HomeNalar PolitikRizieq's Cyber Army

Rizieq’s Cyber Army

Seruan yang disampaikan oleh Rizieq ini kemudian diterjemahkan sebagai ‘jihad media’. Hal ini akhirnya membuat pembentukan opini publik lewat media sosial menjadi efektif bagi gerakan untuk menuntut agar Ahok dipenjara.


PinterPolitik.com

“The supreme art of war is to subdue the war without fighting” – Sun Tzu (544-496 SM), Ahli Strategi Perang

[dropcap size=big]M[/dropcap]ungkin kata-kata jenderal militer dan ahli perang Tiongkok, Sun Tzu di atas saat ini sedang populer dan digunakan dalam dunia politik modern, terutama dalam hal penggunaan media-media sosial. Selama 6 bulan terakhir, situasi politik nasional Indonesia juga dipenuhi dengan ‘perang’ di media sosial – walaupun perang tersebut tidak terjadi secara fisik. Bahkan, boleh jadi kemenangan di media sosial itulah yang berkorelasi pada kemenangan dalam kontes politik riil, misalnya yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta.

Hal ini menjadi masuk akal jika kita melihat pernyataan pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab beberapa waktu lalu. Saat memberikan ceramah di Madinah, Arab Saudi pada akhir April 2017 lalu, Rizieq menyinggung peran kelompok yang disebutnya sebagai Laskar Cyber Muslim dalam kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang juga didukung oleh FPI.

Dalam kesempatan itu, Rizieq mengatakan dalam pertarungan di dunia maya menjelang pilkada putaran kedua, Laskar Cyber Muslim adalah kelompok yang ikut membantu jika ada serangan terhadap umat Islam atau para ulama. Ia juga mengatakan bahwa kesuksesan aksi 212, 411 dan berbagai aksi lain juga sangat dibantu oleh Laskar Cyber Muslim ini, termasuk juga dalam pembentukan opini dan penyebaran konten tertentu.

Jika menilik lebih ke belakang, sebelum-sebelumnya juga beredar video instruksi Rizieq sendiri dalam salah satu ceramahnya untuk mengajak semua simpatisan yang menggunakan media sosial agar ikut membantu aksi perang di media sosial tersebut. Berikut adalah penggalan video tersebut.


“Kita harus kalahkan Ahok di medsos. Jadi anak-anak muda, jangan tinggalkan medsosnya saudara. Gunakan akun-akun anda, twitter, facebook, internet, semuanya. Pokoknya siapa yang nyerang Islam, bully, habisi di media sosial saudara. Setuju? Siap menangkan perang medsos?”


Demikian petikan seruan Rizieq dalam video tersebut.

Kata-kata tersebut memang menyiratkan bahwa gerakan melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – yang terjerat kasus penistaan agama – lewat media sosial menjadi salah satu cara yang diinstruksikan oleh Rizieq sendiri. Hal ini juga berkorelasi dengan dukungan terhadap Anies-Sandi yang menjadi lawan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta.

Jihad Media Sosial

Seruan yang disampaikan oleh Rizieq ini kemudian diterjemahkan sebagai ‘jihad media’. Hal ini akhirnya membuat pembentukan opini publik lewat media sosial menjadi efektif bagi gerakan untuk menuntut agar Ahok dipenjara. Seruan Rizieq ini juga sangat besar perannya untuk memainkan opini dan meng-counter pemberitaan yang selama ini seringkali dikuasai oleh media-media mainstream.

Lalu, seberapa besar gerakan Laskar Cyber Muslim ini? Dalam ceramahnya di Madinah, Rizieq mengklaim bahwa terdapat 2 juta orang yang ikut dalam gerakan Laskar Cyber Muslim ini – yang kalau mau, mungkin bisa juga disebut sebagai Laskar Cyber Rizieq. Ia mengklaim bahwa laskar tersebutlah yang melawan setiap pemberitaan yang menjatuhkan ulama dan umat Islam. Gerakan ini juga terbukti mampu menggerakkan massa untuk ikut hadir dalam aksi bela Islam yang memutihkan Jakarta.

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Rizieq bahkan menyebut gerakan ini tidak bergerak secara main-main. Dengan jumlah yang demikian besar, laskar ini bisa memainkan dan membentuk opini publik, melawan setiap pemberitaan yang menyerang ulama, atau menggulirkan dan menyebarkan isu tertentu. Bisa dibayangkan bagaimana kekuatan 2 juta orang membuat sebuah opini di media sosial, termasuk membuat suatu hal menjadi trending topic di twitter atau facebook dan lain sebagainya. Dengan kekuatan yang demikian, tidak heran jika aksi besar seperti 212 bisa terjadi di Jakarta.

Dalam perspektif politik, aksi jihad media sosial ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Seiring perkembangan teknologi informasi dan  komunikasi, media sosial memang seringkali dipakai sebagai sarana kampanye politik yang paling efektif bahkan bisa menggerakan ratusan ribu hingga jutaan orang. Jihad media sosial ala Rizieq ini terbukti mampu mengalahkan laskar cyber (cyber army) milik tim Ahok-Djarot.

Peran Laskar Cyber ini bisa dilihat berdasarkan data yang diperoleh dari Politicawave – sebuah lembaga yang sering mengeluarkan analisis politik berdasarkan tren di media sosial – seperti dikutip oleh Hersubeno Arief di laman Republika.co.id.

Menurut data tersebut, pada dua pekan masa awal kampanye, yakni antara 23 September 2016 sampai 3 Oktober 2016, percakapan tentang pasangan Ahok-Djarot sangat mendominasi di media sosial. Dari total 243.859 percakapan, pasangan Ahok-Djarot memimpin dengan 146.460 percakapan, atau total share of awareness-nya mencapai 60.06 %, dengan 63.81 persen di antaranya adalah percakapan positif. Net sentiment atau selisih dari sentimen positif dengan sentimen negatif Ahok-Djarot juga paling tinggi dibandingkan dua pasangan lainnya.

Situasinya menjadi berubah drastis setelah munculnya aksi 411 dan 212 sebagai buntut pidato Ahok di Pulau Seribu yang menyinggung tafsir Surat Al-Maidah 51. Percakapan tentang Ahok pada tanggal 6 Oktober – 20 November, atau setelah kasus Al-Maidah 51 melonjak menjadi hampir dua kali lipat sebesar 216.466 percakapan. Namun, sentimen negatifnya lebih besar dibanding yang positif. Tercatat ada sekitar 126.872 percakapan negatif, atau mencapai 58.61 persen dari keseluruhan.

Sentimen negatif terhadap Ahok terus meningkat setelah aksi 212. Ahok memang tetap paling banyak dibicarakan di media sosial, tetapi dengan lebih banyak sentimen negatif. Net sentiment Ahok bahkan mencapai -92,047. Hersubeno Arief menyebutkan bahwa terus menurunnya net sentiment Ahok-Djarot ini adalah hasil kerja dari Laskar Cyber Muslim ini yang rajin bergerilya di dunia maya. Walaupun tidak terkoordinasi, tanpa markas besar dan tanpa komando, namun mereka berhasil membuat keder Ahok Cyber Army yang notabene lebih berpengalaman, professional, terkoordinasi.

Baca juga :  Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Laskar Cyber: What’s Next?

Pilkada Jakarta memang telah usai dan Ahok sudah dipenjara. Tentu kita bertanya-tanya apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Laskar Cyber ini. Sisa-sisa gerakan tersebut juga masih terlihat jika kita mengamati berbagai postingan berita yang menyudutkan Rizieq atau FPI di mana pasti selalu ada akun yang dengan gigihnya menyerang pemberitaan-pemberitaan tersebut.

Bahkan, istilah bullying di media sosial juga semakin populer berkat gerakan-gerakan semacam ini – walaupun bullying di media sosial sudah muncul sejak lama. Jangan heran jika kita mendapati satu bagian komentar di facebook misalnya yang bisa berisi ratusan percakapan. Yang disayangkan adalah banyak dari percakapan tersebut berisi kata-kata yang tidak pantas, penuh hujatan dan menebar kebencian. Apa mau dikata, memang seperti itulah dunia media sosial. Seringkali ‘kelinci berubah menjadi serigala’ ketika ada di dunia maya.

Keterlibatan gerakan di media sosial untuk gerakan politik ini memang fenomena yang sudah terjadi di mana-mana. Kita tentu ingat berbagai analisis yang menyebutkan kampanye di media sosial adalah salah satu strategi yang memenangkan Donald Trump pada pilpres 2016 lalu di Amerika Serikat. Peran media sosial dianggap sangat membantu kemenangan Trump di tengah selentingan bahwa media-media mainstream Amerika Serikat lebih banyak yang mendukung Hillary Clinton dan menyerang Trump yang dianggap tidak layak menjadi presiden Amerika Serikat.

Keberadaan Laskar Cyber Muslim atau Laskar Cyber Rizieq atau apa pun sebutannya itu, memang membuktikan besarnya pengaruh media sosial dalam panggung politik nasional 6 bulan terakhir ini. Peran media sosial memang sangat besar terutama untuk menggerakan massa dan membentuk opini publik. Media sosial menjadi ruang-ruang diskusi dan penyebaran pemikiran tertentu tanpa harus dibatasi lagi oleh ruang dan waktu. Siapa saja boleh berbicara tentang apa pun, dari mana pun, dan kapan pun, asalkan ia terhubung ke internet.

Pada akhirnya, akankah laskar cyber ini akan membela Rizieq juga saat kini ia terjerat oleh banyak kasus hukum? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas beberapa hari yang lalu sempat beredar video yang disebut berasal dari kelompok hacker Anonymous yang membantah tuduhan bahwa merekalah yang menyebarkan konten chat pornografi antara Rizieq dengan Firza Husein.

https://www.instagram.com/p/BUMLaUVA0Uk/

Apakah ini betul dari kelompok hacker Anonymous? Jika ditelusuri dari kanal youtube, video tersebut berada di kanal yang berbeda dan bukan di kanal resmi Anonymous.  Atau bisa jadi ini juga adalah kerja dari Laskar Cyber Rizieq? Belum ada yang bisa membuktikannya. Yang jelas, seperti kata Sun Tzu di awal, media sosial memang bisa mendatangkan kemenangan tanpa harus bertarung. Apa pun itu, Rizieq telah memenangkan pertarungannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.