HomeNalar PolitikMenggiring Melayu Spring ke Indonesia

Menggiring Melayu Spring ke Indonesia

Kemenangan Mahathir Mohamad di Malaysia disebut-sebut akan membawa Melayu Spring hingga ke Indonesia.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ernah membayangkan ada musim semi di Indonesia? Sekilas, sebagai negara dua musim, Indonesia sulit bisa merasakan suasana musim semi seperti di negara-negara empat musim. Jangan khawatir, bagi sebagian orang, musim yang kerap disebut spring ini tidak lama lagi akan tiba di tanah air.

Ada anggapan bahwa Indonesia akan mengalami suatu masa yang disebut sebagai Melayu Spring atau Musim Semi Melayu. Sayang, Melayu Spring ini bukan musim di mana bunga-bunga indah bermekaran. Musim semi yang dimaksud lebih serupa dengan Arab Spring yang menandai demokratisasi dan pergantian rezim di jazirah Arab beberapa tahun lalu.

Kemenangan Mahathir Mohamad rupanya menjadi euforia, sehingga memunculkan pemikiran soal Melayu Spring tersebut. Bagi beberapa orang, pergantian rezim di negara tetangga bisa berlanjut di negeri ini. Hal ini serupa dengan merebaknya pergantian rezim di Timur Tengah di tahun 2011 silam.

Ramalan tentang datangnya musim semi ini tergolong menyenangkan bagi kalangan oposisi. Tidak lama lagi, mereka bisa mencium aroma pergantian rezim mengikuti jejak Malaysia. Meski begitu, benarkah musim semi akan benar-benar datang ke Indonesia?

Menularnya Euforia Malaysia

Malaysia dianggap memasuki babak baru. Rezim yang berkuasa enam dekade di negeri jiran tersebut akhirnya tumbang. Tidak ada yang pernah membayangkan Najib Razak dan UMNO dapat tersingkir dari posisi puncak pemerintahan Malaysia.

Mahathir dan Pakatan Harapan dianggap berhasil melawan ketidakmungkinan di Malaysia. Hal ini menimbulkan euforia yang begitu kuat di negara bekas jajahan Inggris tersebut. Antusiasme pergantian rezim ini juga meluas nyaris ke seluruh kawasan Asia Tenggara.

Michael Vatikiotis menganggap bahwa hasil pemilu Malaysia dapat berpengaruh ke luar batas Malaysia. Ia menilai bahwa kemenangan Mahathir akan menggoncang junta militer di Thailand yang sejauh ini masih belum menentukan jadwal pemilu. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen juga bisa mengalami ketakutan akan terkena revolusi warna.

Dalam pandangan Vatikiotis, Indonesia dapat menikmati sedikit hal manis dari kemenangan Mahathir tersebut. Hal ini berlaku untuk urusan ekstremisme yang kini tengah mendera Indonesia. Menurutnya, Pakatan Harapan tergolong berhaluan moderat sehingga dapat menjadi katalis bagi Indonesia untuk mengadopsi gagasan serupa di tanah air.

Meski demikian, ada beberapa kalangan di tanah air yang mengharapkan efek dari Malaysia lebih dari itu. Melayu Spring yang diinginkan bukanlah demokratisasi atau surutnya paham radikal, tetapi lebih kepada pergantian rezim.

Hal ini diungkapkan misalnya oleh Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan. Menurutnya, Melayu Spring akan mirip dengan Arab Spring di mana terjadi perubahan yang bersifat revolusioner. Kemenangan Mahathir dianggap akan menginspirasi aktivis di tanah air untuk melakukan perjuangan serupa.

Baca juga :  Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

Kalangan oposisi jelas memiliki harapan serupa. Sejak awal, mereka memang berharap kemenangan Mahathir bisa menular ke Indonesia. Maka, kemungkinan Melayu Spring jelas menjadi angin segar bagi mereka.

Gerindra misalnya mengungkapkan bahwa mereka sangat yakin dengan kehendak rakyat. Mereka menyebut bahwa mereka tidak bisa tinggal diam melihat pemerintahan selama tiga tahun terakhir ini. Hal ini membuat mereka akan berusaha keras agar pergantian rezim dapat terjadi.

Melayu Spring vs Arab Spring

Jika melihat jauh ke Arab Spring, ada beberapa kondisi yang memicu hal ini terjadi. Sebelum melihat kemungkinan Melayu Spring, maka penting untuk memperhatikan Musim Semi Arab yang terjadi jauh di tahun 2011.

Istilah Arab Spring pertama kali dikemukakan oleh Marc Lynch dalam sebuah artikel di portal Foreign Policy. Sementara, menurut Joseph Massad dari Columbia University, istilah Arab Spring digunakan untuk mengarahkan negara-negara Arab menuju demokrasi liberal ala Barat.

Arab Spring ini dimungkinkan terjadi karena beragam faktor. Sekilas, penyebab yang nampak adalah aksi bakar diri yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi di Tunisia. Meski begitu, ada beragam faktor lain yang menyebabkan proses demokratisasi dan pergantian rezim dapat terjadi di wilayah Arab. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kediktatoran, pelanggaran HAM, korupsi, pelemahan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan faktor-faktor demografik lainnya.

Lalu bagaimana dengan Melayu Spring? Mungkinkah singgah ke Indonesia? Jika merujuk pada istilah yang disebutkan oleh Massad, maka hal ini mungkin tidak akan terjadi. Indonesia sudah mengalami demokratisasi ala Barat tersebut sejak jauh-jauh hari.

Jika merujuk pada gelombang demokratisasi yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, Indonesia sudah mengalami demokratisasi pada gelombang ketiga yang di Asia dimulai pada tahun 1980-an. Indonesia sudah berupaya mewujudkan demokrasi liberal jauh sebelum Arab Spring yang kerap dianggap sebagai demokratisasi gelombang keempat.

Di luar itu, sejumlah faktor pemicu revolusi seperti yang terjadi di Arab juga tidak dimiliki di tanah air. Tentu saat ini korupsi masih sulit dihilangkan di negeri ini. Persoalan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan juga masih menjadi persoalan menahun. Meski begitu, sulit untuk menilai kondisi Indonesia serupa dengan negara-negara Arab masa itu untuk memicu sebuah pergantian rezim dengan judul Melayu Spring.

Sulit untuk mengatakan bahwa rezim yang berkuasa saat ini di Indonesia adalah seorang diktator. Pasca Orde Baru, Proses suksesi kepemimpinan di Indonesia tergolong rutin terjadi setiap lima tahun. Hal ini berbeda dengan negara-negara Arab yang kepemimpinannya dikuasai satu orang selama bertahun-tahun.

PR besar dalam urusan penegakan HAM, korupsi, kemiskinan, dan pengangguran memang masih ada. Akan tetapi, sulit untuk mengatakan bahwa rezim saat ini serupa dengan Hosni Mubarak di Mesir atau Moammar Qaddafi di Libya beberapa tahun lalu. Oleh karena itu, pergantian rezim diktator menjadi liberal melalui revolusi mungkin tidak akan terjadi di Indonesia.

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Waspada Perang Pengaruh

Meski tidak akan terjadi dalam bentuk penggantian rezim dari otokrasi menjadi demokrasi liberal, pergantian rezim dalam bentuk lain masih mungkin terjadi. Merujuk pada pandangan Massad, Arab Spring juga merujuk pada bagian dari strategi Amerika Serikat (AS) untuk mengontrol tujuan gerakan. Berdasarkan kondisi tersebut, bisa saja ada campur tangan AS dalam proses revolusi dan pergantian rezim di Arab.

Kondisi tersebut dikemukakan oleh Ahmed Bensaada dalam bukunya Arabesque$. Menurutnya, revolusi dalam Arab Spring tidak terjadi secara spontan. Semuanya dilakukan dengan perencanaan panjang dan hati-hati, melibatkan State Department dan juga CIA.

Jika benar AS mengontrol revolusi di Timur Tengah, lantas motif apa yang bisa mendorong negeri Paman mengulang hal serupa di Asia Tenggara? Sulit untuk menemukan motif yang benar-benar tepat. Meski begitu, jika melihat kondisi belakangan, hubungan antara AS dan Tiongkok tengah memanas. Jika AS akan terlibat dalam revolusi di Asia Tenggara, maka mengurangi pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara dapat menjadi salah satu alasannya.

Menggiring Melayu Spring ke Indonesia

Menurut Vatikiotis, sudah bukan rahasia lagi bahwa Beijing selama ini mendukung pemerintahan Najib Razak di Malaysia. Pemerintahan Malaysia di bawah Najib memang tergolong dekat dengan Tiongkok melalui berbagai proyek dan investasi dari negeri Tirai Bambu tersebut.

Pasca lengsernya Najib, hubungan Malaysia dengan Tiongkok bisa saja berkurang intensitasnya. Hal ini ditandai misalnya dengan rencana Mahathir untuk menegosiasi ulang bahkan membatalkan proyek Proyek Jalur Kereta Api Pesisir Timur. Batalnya proyek besar tersebut dapat mengurangi pengaruh Tiongkok di Malaysia.

Di selatan Malaysia, Indonesia juga tampak mulai mesra dengan Tiongkok. Beragam proyek di tanah air banyak dilakukan melalui kerja sama dengan negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut. Praktis, nuansa pengaruh Tiongkok mulai muncul di negeri ini.

Mesranya Indonesia dengan Tiongkok bisa saja membuat AS gerah. Dari hari ke hari, Indonesia seperti tengah memindahkan kiblatnya ke negara berpenduduk terbanyak di dunia tersebut. Padahal, Negeri Paman Sam tersebut telah terlebih dahulu mencoba menanamkan pengaruhnya di Indonesia.

Jika AS ingin memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara, maka bisa saja mereka mendukung Melayu Spring sampai ke Indonesia untuk mengganti rezim yang berkuasa saat ini. Mereka bisa saja mempersiapkan tokoh lain yang lebih dapat dikontrol untuk menggantikan pemerintahan berkuasa saat ini.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintahan Indonesia saat ini perlu berhati-hati. Bukan tidak mungkin AS menggiring Melayu Spring ke tanah air jika Indonesia kelewat mesra dengan Tiongkok. Maka, pergantian rezim atas restu Washington di 2019 nanti bisa saja terjadi. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...