HomeHeadlineAirdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo “Sakti”?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Prabowo Subianto disebut berperan besar dalam pemberian bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia ke Gaza melalui penerjunan dari udara oleh pesawat TNI-AU. Lobi Prabowo dan aksi-reaksi aktor-aktor internasional dalam merespons intensi Indonesia itu dinilai sangat menarik. Utamanya, proyeksi positioning konstruktif dan konkret Indonesia dalam konflik Israel-Palestina, beserta negara-negara terkait lainnya.


PinterPolitik.com

Andil yang dinilai hanya bisa dilakukan Menteri Pertahanan (Menhan) yang juga Presiden RI terpilih Prabowo Subianto tampak signifikan dalam distribusi bantuan kemanusiaan pemerintah Indonesia ke Gaza pada 9 April lalu.

Menjelang Idulfitri kemarin lusa yang dirayakan sebagian besar warganya, Gaza dihujani paket bantuan kemanusiaan yang datang dari langit, secara harfiah.

Saat blokade jalur darat diberlakukan Israel di Gaza, pengiriman bantuan dengan menerjunkannya dari pesawat (airdrop) menjadi opsi terbaik yang telah dilakukan oleh beberapa negara sebelumnya.

Satu hal yang patut diapresiasi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mengambil inisiatif, peran aktif, mendapat kepercayaan, dan sukses dalam misi tersebut.

Pun, secara teknis dan politis, airdrop bantuan kemanusiaan Indonesia menjadi sangat menarik, bersejarah, dan mungkin saja memiliki makna serta proyeksi politik luar negeri tertentu.

Utamanya, yang terkait langsung dengan peran dan probabilitas visi politik luar negeri Prabowo dan bagaimana negara lain meresponsnya. Mengapa demikian?

Prabowo Diplomat Sejati

Keberhasilan membawa Indonesia memberikan sumbangsih konkret berupa airdrop bantuan ke Gaza, Palestina, sekali lagi, menjadi bukti bahwa Prabowo merupakan sosok yang turut memerankan peran sebagai diplomat ulung.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Diplomat Andalan Jokowi Sebenarnya Prabowo? telah dijabarkan bahwa Prabowo merupakan diplomat tipe maverick.

Dalam publikasinya yang berjudul Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, Cornelius Bjola menyebutkan tiga tipe diplomat, yakni maverick diplomat, congregator diplomat, dan pragmatist diplomat. 

The maverick merupakan sosok diplomat yang memiliki ambisi yang kuat dan selalu ingin negaranya unggul, the congregator adalah diplomat yang selalu ingin membangun konsensus dan menjembatani perbedaan, dan the pragmatist adalah tipe yang mengejar hubungan mutual asalkan menguntungkan.

Namun, dalam interpretasi yang lebih komprehensif, dikotomi itu kiranya tak sepenuhnya relevan mengingat Prabowo dapat memenuhi kriteria sebagai maverick, congregator, maupun pragmatist dalam dimensi dan case tertentu.

Bagaimanapun, peran sebagai diplomat yang diaktualisasikan Prabowo sebagai pivot dalam airdrop bantuan kemanusiaan ke Gaza tetap sangat menarik sebagai pintu masuk interpretasi lebih lanjut visi kepemimpinannya ke depan.  

Penyaluran bantuan dari Indonesia sebagai bentuk solidaritas kepada Palestina diketahui berkat andil relasi Prabowo dengan Raja Yordania Abdullah II.

Dalam keterangan resminya, Kementerian Pertahanan (Kemhan) menguak peran Prabowo yang telah berbicara kepada Raja Abdullah II sejak 12 Maret lalu mengenai keinginan Presiden Jokowi menyalurkan bantuan ke Gaza.

Baca juga :  Iran-Israel: Ujian Terberat Biden 

Sebagaimana diketahui, kedua negarawan itu, Prabowo dan Raja Abdullah II, memiliki kualitas persahabatan sangat baik sejak menempuh pendidikan pasukan khusus bersama di Fort Benning atau yang kini bernama Fort Moore, Amerika Serikat (AS).

Sebelum misi airdrop, TNI-AU mengoordinasikan rute dan mekanisme penerjunan bantuan kemanusiaan ke Gaza bersama delapan angkatan udara negara lainnya di Amman, Yordania.

Rute melewati wilayah udara Israel menjadikan peran Yordania menjadi krusial. Itu dikarenakan, selain secara geografis berdekatan, mereka merupakan “perantara” terbaik untuk melakukan kontak dengan Israel, yang pada akhirnya merestui misi airdrop.

Yordania pun menjadi negara hub bagi tujuh negara lain, yakni AS, Inggris, Belanda, Jerman, Mesir, UEA, dan Prancis yang berkoalisi untuk melakukan misi airdrop serupa.

Langit Gaza yang “panas” dengan roket dan rudal serta wilayah udara Israel yang sangat ketat, terlebih bagi pesawat militer asing, menjadikan misi airdrop membutuhkan sinergi dan relasi kepercayaan yang kuat. Ditambah, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel.

Di titik inilah, terdapat esensi penting yang mungkin juga ingin ditunjukkan Prabowo. Terutama, mengenai peran Indonesia yang berbeda dan konkret untuk terlibat aktif dalam persoalan laten Palestina dan Israel, serta bagaimana relasi dengan negara-negara lain dalam melihat dan merespons Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.

prabowo sby dari aceh sampai papua

Prabowo, Palestina Lebih Baik?

Dalam beberapa waktu terakhir, isu barter normalisasi hubungan dengan Israel berjalan paralel dengan status keanggotaan Indonesia di Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Kabar yang telah dibantah Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI itu berawal dari pemberitaan media Israel mengenai kesepakatan dalam beberapa pembicaraan rahasia selama tiga bulan antara Jakarta, Tel Aviv, dan Sekjen OECD Mathias Cormann.

Normalisasi itu disebut akan mengakhiri penolakan Israel terhadap pengajuan keanggotaan Indonesia ke OECD.

Kemlu RI menegaskan posisi Indonesia yang tak berubah dalam mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka solusi dua negara. Utamanya, kondisi di mana Israel mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat.

Meskipun tak memiliki korelasi secara langsung maupun tak langsung, isu tersebut tampak beriringan dengan kemungkinan pesan tersirat di balik airdrop bantuan kemanusiaan Indonesia ke Gaza.

Sebagaimana dijelaskan di atas, penyaluran bantuan kemanusiaan itu dapat terlaksana berkat serangkaian lobi dan “restu” Israel secara tak langsung atas niat baik pemerintah Indonesia untuk meringankan beban warga Gaza.

Dengan kata lain, bukan tidak mungkin terdapat esensi dan pemahaman yang berupaya dibangun secara perlahan serta kolektif bahwa dalam situasi saat ini, melakukan kontak secara terbuka dengan Israel adalah “solusi terbaik dari yang terburuk” untuk membantu Palestina. Termasuk dalam upaya mengaktualisasikan posisi politik luar negeri Indonesia sebagaimana yang ditegaskan Kemlu.

Baca juga :  Budiman Sudjatmiko, Skenario Brilian Prabowo?

Namun, dinamika isu Israel-Palestina yang berulang dan tak kunjung usai hingga kini membuat politik luar negeri Indonesia – yang di balik layar menjalin kerja sama di aspek tertentu dengan Tel Aviv – tampak kaku dan “tidak jujur”. 

Di tengah kondisi kekerasan repetitif Israel terhadap Palestina dan kutukan gak ngaruh Indonesia yang selalu mengiringinya, sikap politik yang revolusioner kiranya memang sudah saatnya diwujudkan.

Upaya perubahan visi politik luar negeri atas isu Israel-Palestina pernah digagas oleh oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

Hal itu dijabarkan oleh Anthony Smith dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State? di mana Gus Dur seolah menyadari dan berusaha mendobrak ketidakjujuran itu.

Melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu Alwi Shihab, Indonesia berupaya melobi kepentingan Palestina dengan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Sayangnya, langkah progresif yang baru dirintis itu harus kandas saat Gus Dur lengser dan visi politik luar negerinya itu tidak diteruskan Megawati Soekarnoputri.  

Normalisasi dan membuka kontak, bahkan hubungan diplomatik formal dengan Israel, kiranya dapat menjadi salah satu opsi awal sikap politik revolusioner.

Setidaknya, kubu yang pro atas gagasan ini melihat Indonesia bisa memiliki daya tawar dan peran lebih aktif dalam relasi Israel yang berkaitan dengan Palestina.

Di ambang pemerintahan baru kelak, arah menuju sikap tersebut kiranya memang telah dipahami oleh Prabowo sebagai penerus RI-1.

Israel dan otoritas Palestina di Tepi Barat yang lebih moderat dan menghindari kekerasan dibanding Hamas pun kemungkinan telah mengamati gestur yang selama ini berusaha ditunjukkan Prabowo.

Pun dengan negara-negara lain yang memiliki “pengaruh” saat melihat dinamika sosiopolitik Indonesia terhadap Israel, Palestina dan relasi di antara mereka.

Akan tetapi, risiko gejolak dan resistensi domestik jika membuka hubungan diplomatik formal dengan Israel agaknya akan menunda sikap revolusioner tersebut.

Individu dan kelompok di akar rumput maupun mereka yang cenderung konservatif, akan bereaksi keras jika normalisasi hubungan dengan Israel terwujud, di mana hal itu berpotensi lebih banyak menimbulkan kerugian bagi Indonesia dari sisi stabilitas keamanan dalam negeri.

Oleh karena itu, jika benar-benar ingin mewujudkannya, konstruksi pemahaman kolektif yang komprehensif menjadi penting bagi pemerintahan baru kelak.

Tentu untuk membuat Indonesia tak lagi sekadar memberikan “kutukan sia-sia” terhadap kekerasan berulang Israel, sekaligus membuat Indonesia turut terlibat aktif dalam mewujudkan kedamaian bagi Palestina. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?