HomeNalar PolitikMungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya kans besar untuk menjadi kandidat Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN). Jika benar demikian, mengapa Jokowi lagi-lagi memilih Ahok?


PinterPolitik.com

Ketika Konstantin Agung memindahkan ibu kota Kekaisaran Romawi dari kota Roma ke Konstantinopel pada tahun 330 M, ia berharap ibu kota baru tersebut mampu menunjang aktivitas politik dan ekonomi. Konstantinopel memang pada akhirnya mampu menjadi pusat perdagangan karena efektif memperpendek jalur perdagangan dari Timur, serta membuat kontrol kekuasaan Konstantin atas seluruh wilayah kekaisaran dapat lebih terjaga.

Dalam nuansa yang berbeda, mungkin hal itulah yang ada dalam pikiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Terbaru, wacana pemindahan ibu kota tersebut telah memasuki babak baru setelah Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi diserahkan pemerintah ke DPR. 

Salah satu yang menjadi sorotan dalam draf RUU IKN tersebut adalah adanya pasal yang mengatur bahwa persiapan ibu kota baru akan dipimpin oleh Kepala Otorita dan keberadaannya akan ditunjuk langsung oleh Presiden. Terkait hal ini, nama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Jokowi mengaku bahwa mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya kans besar menjadi kandidat Kepala Badan Otorita IKN.

Sebelumnya, Jokowi juga memberikan nama-nama lain sebagai kandidat kepala Badan Otorita IKN, seperti mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro, mantan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Direktur Utama PT Wijaya Karya Tumiyana. Jokowi sendiri sebenarnya telah membocorkan kriteria kandidat yang akan dipilih, yaitu kandidat yang muda dan “kelas berat”. 

Dari keempat nama kandidat di atas, Ahok telah memenuhi kriteria pertama sebagai sosok muda. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan sosok Azwar Anas yang juga muda, Ahok dinilai lebih masuk dalam kriteria selanjutnya karena pernah menjabat jabatan “kelas berat” seperti Gubernur DKI Jakarta.

Baca Juga: Risma vs Ahok, Tegas Mana?

Sontak saja, berbagai pihak langsung memberikan tanggapan sembari menyimpulkan bahwa itu menjadi indikasi kuat dekatnya hubungan sang presiden dengan Ahok. Itu, misalnya, dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di akun Twitter pribadinya yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi “memang percaya dan sayang” kepada Ahok.

Hal ini tentu menarik untuk dianalisis, di luar persoalan pro dan kontra atas munculnya nama Ahok sebagai kandidat kuat calon kepala Badan Otorita, muncul sejumlah pertanyaan. Mengapa Jokowi begitu mengandalkan Ahok? Dan seberapa powerful posisi Ahok terhadap Jokowi?

Jokowi Percaya Ahok?

Kepala Badan Otorita sendiri merupakan sebuah jabatan setingkat menteri yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan ibu kota baru dan menjadi hak prerogatif presiden untuk menentukan orang yang menduduki jabatan tersebut. Spekulasi akan dipilihnya Ahok menjadi kepala Badan Otorita IKN memang tidak terlepas dari hubungan Presiden Jokowi dan Ahok yang disebut begitu dekat.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Pada Mei 2018 lalu, misalnya, Ahok pernah menjawab bahwa Presiden Jokowi adalah sahabatnya ketika ditanya tentang siapa sosok yang dianggapnya sebagai sahabat. Lanjut Ahok, Presiden Jokowi juga pasti akan menjawab namanya jika ditanya pertanyaan yang sama.

Terkait hal ini, ditempatkannya Ahok di posisi strategis seperti Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina – ataupun katakanlah nantinya akan menjadi Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara – juga dapat dipahami sebagai sebuah strategi politik. George C. Edwards III dalam tulisannya yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency menyebutkan bahwa perluasan pengaruh presiden dapat dilakukan melalui relasi-relasi yang dimilikinya. 

Melalui relasi-relasi tersebut, presiden dapat menyebarkan pengaruhnya di tempat-tempat kekuatan lain. Artinya, dengan menempatkan Ahok di berbagai posisi, itu menjadi semacam jaminan bagi Presiden Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di posisi-posisi tersebut.

Hal yang sama diungkap sosiolog James Coleman dalam rational choice theory atau teori pilihan rasional yang menyebutkan bahwa individu mestilah akan memilih putusan atau tindakan yang sejalan dengan preferensi personal atau dirinya. Dengan kata lain, dalam konteks ini, Presiden Jokowi mestilah mempertimbangkan putusan yang sekiranya merupakan preferensi personalnya.

Baca Juga: Saatnya Ganjar-Ahok 2024?

Preferensi personal tersebut tentulah sangat kompleks – terlebih lagi Presiden Jokowi adalah pemimpin tertinggi negara yang harus mempertimbangkan berbagai macam faktor. Akan tetapi, seperti apa yang disebutkan oleh ahli politik dari Swedia yang bernama Bo Rothstein, bahwa faktor kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial.

Dengan kata lain, dalam konteks ini Jokowi mestilah mempertimbangkan putusan yang sekiranya merupakan preferensi personalnya. Faktor kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial

Artinya, pilihan terhadap Ahok nantinya besar kemungkinan akan ditentukan berdasarkan variabel kepercayaan tersebut. Pada titik ini, mungkin dapat diinterpretasikan bahwa Presiden Jokowi memilih Ahok karena kedekatannya dengan Ahok ataupun terkait strategi politiknya untuk menjaga pengaruh di proyek pemindahan ibu kota.

Akan tetapi, bagaimana jika terdapat intrik politik lain di balik menguatnya nama Ahok sebagai kandidat kepala Badan Otorita IKN? Bila benar demikian, faktor apa yang mungkin ada di balik hal tersebut?

Jokowi Tersandera Ahok?

Menurut Profesor Ilmu Politik dari University of Carolina, Branislav Slantchev, faktor kedekatan memang amat berpengaruh dalam berbagai hal seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, dalam politik, ada satu hal yang lebih pasti terjadi di balik tiap keputusan yang di ambil dari tiap aktor politik, yaitu faktor political bargaining

Slantcehv menjelaskan political bargaining atau konsep tawar menawar politik merupakan kemampuan sebuah aktor politik untuk memengaruhi aktor lainnya dengan cara memberikan apa yang diinginkan oleh aktor tersebut. Dalam politik transaksional, salah satu bagian penting dari political bargaining ini adalah faktor bargaining power

Mereka yang menginginkan adanya perubahan sikap dan tindakan politik dari para aktor politik (kawan atau lawan) akan menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk memengaruhi sikapnya. Ini disebut dengan bargaining power yang dapat berupa ancaman hukuman atau, bahkan, tawaran yang menguntungkan. 

Baca juga :  Maruarar Sirait Resmi Gabung Gerindra?

Baca Juga: Ahok Jadi Hotline Pertamina?

Kembali ke dalam konteks kasus ini, sulit untuk tidak menginterpretasikan bahwa Ahok mungkin saja memiliki bargaining power yang kuat atas Jokowi. Indikasi dari hal ini terlihat misalnya, setelah Ahok menyelesaikan masa hukuman terkait kasus penodaan agama pada 2019 lalu, alih-alih kariernya meredup, sosok yang belakangan ingin dipanggil sebagai BTP tersebut justru mendapatkan banyak tawaran jabatan dari pemerintah.

Pada 2019 lalu, misalnya, hanya berselang beberapa bulan setelah Ahok menghirup udara bebas dari masa tahanan, ia langsung dilantik menjadi Komut PT Pertamina – salah satu BUMN terbesar yang dimiliki negara. Tidak cukup ditunjuk sebagai Komut Pertamina, nama mantan Bupati Belitung Timur itu nyaris tidak pernah absen menghiasi bursa calon menteri di tiap isu reshuffle. Terbaru, misalnya ada kabar yang berhembus bahwa Jokowi menginginkan Ahok menjadi Menteri Investasi.

Puncaknya, terjadi dalam persiapan ibu kota baru, Jokowi kembali memunculkan nama Ahok. Bahkan, presiden mengumumkan sendiri nama mantan bupati Belitung Timur itu untuk posisi Kepala Badan Otorita yang sangat strategis. 

Wajar jika muncul asumsi bahwa mantan Walikota Solo tersebut seakan-akan tersandera oleh Ahok. Meski pada bagian sebelumnya telah diinterpretasikan bahwa ada kemungkinan faktor kepercayaan dan kedekatan di balik kemunculan nama Ahok, di satu sisi mantan Wali Kota Solo tersebut pasti mengetahui bahwa memunculkan nama Ahok akan semakin menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.

Keheranan serupa juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tengah melawan emosi publik dan gagal dalam membaca sentimen – yang mana itu adalah potensi untuk menciptakan kegaduhan dan mengganggu stabilitas politik.

Jika asumsi demikian benar adanya, mungkin ada beberapa hal yang dapat menjadi bargaining politik dari Ahok, yakni, pertama, kedekatannya dengan pengusaha besar dan kelompok bisnis. Terkait hal ini, Jokowi dinilai masih mencari sosok yang bisa meningkatkan investor di IKN nantinya. Kedua, secara politik, posisi Ahok saat ini sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai penguasa sekaligus partai tempat Jokowi bernaung mungkin juga menjadi salah satu unsur bargaining power yang dimilikinya.

Well, pemaparan di atas hanyalah analisis dari beberapa teori saja. Pada akhirnya, apa bentuk bargaining power dari Ahok dan sekuat apa bargaining tersebut di mata Jokowi hanya kedua belah pihak terkait yang mengetahuinya. Namun, satu hal yang pasti, sulit untuk membayangkan seorang politisi yang pernah terjerat kasus hukum untuk tetap eksis dengan berbagai tawaran jabatan strategis jika tidak mempunyai bargaining politik yang kuat. (A72)

Baca Juga: Ahok Menteri Yang Dinanti?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik...

Mungkinkah Poros Ketiga di 2024?

Pembicaraan mengenai pembentukan poros ketiga dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 kembali mencuat ke publik. Mungkinkah poros ini terwujud? Dan, mengapa kita membutuhkan poros...