HomeNalar PolitikCorona akan Bangkitkan Otoritarianisme?

Corona akan Bangkitkan Otoritarianisme?

Di tengah usaha dunia dalam memerangi pandemi virus Corona (Covid-19), uniknya terdapat pihak yang memprediksi bahwa pandemi tersebut dapat menjadi pemicu kebangkitan otoritarianisme. Jika benar demikian, sekiranya bagaimana hal tersebut akan terjadi?


PinterPolitik.com

Sedari dulu telah terdapat usaha radikal dalam memetakan apa perbedaan antara manusia dengan hewan. Sejak era Yunani Kuno, ketika filsuf-filsuf besar masih bertumbuh – seperti Socrates, Plato, ataupun Aristoteles – disimpulkan bahwa perbedaan mendasar manusia dengan hewan adalah kapabilitas berpikirnya.

Kini, setidaknya disimpulkan terdapat satu perbedaan yang begitu radikal dalam kapabilitas berpikir manusia dengan hewan, yakni kemampuannya dalam mengembangkan proyeksi masa depan. Atas kemampuan itu pula, manusia mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan teknologi.

Tidak hanya berguna memungkinkan manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, Lawrence R. Samuel dalam tulisannya Why Do We Think So Much of the Future?, menyebutkan bahwa masa depan telah berfungsi sebagai tempat untuk menampung ketakutan terburuk ataupun harapan manusia.

Menurutnya, prediksi masa depan telah menjadi semacam pemenuhan hasrat psikologis yang selalu membawa kesan misterius karena memiliki semacam kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.

Konteks psikologis tersebut, sekiranya tengah terlihat saat ini, yang mana berbagai pihak mulai mengembangkan prediksi untuk menjabarkan bagaimana kondisi dunia setelah berakhirnya pandemi virus Corona (Covid-19).

Satu di antaranya adalah penulis buku Sapiens dan Homo Deus, Yuval Noah Harari yang telah memetakan berbagai kondisi yang mungkin akan terjadi setelah pandemi tersebut berakhir.

Menariknya, tidak seperti prediksi lainnya yang berfokus pada aspek ekonomi, Harari justru menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 dapat menjadi preseden atas kebangkitan otoritarianisme.

Lantas, setelah dunia dihantam oleh gelombang demokratisasi setelah Perang Dunia II, akankah pandemi Covid-19 menjadi pembalik atas hal tersebut? Jika benar demikian, bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

Hadirnya Surveillance State

Poin utama yang diungkapkan oleh Harari yang menjadi potensi kuat kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme adalah hadirnya surveillance state atau negara pengawasan.

Radha D’Souza dalam tulisannya yang berjudul The Surveillance State menjelaskan bahwa kemunculan negara pengawasan sebenarnya bermula dari lahirnya negara modern. Dibandingkan dengan negara-negara feodal yang mensyaratkan kesetiaan warga kepada pemilik tanah (landowners), kesetiaan di negara modern berubah menjadi terpusat pada entitas negara konstitusional.

Secara spesifik, D’Souza menyebutkan bahwa landasan filosofis atas negara pengawasan berakar dari filsafat politik Thomas Hobbes yang menyebutkan bahwa warga negara telah menyerahkan seluruh haknya untuk diberikan kepada negara. Dengan perpindahan kesetiaan ke negara konstitusional, tidak mengherankan mengapa negara merasa berhak untuk menjadi pengawas atas warga negaranya.

Akan tetapi, seperti yang disebutkan oleh Aleksander Dardeli dalam tulisannya Democracy at Risk, entitas-entitas negara konstitusional modern – termasuk negara demokrasi – justru telah didera oleh gelombang penurunan kepercayaan publik.

Artinya, kesetiaan atas negara yang menjadi akar dari negara pengawasan justru tengah berada di titik nadir saat ini. Atas itu pula, gagasan atas negara pengawasan telah mendapatkan berbagai kritik dan penolakan karena dinilai melanggar hak privasi warga negara.

Menariknya, dengan adanya pandemi Covid-19, Harari justru menyebutkan bahwa saat ini, baik pemerintah maupun masyarakat telah mengecualikan hak privasi untuk menghadirkan negara pengawasan. Itu terjadi karena tingkat penularan Covid-19 yang tinggi membuat pemerintah harus menjaga agar social distancing – jarak sosial – tetap terjadi dengan menempatkan berbagai CCTV.

Bahkan tidak hanya CCTV, berbagai negara, seperti Tiongkok, Inggris, Prancis, dan Filipina juga menyiagakan aparat kepolisian dan personel militer untuk berpatroli agar masyarakat tidak melanggar protokol social distancing.

Di Indonesia, pengunaan aparat untuk menjaga social distancing, terlihat jelas terjadi di Surabaya ketika polisi membubarkan para pengunjung kafe untuk mencegah penyebaran Covid-19. Uniknya, langkah tersebut mendapatkan tanggapan baik dari warganet. Padahal, tindakan serupa besar kemungkinan akan mendapat cibiran jika dilakukan pada situasi sebelum pandemi Covid-19.

Menurut Harari, kendatipun nantinya penularan Covid-19 menjadi “nol”, pemerintah akan tetap menjaga hadirnya negara pengawasan – yang disebut Harari sebagai biometric surveillance – karena menilai itu sebagai langkah preventif atas gelombang selanjutnya dari Covid-19 ataupun atas penyakit menular lainnya.

Lebih jauh, Harari bahkan menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 akan menjadi preseden atas kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap negara. Dengan penanganan Covid-19 yang berpusat pada pemerintah, itu membuat masyarakat mau tidak mau harus menaruh kepercayaannya kepada pemerintah.

Mengacu pada pandemi sebelumnya – seperti SARS pada 2003 lalu – umumnya pandemi terjadi minimal selama satu tahun. Artinya, jika negara pengawasan terjadi dalam kurun waktu satu tahun, boleh jadi itu akan membangun kebiasaan baru di tengah masyarakat bahwa mereka terbiasa untuk diawasi oleh pemerintah.

Antara Kepercayaan Publik dan Otoritarianisme

Professor sejarah di University of Washington, Margaret O’Mara, juga menyebutkan hal yang sama dengan Harari bahwa pertempuran melawan pandemi Covid-19 telah membuat pemerintah jauh lebih terlihat oleh masyarakat daripada biasanya. Menurutnya, pandemi tersebut telah membuat masyarakat menaruh kepercayaan dan mencari bantuan kepada para pemimpin pemerintahan.

Menariknya, O’Mara menyebutkan bahwa untuk mengatasi krisis atas pandemi tersebut, dibutuhkan kehadiran dari big government atau pemerintah besar.

Konteksnya menjadi semakin menarik karena big government merupakan bentuk pemerintah yang melakukan intervensi berlebihan atas semua aspek kehidupan warganya. Atas itu pula, bentuk pemerintah ini dinilai bertentangan dengan kebebasan yang diperjuangkan dalam politik demokrasi.

Lane Kenworthy misalnya, dalam tulisannya di Evonomics, dengan tegas menyimpulkan bahwa big government adalah bentuk pemerintah yang buruk bagi kebebasan, masyarakat sipil, hingga kebahagiaan masyarakat karena ketiga hal tersebut dapat direduksi.

Dengan demikian, mengacu pada otoritarianisme yang juga mereduksi kebebasan sipil, sekiranya dapat disimpulkan bahwa kehadiran big government sebagai jawaban atas pandemi Covid-19 merupakan kebangkitan atas otoritarianisme.

Bukti keras atas pertautan kepercayaan publik yang melahirkan big government dengan otoritarianisme misalnya terlihat di Singapura.

Keluarga Lee yang memimpin negara tersebut selama puluhan tahun telah lama menerapkan ajaran Konfusius, yang mana menjaga kepercayaan publik dinilai sebagai aspek paling penting bagi seorang pemimpin. Atas besarnya kepercayaan publik tersebut, pemerintah Singapura disebut lebih mampu untuk melakukan kontrol ketat terhadap warga negaranya.

Audrey Jiajia Li dalam tulisannya Is Singapore Still the Model Authoritarian State for China?, juga menyebutkan bahwa pemerintah Singapura memiliki kemampuan untuk meyakinkan warganya melakukan kompromi atas kebebasan individu demi kepentingan kolektif jangka panjang.

Atas kapabilitas tersebut, tidak mengherankan pemerintah Singapura mampu melanggengkan sistem politiknya yang sebenarnya berjalan secara otoriter.

Konteks kontrol kuat – seperti lockdown – dalam penangangan pandemi Covid-19 dengan otoritarianisme juga terlihat jelas dari pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak mengambil opsi lockdown karena tidak ingin menjadi otoriter dengan membatasi aktivitas masyarakat.

Pada akhirnya, benar tidaknya prediksi Harari bahwa pandemi Covid-19 dapat memicu otoritarianisme atau pemerintah totaliter, tentu hanya waktu yang dapat menjawabnya. Akan tetapi, jikapun berbagai negara ingin membangkitkan bentuk pemerintahan tersebut – seperti di Singapura – maka menjaga kepercayaan publik adalah hal yang utama. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...