HomeRuang PublikEvolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024


Oleh: Kiki Esa Perdana

PinterPolitik.com

Saat kecil, penulis beberapa kali datang ke lapangan, sengaja untuk melihat kampanye partai politik, bukan ingin mendengar visi misi atau program mereka, tapi ingin menikmati live music yang biasa mereka hadirkan, atau menikmati berbagai macam jajanan yang ada disana. 

Penulis ingat pernah datang ke salah satu lapangan dekat rumah untuk menonton kampanye, di sela-sela persuasi sambil teriak-teriak untuk mencolok nomor sekian, mereka juga menampilkan hiburan yaitu penyanyi dangdut terkenal dari kota sebelah.

Masih sedikit pula teringat akan penampilan penyanyi dangdut tersebut, penyanyi dangdut tersebut menggunakan baju ketat yang berwarna sesuai dengan warna partai yang sedang kampanye. 

Di Tengah Tengah nyanyian penyanyi tersebut seringkali meneriakan nomor urut partai tersebut, baru setelah beberapa waktu tersadar bahwa itu semua merupakan praktik dari pesan subliminal di komunikasi politik, dimana pesan subliminal adalah sebuah pesan yang terus-menerus tanpa kita sadari ditangkap dan diserap oleh otak bawah sadar kita, namun kali ini pesan atau informasi yang disampaikan berisi muatan politik. 

Namun lambat laun terasa banyak sekali perubahan dalam hal berkampanye, semua berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Penulis ingat perubahan signifikan tersebut tampak terjadi pasca barack Obama jadi presiden untuk pertama kalinya sekitar tahun 2008. Kala itu Obama mulai menggunakan kekuatan internet untuk menggapai komunikan atau voters mereka.

Dalam catatan memori penulis, gaya kampanye modern seperti ini telah menginspirasi banyak sekali partai dalam penyampaian pesan politik mereka. Beberapa partai politik di Inggris malah pernah mengakui bahwa mereka terinspirasi untuk melakukan kampanye digital seperti halnya yang dilakukan oleh Barack Obama. 

Namun bukan berarti penggunaan kampanye digital lebih murah dibandingkan kampanye konvensional yang melibatkan massa. Menurut yang pernah penulis analisa di website Indonesia corruption watch, untuk kepentingan kampanye Barack Obama, dalam tujuh triwulan masa kampanye mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 640 juta dolar yang mana semuanya merupakan hasil sumbangan hasil crowdfunding alias dari sumbangan masyarakat dan bukan menggunakan uang negara, Obama pada saat itu muncul sebagai pembaharu yang sangat mengedepankan keterbukaan dan transparansi dalam kampanye nya.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Dana 640 juta dollar tersebut menurut Center for Responsive Politics merupakan dana yang terbesar dalam sejarah pemilu AS.  

Lalu bagaimana di Indonesia di tahun 2024 ini? Untuk komunikasi politik kita sejak beberapa tahun ke belakang pernah sedikit berfokus pada isu popular untuk penyampaian kebijakan pemerintah, misal peraturan penggunaan produk lokal dalam keseharian para pejabat saat pergi ke kantor, mulai dari Sepatu, sabuk hingga jaket untuk maksimalisasi UMKM lokal dalam tatanan ekonomi. Lalu beberapa pejabat negara sempat focus pada industri motor custom, untuk menaikan industri kreatif lokal Indonesia. Saat itu, penulis berpikir bahwa isu isu popular ini akan terus digunakan saat kampanye pemilihan umum, ternyata benar. 

Kampanye sendiri diartikan sebagai suatu proses Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Menurut hemat penulis, kampanye di Indonesia masih belum dapat menjalankan kampanye digital sepenuhnya, karena banyak keterbatasan, mulai dari; fasilitas dan infrastruktur teknologi yang berbeda di setiap daerah, lalu ada program partai yang nampaknya lebih senang pada pengerahan massa dalam jumlah signifikan di satu tempat daripada jumlah followers besar di media sosial.

Yang sedikit berbeda pada kampanye 2024 ini, banyak partai berfokus pada isu isu populer, seperti maksimalisasi penggunaan aplikasi TikTok, tarian tarian populer, hingga penggunaan influencer yang berpengaruh versi kelompoknya masing-masing, mulai dari selebriti, pemuka agama populer, motivator hingga seniman stand-up comedy dan presenter. 

Penggunaan isu popular pada kampanye politik ini sebenarnya masih menjadi ajang pertaruhan yang besar, tidak semua para pemilih akan langsung setuju dan akan berpikir sesuai dengan rencana partai saat kampanye, misal kita lihat kader partai tertentu jogged di TikTok dengan repeated jingle partai, atau politisi tiba tiba live tiktok untuk menyapa voters mereka, atau capres tiba tiba muncul versi AI sambil jogged jogged di berbagai platform media, baik ABL atau BTL.

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Singkirkan PDIP dari Ketua DPR?

Pemilih yang merupakan fans garis keras mungkin belum terbiasa dan Ikhlas melihat partai idolanya tetiba mengikuti isu popular dan sedikit terlepas dari model idealisme yang diharapkan dari sebelumnya, bisa jadi yang tadinya loyal, langsung ditinggalkan begitu saja.   

Akhirnya sudah selesai musim kampanye pada pilpres kita tahun 2024 ini, kita tinggal menunggu hasil resmi dari semua proses yang tengah berlangsung, untuk negara yang masih “belajar” berdemokrasi, pemilihan umum kemarin lumayan berhasil walau belum layak dibilang sukses dan masih sedikit dapat untuk dirayakan.  


Artikel ini ditulis oleh Kiki Esa Perdana

Kiki Esa Perdana adalah Dosen Ilmu Komunikasi Tanri Abeng University, menaruh perhatian pada Komunikasi politik


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...