HomeNalar PolitikWiranto dan Hoaks Setara Teror

Wiranto dan Hoaks Setara Teror

Wiranto mewacanakan penggunaan UU Terorisme untuk melawan hoaks. Benarkah langkah tersebut?


Pinterpolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]pa cara terbaik menghadapi hoaks? Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada Menkopolhukam Wiranto,  jawabannya adalah dengan menggunakan UU Terorisme. Bagi sebagian orang, wacana Wiranto ini boleh jadi tidak lazim, tetapi pendiri Partai Hanura ini punya alasan tersendiri.

Menurut Wiranto, pelaku penyebar hoaks sama saja menyebar teror atau ketakutan di dalam masyarakat. Apalagi, menurutnya kini masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak datang ke TPS saat Pemilu. Oleh karena itu, dalam pandangan Wiranto, penting bagi aparat keamanan untuk mempertimbangkan wacana ini agar para pelaku hoaks dapat ditindak.

Sayangnya, wacara penggunaan UU Terorisme untuk kasus hoaks ini ternyata tak sepenuhnya disambut baik. Elemen masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menganggap bahwa ada potensi bahaya jika pelaku hoaks dijerat oleh UU Terorisme. Nada sumbang juga hadir dari politisi oposisi yang menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Jika nantinya pelaku hoaks dijerat dengan UU Terorisme, maka boleh jadi pemerintah akan memasuki fase baru dalam memerangi berita palsu tersebut. Bagaimanapun, UU Terorisme adalah payung hukum yang dapat dikategorikan sebagai perang terhadap terorisme, sehingga pemerintah juga akan melakukan perang terhadap hoaks melalui wacana tersebut. Lalu, apakah wacana tersebut tepat untuk melawan hoaks?

Gerakan Gencar Pemerintah

Hoaks belakangan ini tampak menjadi salah satu musuh utama pemerintah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi persoalan berita palsu tersebut. Mulai dari pembentukan lembaga, penegakan hukum, hingga sosialisasi terus dilakukan untuk meredakan aliran hoaks di Indonesia.

Pemerintah sebelumnya sudah terlebih dahulu meresmikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Lembaga yang awalnya bernama Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) ini salah satu tugasnya adalah memantau peredaran hoaks di dunia siber.

Tak hanya itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga tergolong rajin menggalakkan perlawanan pemerintah atas hoaks. Kementerian yang dikomandoi Rudiantara itu misalnya pernah menyebut bahwa mereka akan mengungkap hoaks setiap satu minggu sekali. Mereka bahkan juga punya Lambe Hoaks – ikon Kemenkominfo untuk melawan berita palsu.

Wacana Wiranto yang akan menggunakan UU Terorisme untuk menjerat para pelaku hoaks ini boleh jadi langkah baru yang cukup berani jika dibandingkan dengan langkah-langkah sebelumnya. Dalam kadar tertentu, penggunaan UU tersebut membuat perlawanan pemerintah kepada hoaks seperti meningkat menjadi perang.

Di satu sisi, langkah-langkah pemerintah tersebut boleh jadi rasional. Banyak sekali masyarakat yang dengan mudah sekali percaya informasi dari ‘grup sebelah’, padahal kebenarannya belum terverifikasi. Kabar tersebut beberapa kali bahkan bernada kebencian dan berpotensi memecah belah masyarakat.

Yang jadi masalah, apakah penggunaan UU Terorisme untuk hoaks sepenuhnya tepat? Jika UU yang jadi patokannya, perkara hoaks ini lebih banyak terkait dengan UU ITE dan juga KUHP.

Di lain pihak, jika merujuk pada UU Terorisme, definisi terorisme tidak membahas tentang hoaks atau berita bohong. Memang, ada perkara menebar rasa takut di dalam UU tersebu, tetapi para aktivis dan ahli hukum tampak tak terlalu sepakat jika penafsiran rasa takut di UU Terorisme diperluas hingga dikaitkan dengan hoaks. Hal ini terkait dengan potensi penyalahgunaan yang besar jika tafsiran itu diperluas. Apalagi, rangkaian hukuman dari UU tersebut cukup berat dan tak main-main.

Memperluas Wewenang

Seperti disebutkan sebelumnya, wacana penggunaan UU terorisme untuk kasus hoaks bisa saja menggambarkan bahwa kini pemerintah tengah melakukan perang terhadap penyebaran berita palsu tersebut. Hal ini boleh jadi akan menambah agenda “perang” pemerintah yang sudah ada sebelumnya.

Indonesia, seperti kebanyakan negara lain, sudah lebih dahulu melakukan perang melawan narkoba atau war on drugs dan perang melawan terorisme atau war on terror. Operasi pemerintah untuk melawan hal-hal tersebut terbilang masif di mana ancaman hukuman mati jadi sanksi tertinggi.

Wacana Wiranto menggunakan UU Terorisme untuk melawan hoaks mengandung potensi bahaya. Click To Tweet

UU terorisme, dalam kadar tertentu adalah gambaran dari war on terror yang dilakukan oleh Indonesia. Menurut Wadie E. Said, profesor hukum dari University of South Carolina, dengan menggunakan istilah perang atau war, dapat digambarkan bahwa pemerintah memang serius untuk menghadapi persoalan tersebut dan para pelakunya dianggap sebagai musuh negara.

Berdasarkan kondisi tersebut, wacana Wiranto untuk menggunakan UU Terorisme kepada kasus hoaks bisa saja menjadi gambaran bahwa pemerintah ingin dianggap serius dalam melakukan perlawanan terhadap hoaks. Selain itu ini juga dapat menjadi penanda bahwa hoaks akan menjadi musuh dari pemerintah.

Yang menjadi masalah adalah, UU berbau perang seperti ini memiliki kecenderungan untuk memperluas kewenangan negara terhadap warga negaranya. Menurut Said, narasi perang ini membuat negara memiliki diskresi yang luas untuk melakukan penegakan hukum. Skema hukum yang terlalu luas ini berpotensi menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dan tidak efektif.

Dalam konteks AS bentuk dari ketidakadilan dan ketidakefektifan itu dapat terlihat dari kelompok komunitas mana yang kerap terjerat war on terror dan war on drugs. Menurut Said korban perang melawan teror umumnya adalah kaum Muslim, sementara korban perang melawan narkoba umumnya adalah masyarakat kulit hitam dan Hispanik.

Berpotensi Tidak Adil

Berdasarkan kondisi tersebut, wacana penggunaan UU Terorisme untuk melawan hoaks boleh jadi bukanlah  hal yang benar-benar tepat. Wacana tersebut boleh jadi hanya akan menambah kewenangan negara untuk berperang dengan menggunakan perluasan hukum.

Di atas kertas, perluasan penafsiran terhadap UU Terorisme ala Wiranto ini memang dapat dipertanyakan. Idealnya, pemerintah tidak menggunakan subjektivitasnya dalam menggunakan hukum. Terlebih, sudah ada peraturan lain yang bisa menjerat pelaku hoaks selain UU Terorisme.

Pada titik tersebut, akan banyak masyarakat yang bisa berpotensi terjerat langkah perang pemerintah, seiring dengan perluasan wewenang mereka. Sayangnya, seperti contoh yang disebut di atas, ada potensi bahwa skema hukum yang berjalan berpotensi tidak efektif dan tidak adil.

Potensi ketidakefektifan dan ketidakadilan itu sebenarnya bersumber dari batasan dan definisi hoaks itu sendiri. Dalam konteks tersebut, siapakah pihak yang paling berhak dan bisa diandalkan untuk menilai sesuatu hoaks atau bukan?

Jika pemerintah yang diberikan kuasa untuk menafsirkan mana yang hoaks dan mana yang tidak, maka potensi penyalahgunaan seperti yang diungkapkan para pengamat menjadi lebih nyata. Ada potensi bias yang tinggi dari pelabelan hoaks di mana berbagai berita yang merugikan pemerintah bisa saja dicap sebagai hoaks.

Merujuk pada hal tersebut, potensi ketidakadilan dan ketidakefektifan yang disebutkan Said boleh jadi akan muncul. Jika di AS korban ketidakadilannya adalah ras dan agama tertentu, maka dalam perang melawan hoaks korbannya bisa saja kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah.

Jika wacana dari Wiranto ini kemudian dianggap rasional dan diterapkan oleh para penegak hukum, maka perkara penggunaan hukum untuk melawan kekuatan yang beroposisi kepada pemerintah akan semakin nyata. Penulis seperti Tom Power dan Edward Aspinall telah mewanti-wanti hal ini karena membuat aroma otoritarianisme di pemerintahan saat ini semakin tercium.

Pada akhirnya, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memperluas penafsiran UU Terorisme untuk menjerat pelaku hoaks. Potensi biasnya terlampau tinggi jika UU berbau perang ini diterapkan untuk melawan hoaks.

Jika sudah begini, pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Wiranto sampai harus mengeluarkan wacana tersebut? Apakah murni demi penegakan hukum atau ada hal lain di baliknya? (H33)

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...