HomeNalar PolitikOmnibus Law Jokowi, Akankah Berhasil ?

Omnibus Law Jokowi, Akankah Berhasil ?

Pemerintah tampaknya sangat serius dalam mendorong adanya omnibus law ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari telah rampungnya pembahasan di pemerintah dan akan segera mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkanya ke dalam prolegnas.  Sebenarnya, seberapa pentingkah aturan ini dibuat? Dan akankah omnibus law Joko Widodo ini mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia?


PinterPolitik.com

Pemerintah akhirnya telah menyepakati tentang poin-poin dalam omnibus law. Aturan ini digadang-gadang akan menjadi jawaban atas permasalahan ekonomi Indonesia saat ini.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto bahkan akan segera mendorong DPR untuk membahas dan memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas.

Omnibus law yang disahkan nanti disebut-sebut akan menjadi payung hukum bagi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Aturan tersebut mayoritas berisi tentang upaya pemerintah dalam menderegulasi berbagai kebijakan perizinan dan aturan penghalang investasi.

Untuk menyukseskan aturan tersebut, presiden bahkan akan diberi otoritas untuk dapat melakukan overhaul (pembongkaran) berbagai keputusan di pusat dan daerah yang dapat menghambat investasi.

Akan tetapi, di tengah upaya serius pemerintah tersebut, akan dibuatnya omnibus law bisa dibilang merupakan langkah yang sangat ambisius. Hal tersebut dikarenakan omnibus law sebagai payung hukum besar sangat memiliki kompleksitas baik dalam aktor maupun isu nya. Lantas, akankah omnibus law sebagai jurus baru Joko Widodo (Jokowi) ini akan berhasil?

Pentingkah Omnibus Law?

Pemerintah tampaknya sangat serius dalam menggarap aturan ini. Pasalnya, Indonesia sebagai negara berkembang memang sangat bergantung pada investasi. Pada tahun 2018 saja, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia.

Akan tetapi, tingkat pertumbuhan investasi di Indonesia dapat dibilang stagnan, yaitu hanya berada pada batas bawah 5%.

Stagnansi investasi di Indonesia merupakan imbas dari sulitnya iklim investasi dan perizinan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari indeks Easy of Doing Business (EoDB), Indonesia berada di urutan ke-73 dari 190 negara di dunia. Indonesia bahkan masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainya seperti Vietnam di peringkat ke-69, Malaysia di posisi 15 dan Thailand yang menempati posisi ke-27.

Melihat realitas di atas, dibuatnya omnibus law tentu menjadi sebuah hal yang penting untuk terus dapat menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Aturan ini secara sistemik akan menciptakan iklim yang ramah terhadap dunia usaha di Indonesia.

Jika berkaca dari Vietnam, pertumbuhan ekonomi Vietnam mayoritas disokong dari sektor bisnis. Berkembangnya iklim bisnis di Vietnam secara sistematis mendorong terciptanya lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Oleh karena itu, omnibus law tentu akan membuka peluang yang besar bagi dunia usaha untuk semakin berkembang di Indonesia. Kondisi tersebut tentu akan membantu mengeluarkan Indonesia dari stagnansi pertumbuhan ekonomi yang sudah lima tahun mendera Indonesia.

Baca juga :  Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Dilema Pembangunan

Di tengah gegap gempita omnibus law dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, banyak kalangan yang secara tegas mengkritisi kebijakan ini. Meskipun omnibus law dianggap sebagai sebuah urgensi dalam peningkatkan ekonomi, namun masih terdapat beberapa aspek yang masih belum terjawab terkait pelaksanaannya.

Wacana akan dihapusnya izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dinilai akan berdampak langsung pada hilangnya kontrol pemerintah daerah atas perencanaan wilayah dan tata ruang di daerah.  Padahal, IMB dan AMDAL merupakan produk hukum yang dibuat sejalan dengan adanya otonomi daerah, di mana daerah dapat menentukan dan mengontrol daerahnya sendiri.

Akan tetapi, di satu sisi IMB dan AMDAL justru merupakan faktor penghambat terbesar dalam iklim investasi di Indonesia. Pasalnya, dalam proses pembuatannya kedua perizinan tersebut dapat memakan waktu hingga 6 bulan.

Sedangkan jika dibandingkan dengan Malaysia, proses dalam perizinan bangunan disana hanya sekitar 54 hari. Tentu tidak mengherankan jika banyak pebisnis yang lebih memilih Malaysia dan Vietnam untuk berinvestasi dibandingkan Indonesia.

Di samping itu, aspek perizinan usaha merupakan ranah yang sarat akan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terutama di daerah. Perizinan IMB dan AMDAL banyak disalahgunakan oleh pejabat daerah dan perangkatnya untuk meraih keuntungan yang pada akhirnya merugikan negara.

Ranah ini menjadi lahan panas di daerah dikarenakan sistem perizinan umumnya memiliki mekanisme yang rigid. Hal ini tentu bertolak belakang dengan logika usaha yang menuntut adanya fleksibilitas dan kemudahan. Kondisi tersebut akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan di daerah untuk mencari keuntungan.

Dua kasus mega korupsi yang dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Timur merupakan contoh dari maraknya praktik perizinan di daerah. Bupati tersebut menjadi tersangka dalam kasus perizinan ilegal usaha pertambangan yang merugikan negara masing-masing Rp 5,8 triliun.

Akankah Berhasil ?

Omnibus law yang menjadi salah satu program strategis Jokowi ini tampaknya tidaklah mudah untuk direalisasikan. Hal ini dikarenakan Indonesia belum memiliki pengalaman dalam merumuskan aturan semacam ini dan banyaknya aspek yang harus dirangkum dalam aturan ini.

Omnibus law yang akan dibentuk ini pasalnya akan menderegulasi sekitar 72 undang-undang (UU) terkait ekonomi.

Jorgen Gronnegard Christensen dalam Regulation, deregulation and public bureaucracy setidaknya melihat terdapat empat aspek yang dapat menjadikan kebijakan yang deregulatif berhasil. Kebijakan deregulatif dapat berhasil ketika terdapat kepemimpinan politik yang kuat, aspek birokratis yang mumpuni, kemampuan pemerintah dalam mengontrol opini dan implementasi kebijakan yang baik.

Jika dilihat lebih jauh, pembentukan kebijakan ini didasari pada visi yang jelas dari pemerintah. Selain itu, setiap lembaga pemerintah baik dari kementerian terkait hingga lembaga negara secara serius menggarap aturan ini secara cepat.

Akan tetapi, dalam pembentukan sebuah kebijakan berupa UU diperlukan mekanisme DPR sebagai lembaga pembuat legislasi. Adanya keseriusan oleh pemerintah saja tentu tidak akan cukup tanpa adanya kerjasama dengan DPR.

Sebagaimana yang selama ini diketahui, produktivitas DPR dalam menghasilkan UU sangatlah minim. Dalam pembuatan UU mengenai Pertanahan, Data Pribadi dan Pengahapusan Kekerasan Seksual saja DPR hingga akhir masa jabatannya belum mampu mengesahkannya. Apalagi UU semacam omnibus law yang lebih memiliki kompleksitas dan dimensi yang luas.

Selain itu, adanya omnibus law ini juga tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan adanya penyederhanaan birokasi. Pewacanaan pemerintah mengenai penghapusan 444.000 eselon III dan IV tentu merupakan langkah yang baik dalam mendukung adanya aturan ini.

Salah satu pekerjaan rumah terbesar dari pemerintah saat ini ialah bagaimana pemerintah mampu mensinkronisasikan visi besar pemerintah pusat kepada masyarakat luas dan aparatur daerah. Hal ini dikarenakan pemerintahan daerah lah yang nantinya akan mengelola dan menjadi eksekutor dari aturan yang tertuang dalam omnibus law.

Jawaban dari berbagai permasalahan diatas menurut Christensen ialah bagaimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut nantinya dapat memiliki implikasi yang nyata di masyarakat. Dalam artian, omnibus law yang disebut sebagai UU sapu jagat tersebut harus berdampak nyata pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan menguntungkan ke masyarakat secara langsung.

Jika melihat kerasnya upaya pemerintah, tentu bukan hal yang mustahil jika omnibus law yang akan terbit ini akan berhasil. Selain karena adanya visi yang jelas dan komitmen yang kuat dari pemerintah juga terdapat dukungan publik yang besar khususnya dari kalangan pengusaha. Akan tetapi, ujian terdekat yang harus segera dapat dilalui pemerintah ialah memastikan DPR dapat bekerjasama untuk mewujudkan wacana ini menjadi UU.

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Polemik Skuter, Anies Telat Adaptasi?

Skuter listrik di Jakarta menuai banyak polemik di Jakarta. Kisruh ini kembali memunculkan asumsi tentang kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam merespon pembangunan di ibukota....

Pilkada Asimetris, Kepentingan Siapa?

Adanya evaluasi besar-besaran terkait Pemilihan Umum (Pemilu) langsung 2019 lalu memunculkan wacana akan diubahnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan. Pilkada asimetris banyak...

Asa KPU Larang Koruptor Berlaga

Mantan koruptor tampaknya akan kembali terancam setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mewacanakan akan dilarangnya keikutsertaan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Akan...