HomeNalar PolitikJokowi-MPR Saling Sandera?

Jokowi-MPR Saling Sandera?

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memaparkan amendemen bertujuan untuk melahirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang akan menjadi landasan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Pengamat menilai memasukkan isu IKN ke dalam amendemen merupakan taktik yang dilakukan oleh MPR untuk mengubah sikap Jokowi soal amendemen. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terus mendorong amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 terbatas dengan menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan keberadaan PPHN dalam konstitusi sangat penting karena keberadaannya menjaga proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur tetap berlanjut meski presiden berganti.

Lebih lanjut, Basarah memaparkan bahwa tanpa PPHN tidak ada jaminan presiden selanjutnya yang terpilih benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan IKN.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan bahwa PPHN nantinya akan menjadi landasan pemindahan IKN.

Lanjutnya, PPHN disebut akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang bersifat lebih teknokratis.

Senada, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan, Asep Warlan menilai, memasukkan pemindahan IKN dalam PPHN sebagai upaya menjamin proyek itu bisa berlanjut dalam jangka panjang.

Menurutnya, hal tersebut tak lepas dari karakter PPHN atau GBHN, sebutan pada masa Orde Baru, sebagai dasar hukum tertinggi agar berbagai proyek jangka panjang terus berjalan.

Baca Juga: Perlukah GBHN Kembali?

Lebih lanjut, Ia memaparkan bahwa proyek pemindahan IKN jika hanya berdasarkan Undang-undang (UU) sangat rentan untuk dibatalkan. Terlebih, bila presiden setelah Jokowi nanti menolak pemindahan ibu kota.

Menurutnya, UU pemindahan IKN juga sangat mungkin dibatalkan melalui Perppu. Selain itu, UU sangat terbuka digugat ke Mahkamah Konstiusi (MK) oleh para pihak yang tak setuju dengan proyek tersebut.

Melalui PPHN yang tertuang di konstitusi, Asep mengatakan presiden berikutnya akan bekerja ekstra keras bila hendak membatalkan proyek IKN tersebut. Menurutnya, MPR harus menggelar sidang kembali amendemen UUD 1945 untuk mencabut PPHN tersebut.

Meski begitu, sejumlah pihak telah lama mengkritik rencana menghadirkan PPHN yang dinilai serupa GBHN di era Orde Baru ini.

Para pakar hukum mempertanyakan kepada siapa presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan PPHN dan konsekuensinya jika melanggar haluan negara tersebut.

Selain itu, pemindahan IKN dinilai hanya menjadi alasan untuk melancarkan amendemen konstitusi yang dikhawatirkan akan merembet ke perubahan pasal-pasal lainnya, seperti masa jabatan presiden. Benarkah demikian?

Saling Sandera?

Seperti yang kita ketahui, dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyatakan menolak adanya amenndemen.

Baca juga :  Gelengan Kepala Puan soal Hak Angket

Terbaru, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman kembali menegaskan sikap presiden tersebut. Ia menyebut Jokowi sama sekali tidak berminat untuk melakukan amendemen, mantan Wali Kota Solo tersebut khawatir pembahasan amendemen akan melebar. Lebih lanjut, Jokowi menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada MPR.

Sikap Jokowi ini berbanding terbalik dengan MPR yang sejak awal terlihat “ngotot” untuk melaksanakan amendemen.

Puncaknya dalam agenda sidang tahunan MPR lalu, Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam pidato kenegaraannya secara terang-terangan menyinggung soal rencana amendemen di depan semua anggota parlemen dan presiden.

Terkait hal ini, beberapa pengamat menilai memasukkan isu IKN ke dalam amendemen merupakan taktik yang dilakukan oleh MPR untuk mengubah sikap Jokowi soal amendemen.

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai proyek IKN merupakan harga mati bagi Jokowi. 

Wasisto beranggapan di akhir masa pemerintahannya, Jokowi ingin membangun sebuah legacy politik berupa proyek monumental seperti yang dilakukan Soekarno dulu ketika membangun Stadion Gelora Bung Karno hingga Hotel Indonesia (HI) yang bertujuan untuk merawat memori publik secara politis.

Terkait hal ini Christina Fong, dkk, dalam tulisan yang berjudul Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates memaparkan, legasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin akan membentuk memori dan persepsi kolektif publik.

Fong, dkk, menjelaskan bahwa memori dan persepsi kolektif tersebut dapat tetap ada di masyarakat setelah tokoh pemimpin tersebut sudah tidak menjabat lagi.

Dalam konteks ini Jokowi dinilai sangat berambisi membuat IKN sebagai salah satu warisan politiknya. Namun di satu sisi, Ia dinilai khawatir dengan sisa masa jabatannya, proyek ini akan terbengkalai dan berpotensi tidak dilanjutkan oleh presiden selanjutnya. Keresahan ini sepertinya dibaca oleh MPR.

Lewat hadirnya PPHN, MPR ingin memastikan bahwa dengan adanya PPHN proyek IKN  akan berjalan terlepas siapa nanti yang menjadi presiden setelahnya.

Hal ini dikarenakan sifat PPHN itu sendiri sebagai dokumen hukum tertinggi yang bersifat jangka panjang, tidak mudah untuk diubah begitu saja bahkan oleh presiden terpilih nantinya. Namun tentu untuk menghadirkannya harus melalui amendemen terlebih dahulu.

Baca Juga: Ibu Kota Baru, Penentuan Jokowi

Dalam konteks ini, MPR diduga menggunakan IKN sebagai alat untuk melakukan bargaining politik terhadap Jokowi. Dengan tawaran ini, mereka berharap mantan Wali Kota Solo tersebut dapat mempertimbangkan soal amendemen.

Menurut Profesor Ilmu Politik dari University of Carolina, Branislav Slantchev, political bargaining merupakan kemampuan sebuah aktor politik untuk memengaruhi aktor lainnya dengan cara memberikan apa yang diinginkan oleh aktor tersebut.

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti memaparkan bahwa dalam politik transaksional, mereka yang menginginkan adanya perubahan sikap dan tindakan politik dari para aktor politik (kawan atau lawan), akan menggunakan power yang mereka miliki untuk memengaruhi sikapnya. Ini disebut dengan bargaining power.

Lebih lanjut, Ikrar menyebut tawar-menawar politik (political bargaining) dapat berupa ancaman hukuman, atau bahkan tawaran yang menguntungkan.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, proyek tampaknya IKN merupakan harga mati bagi Jokowi. Melalui adanya PPHN, MPR mempunyai bargaining power untuk mewujudkan hal tersebut. Namun untuk mewujudkannya harus melalui amendemen yang berkali-kali ditolak Jokowi. Di sinilah dua kepentingan bertemu.

Pembuktian Kekuasaan?

Pemindahan ibu kota tampaknya akan menjadi ujian terbesar bagi kepresidenan yang kuat alias strong presidency yang terlihat ingin dibangun Jokowi. Kekuatan ini utamanya akan diuji dalam aspek politik.

Terkait hal ini, Kishore Mahbubani dalam tulisannya yang berjudul What Makes a Great Leader?, pernah menyebut Jokowi merupakan pemimpin yang berani mengambil kebijakan, sekalipun yakin akan mendapatkan penolakan.

Seperti yang diketahui, proyek IKN ini merupakan salah satu pertaruhan besar Jokowi di akhir masa pemerintahannya, sehingga berbagai pengamat menilai Jokowi akan “berani” untuk mengambil berbagai risiko demi kelancaran proyek ini.

Dalam kasus IKN, tantangan terbesar terkait proyek IKN ada dalam aspek legalitas. Selain karena ada lebih dari satu UU yang harus direvisi, Jokowi juga membutuhkan satu dokumen hukum yang lebih tinggi dan bersifat jangka panjang seperti apa yang ditawarkan oleh PPHN.

Lolos atau tidaknya UU dan PPHN ini kemudian akan sangat bergantung pada hubungan serta tarik menarik kepentingan antara Presiden dan semua anggota MPR.

Walaupun sejauh ini baik MPR, DPR, dan DPD memberikan sinyal dukungan, tidak menutup kemungkinan ada lobi dan kompromi politk yang harus dilakukan Jokowi. MPR, DPR, dan DPD diperlukan untuk meloloskan kebutuhan legalitas dan anggaran IKN.

Baca Juga: Mungkinkah Jokowi-Prabowo Ubah UUD 1945?

Well, pada akhirnya yang menarik untuk dilihat selanjutnya adalah apakah demi berdirinya IKN, Jokowi akan mengubah pendiriannya demi mengikuti keinginan MPR untuk melakukan amendemen.

Seperti yang disampaikan Kishore Mahbubani, Jokowi merupakan pemimpin yang berani mengambil kebijakan, sekalipun yakin akan mendapatkan penolakan dari masyarakat luas seperti dalam kasus amendemen ini.

Atau mungkin ada bentuk kompromi lain selain amendemen UUD 1945? Menarik untuk melihat ini selanjutnya. (A72) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya...

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik...