta Partai Demokrat merupakan persoalan political clique, di mana terdapat pihak kuat yang berusaha untuk menyingkirkan pihak yang dianggap lemah.

Bahkan lebih jauh dan kembali pada konteks dugaan keterlibatan Moeldoko, Made tak yakin bahwa eks Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu bergerak sendiri.

Terdapat probabilitas bahwa Moeldoko didukung oleh clique kekuasaan yang tidak permanen, yang berhitung apa yang dia dapat dan sumber daya mana yang bisa digunakan.

Lantas, benarkah intervensi semacam itu terhadap partai politik (parpol) memungkinkan untuk terjadi?

Taktik Warisan Opsus?

Selain Made, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti juga menyoroti diskursus yang berkembang mengenai presumsi adanya intervensi eksternal di balik kudeta Partai Demokrat.

Aisah membandingkannya dengan intervensi serupa yang nyatanya pernah dipraktikkan saat Orde Baru (Orba). Menurutnya, intervensi masuk ketika partai mengalami konflik internal, yang ketika itu memang sengaja dibuat, dan terjadi karena rezim ingin menundukkan partai.

Menarik memang ketika berkaca ke masa lalu, mengingat ketika Orba, terdapat torehan sejarah bagi dinamika parpol tanah air khususnya dalam hal “penyederhanaan”.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Pada masa kepemimpinan Soeharto, terdapat satu sosok mastermind dalam menyangga stabilitas politik Orba, yakni Ali Moertopo. Beliau merupakan tangan kanan Soeharto dan telah berjibaku bersama dalam dinas militer sejak keduanya memulai kiprah di Komando Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro.

Dalam rangka menggalang dukungan politik bagi Presiden Soeharto saat itu, Moertopo yang notabene memiliki skill intelijen, melakukan berbagai manuver yang salah satunya ialah intervensi berupa penyederhanaan terhadap parpol yang tujuan akhirnya demi mengonsolidasikan kekuasaan bagi sang Smiling General.

Moertopo dikatakan berjasa besar di balik terjadinya penyederhanaan tersebut. Bahkan predikat “Sang Arsitek” melekat padanya atas kepiawaiannya menyangga stabilitas politik Orba dari balik layar.

Dalam publikasi berjudul Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia, Stefan Eklöf menyebut Moertopo menggunakan strategi emasculation atau pengebirian dengan menggunakan taktik persuasi, intimidasi, memanipulasi intrik dan konflik, hingga penyuapan terhadap berbagai aktivitas para aktor politik.

Baca juga: Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat

Sebuah taktik yang persis Ia gunakan sebelumnya ketika menjalankan misi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua dalam misi sebuah satuan yang dibentuk Soeharto bernama Operasi Khusus atau Opsus.

Esensi dari manuver Moertopo terhadap parpol, diyakini bertujuan untuk menghilangkan politik aliran yang ada kala itu. Menurut Indonesianis, Herbert Feith, dalam kurun waktu 1960-an sampai 1970-an terdapat lima aliran yang ada yakni nasionalis, Islam, tradisionalis Jawa, sosialis-demokrat, dan komunisme.

Tiga aliran terakhir berhasil diredam atau meredam dengan sendirinya saat Soeharto berkuasa. Dan pada ranah praktik penyederhanaan parpol di awal 1970-an yang dilakukan Moertopo, disebut Eklof berangkat dari upaya menghapus dua politik aliran yang tersisa.

Sebelum tahun 1971 sendiri, terdapat banyak parpol yang kemudian difusikan menjadi 10 partai. Dua tahun berselang, Moertopo berhasil mengerucutkannya lagi menjadi hanya tiga partai saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berisikan eks partai-partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang terdiri dari partai nasionalis, dan Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kendaraan politik Soeharto.

Eksistensi PPP dan PDI yang telah dikompromi pun seolah menjadi semu dalam demokrasi Indonesia kala itu. Menambah “sempurna” stabilitas ekosistem politik yang juga sebelumnya berhasil dikendalikan kekuasaan, termasuk yang berasal dari andil Moertopo di baliknya.

Dan konteks sejarah sendiri sejatinya tidak linier, melainkan seperti sebuah siklus yang dapat berulang, sebagaimana yang disiratkan yang oleh filsuf Prancis Michel Foucault. Hal itulah yang mungkin membuat analisa dugaan adanya campur tangan kekuasaan terhadap parpol yang dialami Partai Demokrat menemui relevansinya.

Lantas, mengapa kiranya kemungkinan itu bisa terjadi di era reformasi dengan situasi politik yang telah jauh berbeda jika dibandingkan dengan Orba?

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Inherensi Celah Regulasi?

Sedikit berbeda dengan Orba, menurut analisa peneliti politik LIPI Aisah Putri Budiarti, intervensi kepada parpol di era reformasi masuk secara tak terduga, di mana masalah konkret di internal partai dapat menjadi pemantik intervensi eksternal tersebut.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai bahwa saat ini mustahil bagi perjalanan parpol di blantika politik tanah air tanpa diiringi dengan gejolak, mengingat parpol merupakan tempat para aktor berebut kepentingan politik.

Baca juga: Jokowi Goyah Tanpa Moeldoko

Akan tetapi, intrik dan konflik internal kiranya bukanlah faktor tunggal dari terbukanya celah intervensi. Dalam State Intervention in Party Politics: The Public Funding and Regulation of Political Parties, Ingrid van Biezen menyebut bahwa parpol yang notabene dikelola dan diatur oleh negara melalui regulasi, juga membuka celah lain bagi intervensi kekuasaan kepada parpol yang ada.

Di Indonesia sendiri, kesan “intervensi” dari celah regulasi tersebut misalnya tampak pada case PPP dan Golkar di sepanjang tahun 2014 hingga 2016. Saat itu Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengeluarkan surat keputusan (SK) yang mengesahkan salah satu kepengurusan. Padahal, konflik internal yang terjadi di kedua parpol tersebut belumlah tuntas.

Di samping itu, lebih lanjut Aisah melihat bahwa intervensi tertentu melalui lobi elite politik juga kemudian dapat berfusi dalam keruhnya intrik maupun konflik internal parpol yang sedang terjadi.

Dan jika mengacu pada presumsi Made Supriatna yang menyiratkan bahwa Moeldoko kemungkinan adalah bagian dari political clique untuk menggalang kekuatan politik, manuver ataupun lobi yang dilakukannya bisa saja dapat dikategorikan sebagai intervensi, terlepas dari realita merupakan representasi dari kekuasaan ataupun tidak.

Berangkat dari situlah agaknya masih tertinggal satu pertanyaan, yakni apakah Moeldoko tengah berupaya mengulangi tugas yang sukses ditunaikan Moertopo di masa lalu?

Namun yang jelas, berdasarkan aspek historis dan kecenderungan yang ada dari dinamika politik, hukum, dan pemerintahan saat ini, intervensi eksternal terhadap parpol – berasal dari mana pun itu – memang tidak menutup kemungkinan untuk terjadi.

Harapannya kini ialah agar hal itu tak lantas justru “dilestarikan” mengingat ciri demokrasi adalah kompetisi yang sehat di mana aspek penyeimbang politik dan pemerintahan menjadi sangat dibutuhkan. Bukan untuk segelintir kalangan, tetapi muaranya ialah untuk kepentingan bersama seluruh warga negara. (J61)

Baca juga: Moeldoko Lanjutkan Estafet Prabowo?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?