HomeNalar PolitikRizieq Di Tengah Reformasi Pangeran Salman

Rizieq Di Tengah Reformasi Pangeran Salman

Arab Saudi kembali menunjukkan sebuah gejala reformasi politik dan pemerintahan fundamental ketika baru-baru ini dikabarkan menangkap salah satu ulama terkemuka, Syekh Abdullah Basfar. Tak hanya sebatas konteks Rizieq Shihab yang sedang berada di negara itu, gejala tersebut dinilai akan berdampak signifikan bagi dinamika politik Indonesia.


PinterPolitik.com

Meski terpaut ribuan kilometer, resonansi politik di Timur Tengah nyatanya selalu memiliki signifikansi tersendiri bagi Indonesia. Terutama mengenai dinamika politik Arab Saudi, negara tempat dua kota suci bagi populasi mayoritas di tanah air.

Yang terbaru, publik Indonesia tersentak atas penangkapan terhadap ulama sekaligus qari atau pelantun kitab suci Al-Qur’an terkemuka, Syekh Abdullah Basfar yang dilakukan oleh otoritas Arab Saudi.

Penangkapan tersebut dikuak oleh akun Twitter the Prisoners of Conscience dan dilansir Middle East Monitor yang mengatakan bahwa Syekh Basfar ditahan sejak Agustus lalu, meski tak merinci bagaimana dan di mana sosok yang juga merupakan associate professor di Departemen Studi Syariah dan Islam, King Abdul Aziz University itu ditahan.

Hal ini sekaligus menambah rentetan penahanan serupa terhadap ulama lainnya, jurnalis, eks menteri, hingga sesama ningrat sejak Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) naik tampu sebagai Putra Mahkota Saudi pada tahun 2017 dan mulai melakukan reformasi politik, sosial, dan ekonomi di negaranya.

Satu yang menarik perhatian publik Indonesia tentu tertuju pada bagaimana nasib Rizieq Shihab sebagai ulama yang notabene memilih Arab Saudi sebagai tempat “pengasingan” atas polemik beberapa waktu lalu.

Dalam merespon penangkapan ulama Saudi itu, Front Pembela Islam (FPI) sejauh ini hanya berharap hubungan sang imam besar dengan kerajaan Arab Saudi tetap baik.

Akan tetapi, makna berarti bagi Indonesia di balik penangkapan Syekh Basfar lebih dari sekedar nasib Habib Rizieq semata. Penangkapan yang dinilai bagian dari reformasi pangeran MBS dan mengarah pada moderasi paradigma fundamental Saudi itu tampaknya merupakan babak baru bagi konstelasi politik Islam di dunia.

Hipotesa ini didukung oleh pengamat politik Timur Tengah, Zuhairi Misrawi yang sayangnya melihat bahwa gejala belakangan ini justru menunjukkan kemunduran bagi citra Arab Saudi selama ini.

Ihwal senada dihaturkan oleh pengamat politik internasional, Arya Sandhiyudha yang menaksir jika manuver Arab Saudi tersebut akan berimbas minor bagi reputasi Saudi di dunia Islam internasional sebagai Khadimul Haramayn atau penjaga dua tempat suci.

Lantas, seperti apa pengaruh gejala reformasi yang dilakukan Arab Saudi, termasuk mengenai penangkapan ulama terkemuka, terhadap politik dan pemerintahan di tanah air?

Berakhirnya Era Saudi Microcosm?

Penangkapan Syekh Abdullah Basfar oleh otoritas Saudi nyatanya bukanlah yang pertama. Sejak Pangeran Salman naik tahta pada medio 2017 silam, tercatat ratusan orang berlatar belakang telah ditangkap mulai dari ulama, jurnalis, akademisi, aktivis siber, mantan menteri, hingga sesama anggota kerajaan.

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Radikalisme hingga pemikiran kritis terhadap jalannya pemerintahan kerajaan yang diekspresikan berbagai kalangan tersebut disinyalir menjadi musabab mereka “diciduk” Salman.

Selain penangkapan ulama, berbagai tren seperti mengizinkan pagelaran konser pertama dalam sejarah hingga mengakomodasi hak perempuan yang dianggap bagian dari reformasi plus modernisasi politik, sosial, dan ekonomi dinilai cukup mencengangkan, bahkan bagi Barat.

Bagaimana tidak, Stephen Kizner dalam Saudi Arabia is Destabilizing the World menilai bahwa Barat menganggap selama ini Arab Saudi gencar melakukan kampanye Islam Wahabi secara sistematis untuk menancapkan pengaruh ideologinya di dunia Islam, termasuk Indonesia.

Bahkan Kizner menyebut jika terdapat narasi lebih tendensius yang menuding kampanye pelan tapi pasti Arab Saudi di berbagai negara itu turut membentuk radikalisme Islam global dan bermuara pada bermacam teror yang menyasar Barat.

Dari sisi historis, dinasti Saudi memang lekat dengan perpaduan antara politik dengan agama Islam. Pendiri kerajaan Saudi, yakni Muhammad Bin Saud menjadikan pemikiran Islam dari seorang ulama bernama Muhammad Abd. al-Wahhab sebagai penyokong dinasti, yang turut membuat kerajaan berhasil menganeksasi wilayah cukup besar di Jazirah Arab pada tahun 1700-an.

Meski terdapat berbagai dinamika dan friksi, termasuk dengan Ottoman, sejak saat itulah kerajaan memerintah atas pengaruh dan bimbingan para ulama yang melegitimasi jalannya pemerintahan Saudi hingga kini.

Revolusi Iran dengan aliran Syiahnya pada tahun 1979 mengusik kerajaan Saudi modern sehingga terciptalah persaingan hegemoni Islam antara dua kutub berbeda.

Strategi Saudi dalam persaingan tersebut ialah dengan menyebarkan doktrin beraliran “Wahabi” Salafisme ke “negara-negara potensial” – salah satunya Indonesia – dengan apa yang disebut oleh Amanda Kovac sebagai Saudi microcosm atau dunia representasi pengaruh Saudi.

Islamic education atau pendidikan islam dijadikan perantara dalam membantu melegitimasi domestik Arab Saudi.

Dalam tulisannya yang berjudul Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesia’s Muslims, Kovac menyebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang kental dengan pengaruh pendanaan Saudi sejak 1970-an sebagai Saudi microcosm, yang dalam perjalanannya turut melahirkan aktor dengan berbagai peran signifikan di tanah air.

Senada dengan Kovac, Krithika Varagur dalam Saudi Arabia Quietly Spreads its Brand of Puritanical Islam in Indonesia menyebut banyak “alumni Saudi” asal LIPIA menjadi tokoh dengan pengaruh kuat di tanah air seperti Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Aman Abdurrahman, Bahtiar Nasir, Ulil Abshar Abdalla, termasuk juga Rizieq Shihab.

Nama terakhir menjadi menarik jika dikaitkan dengan fenomena penangkapan ulama oleh Saudi belakangan ini. Dua konteks yang cukup ganjil jika dikomparasikan, yakni tentang bagaimana selama ini Rizieq, sebagai representasi ulama kharismatik, bermanuver dalam politik dan pemerintahan Indonesia.

Selain itu, Rizieq dan tokoh-tokoh tersebut mungkin akan sungkan atau bahkan sedikit kebingungan untuk merespon penangkapan ulama oleh dinasti Saudi. Menurut dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Ali Munhanif, political engagement dengan Saudi melalui yayasan serta lembaga pendidikan dan sebagainya menjadi kelemahan masyarakat muslim Indonesia, untuk bisa mengkritisi agenda politik Saudi.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Oleh karenanya, jika reformasi dan modernisasi yang dilakukan Pangeran Salman turut menggeser paradigma perpaduan antara politik dan agama dalam sistem dinasti Saudi, tentu ke depannya menjadi pertanyaan tersendiri seperti apakah doktrin dalam Saudi microcosm di Indonesia seperti LIPIA, yang sejarahnya telah melahirkan banyak tokoh berpengaruh di republik, akan tetap dipertahankan atau tidak?

Kembalikan Hakikat Pluralisme Indonesia?

Untuk menjawab bagaimana visi pengaruh Saudi di tanah air ke depannya, latar belakang sesungguhnya dari reformasi Pangeran Salman, khususnya mengenai penangkapan sejumlah kalangan, dinilai dapat menjadi pintu masuk utama.

Justifikasi radikalisme atas penangkapan ulama, jurnalis hingga sesama anggota kerajaan yang dilakukan Pangeran Salman dinilai hanya bahasa politis semata. Misrawi menyebut bahwa berbagai bentuk reformasi dan modernisasi yang dilakukan MBS hanya bagian dari upaya konsolidasi kekuasaan.

Konsolidasi kekuasaan inilah yang memberikan impresi kuat bahwa Pangeran Salman berupaya menggeser sebuah konservatisme yang disebut oleh Shawn Grimsley dalam Conservatism: History, Ideology, and Influence sebagai ideologi politik yang sangat menghormati nilai tradisional.

Grimsley menyebutkan bahwa konservatisme memang bisa berubah, namun terjadi dengan pendekatan evolusioner, bukan revolusioner. Artinya, pergeseran konservatisme yang dilakukan melalui reformasi Pangeran Salman seolah melawan hukum konservatisme itu sendiri karena cenderung berlangsung dalam waktu yang singkat.

Oleh karenanya, pada konteks Indonesia, pergeseran konservatisme tersebut dinilai juga akan berdampak pada pengaruh Saudi di Indonesia melalui Saudi microcosm seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Jika pergeseran konservatisme di Saudi terjadi dengan singkat diakibatkan oleh “kemampuan alamiah” dari sifat pemerintahan monarki absolut, pergeseran konservatisme di Indonesia tampaknya akan berlangsung dengan pendekatan evolusioner.

Preseden menjadi cukup konstruktif bagi Indonesia karena konservatisme yang berhulu dari Saudi microcosm acapkali dianggap sedikit intoleran atau kurang pluralis. Bahkan yang lebih ekstrem, konservatisme tersebut dianggap menjadi justifikasi bagi perilaku intoleran dan tak jarang bermuara pada radikalisme.

Lebih jauh, ekspektasi positif juga terpatri ketika salah satu sosok yang kerap dianggap berseberangan dengan semangat pluralisme, Rizieq Shihab diharapkan dapat memoderasi paradigma ke arah yang lebih konstruktif dan menjunjung tinggi terciptanya kondusivitas, jika berkaca pada pola reformasi Pangeran Salman kekinian.

Bagaimanapun prosesnya, baik revolusioner maupun evolusioner, eksistensi pluralisme serta toleransi hakiki antar individu dan kelompok di Indonesia memang sangat dinantikan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?