HomePolitikOmnibus Law Hantui Psikologis Buruh

Omnibus Law Hantui Psikologis Buruh

Oleh Ramavito Gunawan, Praktisi Human Resource Development (HRD)

Omnibus Law (RUU Cipta Lapangan Kerja) sepertinya tetap dilanjutkan pembahasannya walau pandemi virus Corona (Covid-19) masih menghantui Indonesia. Bukan tidak mungkin Omnibus Law ini malah menimbulkan dampak psikologis terhadap para buruh dan pekerja.


PinterPolitik.com

Belakangan ini, sebagian kelompok masyarakat ramai melakukan aksi penolakan terhadap Omnibus Law atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja – kerap disebut RUU Cilaka atau Ciptaker.

Aksi-aksi tersebut ialah bentuk ketidaksepakatan masyarakat terhadap RUU  Cilaka karena dianggap tidak pro terhadap rakyat – terutama kaum buruh – yang pada ujungnya justru menimbulkan efek penindasan.

Omnibus Law adalah suatu bentuk Undang-Undang (UU) untuk merampingkan peraturan-peraturan – atau dalam kata lain penyederhanaan UU menjadi hanya dalam satu rangkaian UU besar. UU ini secara keseluruhan berpotensi mengubah sekitar ribuan pasal dari 79 UU yang berlaku, termasuk UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan.

Misi pemerintah dalam merancang UU ini adalah untuk dapat meningkatkan daya tarik Indonesia dalam ranah investasi dan diharapkan dengan menarik investasi dari pihak luar, maka akan membuka ruang-ruang kerja bagi masyarakat Indonesia. Namun, pada penerapannya, hal ini justru berbalik dan meresahkan masyarakat.

Bagaimana tidak? Sejak awal, pembahasannya hanya melibatkan golongan pengusaha tanpa melibatkan serikat pekerja sehingga, secara substantif, menjadi berat sebelah. Dalam draf UU tersebut, yang menjadi perdebatan adalah mengenai perubahan sistematika pengupahan dengan menghilangkan upah minimum kota/kabupaten (UMK), pengurangan besaran pesangon, hilangnya cuti haid bagi perempuan, ketidakjelasan nasib karyawan outsourcing yang semakin menjadi-jadi, tidak adanya jaminan pengangkatan karyawan tetap oleh perusahaan, dan masih banyak lagi pasal-pasal yang justru merugikan para pekerja atau buruh.

Kondisi yang demikian pada akhirnya menimbulkan dampak psikologis bagi kalangan pekerja atau buruh. Tak heran jika aksi penolakan terhadap RUU Cilaka tersebut begitu masif dilakukan oleh masyarakat yang tidak puas akan RUU tersebut. Dampak Psikologis yang timbul adalah mengenai job insecurity atau ketidakamanan kerja yang dirasakan oleh para pekerja dan buruh.

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Job insecurity merupakan kondisi ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam. Smithson & Lewis (2000)  mengartikan  job  insecurity  sebagai  kondisi psikologis  seseorang  (karyawan)  yang menunjukkan  rasa  bingung  atau  merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang  berubah-ubah  (perceived impermanence).

Sebagai contoh, hilangnya UMK yang kemudian digantikan oleh Upah Minimum Regional (UMR) membuat para pekerja dan buruh merasa terancam karenanya. Hal ini dikarenakan sebelumnya beberapa kota dan kabupaten menerapkan upah yang lebih tinggi daripada UMR dan kali ini akan disamakan mengacu kepada UMR.

Jelas situasi ini menimbulkan kekhawatiran terlebih karena aturan di RUU Cilaka ini mengatakan kenaikan upah minimum hanya akan mengacu kepada pertumbuhan ekonomi saja tanpa melihat pertumbuhan inflasi dan, dalam konteks ini, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Contoh lain, misalnya, mengenai ketidakjelasan sistem kerja outsourcing yang membuat karyawan semakin merasa tidak aman karena pekerjaan mereka hanya berada dalam durasi yang sementara atau kontrak dan semakin kecilnya peluang untuk mendapatkan posisi karyawan tetap. Hal tersebut menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity.

Tentunya kondisi job insecurity yang dialami ini akan berpengaruh terhadap job attitude karyawan, penurunan komitmen, dan akan berpengaruh ke performa kerja. Belum lagi, ketakutan terhadap hilangnya pekerjaan itu sendiri yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam organisasi.

Karenanya, sangat mungkin karyawan merasa cemas, gelisah, dan tidak aman sebagai dampak dari kondisi yang berubah-ubah tersebut. Di satu sisi, mereka ingin terus eksis di dalam organisasi tempat mereka bekerja. Namun, di sisi lain, mereka merasa bahwa posisinya – pekerjaan dan keberadaannya dalam organisasi – senantiasa terancam.

Pekerja dan buruh yang mengalami job insecurity pastinya akan mengalami ketidakpuasan dalam bekerja. Herzberg – seorang Psikolog asal Amerika Serikat (AS) – mengatakan bahwa faktor ketidakpuasan pekerja adalah karena kondisi kerja, gaji, kebijakan perusahaan, dan capaian, serta kemajuan.

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Bayangkan saja. Ketika RUU Cilaka ini disahkan dan pasal-pasal yang disebutkan di atas diberlakukan, jelaslah akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi motivasi dari para pekerja dan buruh.

Gaji merupakan faktor untuk memenuhi basic needs dari pekerja dan buruh sebagai seorang manusia. Dengan gaji, mereka bisa membeli makan dan minum, membayar rumah kontrak, dan membiayai sekolah anak-anaknya.

Kebijakan perusahaan dan jaminan akan status pekerjaan merupakan kebutuhan manusia terhadap rasa aman. Bagaimana mereka bisa merasa aman ketika yang terjadi adalah besaran pesangon akan berkurang, hilangnya cuti haid bagi perempuan, serta ketidakjelasan nasib karyawan outsourcing yang semakin menjadi-jadi?

Penting untuk para elite politik mempertimbangkan dengan benar dan melihat secara menyeluruh – tidak hanya dari satu sisi saja. Betul bahwa pemerintah berusaha untuk memudahkan investasi untuk masuk ke Indonesia, tetapi harus tetap memperhatikan kepastian kerja —  khususny job security.

Selain itu, diperlukan juga kepastian pendapatan (salary security). Hal ini juga perlu didukung dengan social security (jaminan sosial) yang layak.

Saya paham benar bahwa perubahan harus terjadi demi menciptakan pertumbuhan perekonomian yang berkualitas dan lebih merata tetapi harus dikaji dengan matang, mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang terkait, mengupas secara transparan, dan, yang terpenting, mengutamakan aspek kesejahteraan masyarakat yang, dalam konteks ini, saya sebut sebagai kesejahteraan psikologis.

Tulisan milik Ramavito Gunawan, Praktisi Human Resource Development (HRD).

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Oleh: Kiki Esa Perdana PinterPolitik.com Saat kecil, penulis beberapa kali datang ke lapangan, sengaja untuk melihat kampanye partai politik, bukan ingin mendengar visi misi atau program...

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....