HomeNalar PolitikTjahjo Lindungi Ganjar?

Tjahjo Lindungi Ganjar?

Sikap Tjahjo Kumolo yang tak memproses deklarasi dukungan Ganjar Pranowo dianggap menodai netralitas pejabat publik jelang Pemilu.


Pinterpolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]erkara netralitas pejabat negara merupakan hal yang kerap diributkan dalam setiap musim Pemilu. Hal ini belakangan mendapatkan sorotan tajam seiring dengan deklarasi dukungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama 31 kepala daerah kepada kandidat petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Netralitas Ganjar kemudian berada dalam tanda tanya besar terkait dengan deklarasi dukungan tersebut. Beberapa pihak menganggap Ganjar tak seharusnya mengambil langkah demikian. Bawaslu bahkan merekomendasikan agar Ganjar mendapatkan sanksi karena melanggar netralitas pejabat negara sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Meski ancaman sanksi muncul, nyatanya Ganjar justru mendapatkan pembelaan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan Ganjar dan 31 kepala daerah tersebut tidak melakukan pelanggaran apapun dan sudah melakukan segalanya sesuai dengan prosedur dan ketentuan aturan yang ada.

Kubu oposisi dan beberapa pengamat tampaknya tak sepakat dengan pandangan tersebut. Tudingan tak netral kini tak hanya dialamatkan kepada Ganjar, tetapi juga kepada Tjahjo sebagai Mendagri. Pada titik tersebut, benarkah tudingan tak netral kepada Tjahjo itu? Lalu, apa dampaknya jika pejabat seperti Ganjar netralitasnya dalam tanda tanya besar?

Menjadi Pelindung?

Seorang menteri, terlepas dari jabatannya yang bersifat politis, pada praktiknya diharapkan akan mendahulukan kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan politiknya. Dalam kadar tertentu, menteri tersebut diharapkan bersikap lebih netral terutama di waktu-waktu genting seperti Pemilu.

Netralitas Tjahjo, dalam kasus deklarasi dukungan Ganjar dan kepala daerah lain kepada Jokowi berada dalam tanda tanya besar. Pasalnya, Tjahjo dan Ganjar memang memiliki kecenderungan arah politik yang seragam. Publik bisa saja mengartikan bahwa Tjahjo melindungi Ganjar karena kesamaan pilihan politik tersebut, pun kesamaan partai politik – sama-sama kader PDIP.

Yang jadi persoalan, Bawaslu telah lebih dahulu merekomendasikan agar Ganjar dan kawan-kawan diberikan sanksi karena dianggap melanggar netralitas dalam UU Pemda. Sempat dituduh melanggar UU Pemilu, nyatanya Bawaslu menganggap bahwa Ganjar dan kawan-kawan melanggar netralitas sebagai kepala daerah.

Meski demikian, Tjahjo tampak tak mengindahkan rekomendasi dari Bawaslu tersebut. Menurutnya, Ganjar dan para kepala daerah telah melakukan semuanya sesuai prosedur. Tak hanya itu, menurut mantan Sekjen PDIP itu, Ganjar dan 31 kepala daerah memiliki hak politik dan berhak untuk berkampanye.

Di satu sisi, secara formal, memang tak banyak ruang untuk memberikan sanksi kepada Ganjar. Karena dianggap sebagai pelanggaran dari sisi etika, memang tak banyak konsekuensi hukum dari langkah Ganjar dan kawan-kawan.

Akan tetapi, idealnya, sebagai Mendagri yang membawahi banyak kepala daerah, Tjahjo bisa memberikan teguran kepada Ganjar dan kepala-kepala daerah tersebut terkait dengan kiprah politiknya. Pada titik ini, publik bisa saja menilai bahwa Tjahjo tidak mampu mengarahkan dan mengawasi para kepala daerah untuk menjalankan fungsi mereka masing-masing.

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Merujuk pada kondisi tersebut, secara alamiah tentu kubu yang beroposisi dengan pemerintah akan memberikan kritik. Mereka berharap Tjahjo sebagai Mendagri bisa bersikap adil dan netral kepada Ganjar dan 31 kepala daerah tersebut. Lebih jauh, mereka kemudian mengungkit perkara yang melibatkan pejabat publik yang mendukung kubu mereka, tetapi bernasib lebih apes karena disanksi.

Netralitas Pejabat Publik

Netralitas pejabat publik kerap kali menjadi keharusan dalam penyenggaraan negara. Hubungan antara kebijakan untuk publik dan masalah politik memang merupakan hal yang tak terhindarkan bagi seorang pejabat publik, tetapi idealnya urusan politik dapat sedikit diredam dan lebih mendahulukan urusan publik.

Secara tradisional, menurut Kenneth Kernaghan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pejabat publik untuk menjalankan netralitas politik tersebut. Salah satu prinsip tersebut adalah seorang pejabat publik tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik partisan.

Tjahjo Ganjar

Menteri, meski ditunjuk secara politik, pada praktiknya tetap dianggap sebagai pejabat publik. Menteri dan anggota-anggota kabinet lainnya memimpin operasi birokrasi, selain bertugas juga sebagai pembantu bagi presiden.

Menurut Kernaghan, netralitas politik memerlukan proses depolitisasi kepada para birokratnya. Keterlibatan seorang pejabat dengan urusan politik dalam kebijakan publik jelas bertentangan dengan netralitas politik tersebut.

Pada titik ini, sebagai orang yang memimpin operasi birokrasi, menteri juga idealnya bisa menunjukkan netralitas politik yang lebih baik. Meski dipilih secara politik dan berasal dari parpol, idealnya urusan publik menjadi lebih utama ketimbang urusan politik.

Mendagri dan Berbagai Aksesnya

Sejauh ini, memberi cap bahwa Tjahjo telah berlaku tidak adil dan bersikap tidak netral bisa saja dianggap terburu-buru oleh sejumlah pihak. Akan tetapi, jika melihat bagaimana kiprah Tjahjo yang seperti melepaskan Ganjar begitu saja, maka secara alamiah publik bisa mengira ia tengah melindungi Ganjar.

Tjahjo seperti membiarkan Ganjar dan banyak kepala daerah lain mengekspresikan dukungan mereka kepada Jokowi. Deklarasi para kepala daerah itu dalam kadar tertentu sejalan dengan aspirasi politik dari Tjahjo.

Netralitas Tjahjo dalam tanda tanya besar saat bersikap tentang kasus Ganjar Pranowo Click To Tweet

Sang menteri memang memiliki kecenderungan politik mendukung Jokowi. Sebagai menteri yang ditunjuk langsung oleh Jokowi, Tjahjo kerap tak segan membela Jokowi dari berbagai kritik. Tak hanya itu, ia juga adalah bekas Sekjen PDIP, partai yang kini menjadi penyokong utama Jokowi dalam Pilpres 2019.

Merujuk pada kondisi tersebut, ada potensi konflik kepentingan dalam diri Tjahjo saat memutuskan sesuatu. Secara aspirasi politik, Tjahjo memiliki kedekatan dengan Jokowi dan PDIP. Oleh karena itu, selagi sesuatu hal sejalan dan menguntungkan aspirasi politiknya tersebut, maka ada potensi Tjahjo bersikap tidak netral.

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Dalam kasus Ganjar dan 31 kepala daerah, kesamaan aspirasi politik itu dapat terlihat. Pada titik ini, ada kecenderungan bahwa Tjahjo masih menjalankan aktivitas politik partisan saat menjadi pejabat publik.

Merujuk pada hal tersebut, Tjahjo bisa dianggap belum menjalankan netralitas politik seperti yang digambarkan oleh Kernaghan. Idealnya, sebagai anggota kabinet yang mengepalai birokrasi, Tjahjo mengalami depolitisasi, sehingga lepas dari sikap partisannya.

Jika benar pejabat seperti Tjahjo telah benar-benar kehilangan netralitasnya, maka ada potensi bahaya yang menanti di Pemilu, terutama Pilpres nanti.  Ada beragam akses dari posisi Tjahjo sebagai pemimpin koordinasi birokrasi di negeri ini.

Sebagai Mendagri, Tjahjo memiliki akses luas kepada kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia. Bisa dibilang, Tjahjo memiliki kemampuan untuk mengoordinasikan kepala-kepala daerah tersebut. Pada kondisi yang ideal, posisi ini dapat digunakan untuk mengawasi bahkan menegur kepala daerah yang tak netral dalam gelaran Pemilu nanti. Akan tetapi, pada praktiknya, nyatanya kepala daerah yang menurut Bawaslu melanggar etika ternyata tak menjadi bagian dari pengawasan dan koordinasi Tjahjo.

Pada titik ini, jika ada kasus netralitas serupa seperti Ganjar di masa depan, Tjahjo berpotensi mengalami konflik kepentingan saat dihadapkan dengan pilihan politiknya. Jika terjadi deklarasi dukungan kepala daerah kepada Jokowi di masa depan, maka bukan tidak mungkin Tjahjo akan kembali membiarkannya bahkan melindungi hal tersebut sebagaimana ia mengungkit hak politik Ganjar.

Yang jadi masalah adalah, kepala daerah ini memiliki keleluasaan untuk menyentuh masyarakat di tingkat daerah. Jika keberpihakan kepala daerah ini terus dibiarkan Tjahjo, maka kubu oposisi berpotensi dirugikan karena level permainannya tak lagi sama.

Tak hanya itu, sebagai pihak yang bisa mengoordinasi dan mengawasi kepala daerah, posisi Tjahjo juga rawan untuk mengarahkan para kepala daerah agar sesuai dengan aspirasi politiknya. Memang, sejauh ini tak ada bukti dari hal ini, tetapi melihat kiprahnya yang seperti tak berdaya menghadapi Ganjar, publik bisa saja menaruh curiga.

Pada akhirnya, publik tentu berharap Tjahjo bisa mengambil keputusan secara adil dan netral. Pasalnya, ekspresi kepala daerah semacam ini berpotensi akan terus bermunculan. Netralitas Tjahjo sebagai Mendagri menjadi kunci agar hak politik para kepala daerah itu tak merugikan pihak lain. Hal ini penting, agar Pemilu nanti berjalan secara adil dan legitimasinya terjaga. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...