HomeNalar PolitikPKS Mulai “Gertak” Anies?

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Kecil Besar

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik manuver ini?


PinterPolitik.com

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan, bahwa partainya telah memilih Ketua Majelis Syuro Habib Salim Segaf Al- Jufri (Salim Segaf) untuk diusung dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 Pernyataan Mardani yang didasari oleh keputusan Majelis Syuro ini cukup menarik — mengingat selama ini partai berlambang bulan sabit dan padi tersebut digadang-gadang akan mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam kontestasi Pilpres 2024.

Bahkan, beberapa saat lalu Presiden PKS Ahmad Syaikhu secara terang-terangan mewacanakan partainya akan menduetkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pilpres 2024.

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiludin Ritonga, memaparkan langkah PKS mencalonkan Salim Segaf untuk maju dalam kontestasi Pilpres dinilai akan sangat berat. Ia memaparkan, mantan menteri sosial tersebut dari segi popularitas dan elektabilitas sangat kecil untuk bisa bersaing dengan nama besar seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. 

Baca Juga: Dua Pilihan Bayangi Anies?

Hal tersebut tentu menjadi menarik untuk dianalisis. Mengapa PKS memilih untuk mencalonkan Salim Segaf untuk maju dalam kontestasi Pilpres? Apa sebenarnya kepentingan dan tujuan strategi ini?

Berebut Pengaruh Anies?

Seperti yang terlihat di publik, selama ini PKS nampak memposisikan diri sebagai partai yang paling loyal terhadap eksistensi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Terhitung sejak mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut duduk di kursi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 hingga saat ini, PKS merupakan partai yang berada di garis terdepan untuk membela berbagai kepentingan dan kebijakan dari sang gubernur.

Seperti yang telah dibahas di artikel PinterPolitik sebelumnya berjudul Menguak Strategi PKS Amankan Anies, manuver PKS yang sering kali mendompleng Anies dimaknai sebagai strategi survival dari partai tersebut. Terkait hal ini, penting bagi PKS sebagai partai oposisi untuk terus menjaga eksistensi mereka agar tetap menjadi top of mind di publik.

Namun, partai berlambang bulan sabit dan padi ini bukan satu-satunya partai yang sedang berebut pengaruh mantan menteri pendidikan tersebut, belakangan Anies justru sedang dekat-dekatnya dengan Partai Nasdem. Jika ditelusuri pada berbagai kesempatan sebelumnya, Nasdem memang cenderung menampilkan kedekatan dan dukungan terhadap Anies. 

Terkait hal ini, banyak pengamat yang menilai bahwa konteks ini jelas terkait dengan Pilpres 2024. Di sisi lain, Anies pun terlihat memperlihatkan simbol positif atas “pendekatan” yang dilakukan Nasdem tersebut. 

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya berjudul Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem telah dianalisis beberapa faktor yang menyebabkan Anies cenderung memilih Nasdem sebagai pelabuhan politiknya. Dari pemaparan di atas, kita bisa menilai bahwa PKS sebagai partai yang selama ini tampak loyal di belakang Anies mungkin sedikit banyak khawatir akan kedekatan sang Gubernur DKI Jakarta tersebut dengan Nasdem. Di saat yang sama, potensi hilangnya Anies — meskipun bukan kadernya sendiri — bisa saja juga membuat PKS akan kehilangan figur kunci di balik relevansi mereka selama ini. 

Baca juga :  Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Sebuah ekses minor dari sebuah karakteristik yang dijelaskan Gian Vittorio Caprara dan Philip G. Zimbardo dalam Personalizing politics: A Congruency Model of Political Preference. Dalam tatanan politik kontemporer, Caprara dan Zimbardo menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan personalisasi politik, yakni ketika publik atau pemilih menjadikan figur sebagai referensi atau acuan untuk memilih parpol. 

Baca Juga: Anies, the Next Nex Carlos?

Ketergantungan pada figur tertentu disebut keduanya dapat menjadi persoalan tersendiri ketika parpol itu tidak memiliki sama sekali figur prominen yang dapat diandalkan. Situasi inilah yang mungkin dihadapi PKS saat ini.

Bila kemungkinan di atas terjadi, PKS berpotensi mengalami degradasi tersendiri, yang tak hanya nihil calon untuk diusung, melainkan juga bisa kehilangan relevansinya dalam perpolitikan tanah air di saat bersamaan. Lantas, jika memang ketergantungan PKS terhadap sosok Anies diyakini masih tinggi, mengapa mereka memutuskan untuk fokus mengusung Salim Segaf dalam Pilpres?

Gertakan Politik?

Melihat begitu besarnya pengaruh dan figur Anies terhadap PKS tetapi, di satu sisi, mantan Mendikbud tersebut justru terlihat lebih menunjukan kedekatannya terhadap Nasdem, realita ini nampaknya membuat dukungan tersirat PKS kepada Anies selama ini tampak seperti hubungan tanpa status yang pasti — sebuah hal yang kiranya dapat membuat PKS semestinya harus menentukan demarkasi yang lebih tegas akan seperti apa relasinya dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Kembali ke pertanyaan awal, jika dirasa memang ketergantungan PKS terhadap Anies masih tinggi, mengapa mereka baru-baru ini memutuskan untuk fokus mengusung Salim Segaf untuk maju dalam kontestasi Pilpres? Bukankah secara elektabilitas dan popularitas, jika dibandingkan dengan nama besar seperti Anies, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, nama Salim Segaf bukanlah nama yang imbang serta menjual untuk dimajukan dalam Pilpres?

Mengacu pada kondisi tersebut ada satu posibilitas strategi yang mungkin sedang dijalankan PKS, yaitu political bluffing atau gertakan politik. Melihat pada sejarahnya, gertakan politik atau political bluff memang telah menjadi strategi yang lekat digunakan oleh politisi untuk mengakomodir kepentingannya agar dipenuhi.

Salah satu gertakan politik paling hebat di dunia adalah peristiwa yang disebut dengan The Capitulation of Stettin di Prusia. Diceritakan bahwa pada 29 Oktober 1806, brigade kavaleri ringan Prancis yang dipimpin Jenderal Brigade Antoine Lasalle yang hanya membawa 800 prajurit berkuda dan dua senjata dengan mengejutkan mampu membuat Romberg, komandan Benteng Stettin untuk menyerah. 

Baca juga :  Puan–Anies, Masa Depan PDIP?

Padahal, saat itu, Benteng Stettin memiliki hampir 300 meriam dan 5.000 tentara. Lalu, bagaimana cara Lasalle membuat Romberg menyerahkan Benteng Stettin? 

Baca Juga: Menguak Strategi PKS Amankan Anies

Saat itu, Lasalle menggertak Romberg bahwa ia membawa 30.000 korps tentara. Untuk meyakinkan Romberg, Lasalle memerintahkan para tentara untuk menyeret gerbong-gerbong kereta untuk membuat debu beterbangan agar tercipta ilusi terdapat puluhan ribu tentara yang sedang berjalan di belakang.

Dari analogi tersebut, sangat relevan bagi kita untuk menilai langkah PKS di balik keputusannya yang akan fokus mengusung Salim Segaf dalam kontestasi Pilpres sebagai strategi politik yang disebut dengan political bluffing atau politik gertak. Indikasi dari kesimpulan ini bisa terlihat dari statement Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, misalnya, yang memaparkan saat ini partainya tak akan lagi mencarikan momentum bagi Anies Baswedan dalam konteks Pilpres 2024. 

Dengan gertakan ini PKS berharap akan mempunyai bargaining lebih terhadap Anies. Analisa serupa diungkap oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin yang menilai langkah PKS mendorong Salim Segaf merupakan strategi partai itu untuk bisa mendapatkan bargaining atau posisi tawar baik itu untuk sosok Anies ataupun dalam koalisi nanti. Mereka juga diyakini masih berharap bahwa mantan Mendikbud itu dapat berlabuh di PKS.

Terkait hal ini, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, memaparkan bahwa dalam politik transaksional, mereka yang menginginkan adanya perubahan sikap dan tindakan politik dari para aktor politik (kawan atau lawan), akan menggunakan power yang mereka miliki untuk mempengaruhi sikapnya. Ini disebut dengan bargaining power. Lebih lanjut, Ikrar menyebut tawar-menawar politik (political bargaining) dapat berupa tawaran yang menguntungkan, atau bahkan gertakan politik seperti apa yang dilakukan PKS saat ini. 

Pada akhirnya, manuver PKS yang menegaskan akan mengusung Salim Segaf dalam Pilpres 2024 memang bisa diinterpretasikan sebagai strategi gertak politik demi meningkatkan bargaining politik mereka terhadap Anies khususnya. Berhasil atau tidaknya strategi ini akan terjawab dari perubahan sikap dan posisi Anies terhadap PKS kedepannya. 

Namun, melihat kondisi PKS yang hanya berbekal suara sebesar 8 persen di parlemen, ditambah dengan rendahnya popularitas serta elektabilitas dari Salim Segaf, sepertinya strategi politik gertak ini tak akan banyak meningkatkan daya tawar PKS terhadap Anies. Mari kita nantikan saja taktik apa lagi yang akan digunakan PKS. (A72) 

Baca Juga: Kenapa PKS Belum Bisa Menang?

spot_imgspot_img

#Trending Article

Gen Z is Going Corrupt?

Publik diramaikan dengan pembahasan tersangka kasus korupsi yang tengah diusut KPK atas nama Nur Afifah Balqis yang masih berusia 24 tahun.

AS-Tiongkok = Sasuke-Naruto? 

Hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok tidak sesederhana permusuhan atau persaingan semata. Di balik rivalitas yang sering muncul di permukaan, ada sejarah panjang kerja sama dan keterkaitan yang membentuk keseimbangan global. 

Trump dan Soccer Super Power?

Kehadiran Presiden Donald Trump di final FIFA Club World Cup 2025 kiranya bukan sekadar tontonan, tapi simbol ambisi Amerika Serikat menjadi kekuatan global baru di sepak bola. Dari Beckham di LA Galaxy, Messi di Inter Miami hingga Task Force Piala Dunia 2026, AS tampak serius membentuk identitas baru, soccer super power.

Filosofi Kopi Prabowo Subianto?

Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan kebiasaannya meminum kopi hitam. Apa sebenarnya filosofi kopi ala Prabowo?

Prabowo’s International Political Dance

Prabowo bisa dibilang menjadi salah satu presiden yang paling aktif dalam politik internasional. Ini kontras dengan presiden sebelumnya, Jokowi, yang tak begitu getol dalam panggung internasional kecuali jika berhubungan dengan masalah ekonomi.

King Indo Linguistic Flex

Bahasa Indonesia agaknya makin mendominasi ruang digital negara lain, khususnya Malaysia, dari TikTok hingga ruang kelas. Fenomena ini tampaknya bukan sekadar soal bahasa, tapi ekspansi soft power Indonesia di Asia Tenggara. Apakah ini adalah gejala menuju lahirnya “King Indo Digital Empire”?

The Gibran’s Gambit?

Penugasan Wakil Presiden Gibran dalam percepatan pembangunan Papua membuka ruang analisis baru dalam dinamika kepemimpinan nasional. Di balik mandat kelembagaan ini, tersirat peluang pembentukan citra politik yang lebih otonom dan strategis.

Mythical Leaders from Gunung Lawu?

Gunung Lawu, menjulang gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bukan sekadar gunung. Ia adalah jantung rahasia Jawa, tempat para leluhur dipercaya masih bersemayam, dan panggung abadi bagi narasi kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu.

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya...

Mungkinkah Poros Ketiga di 2024?

Pembicaraan mengenai pembentukan poros ketiga dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 kembali mencuat ke publik. Mungkinkah poros ini terwujud? Dan, mengapa kita membutuhkan poros...