HomeHeadlineReshuffle BIN, PDIP Halangi Andika?

Reshuffle BIN, PDIP Halangi Andika?

Satu hal menarik dari isu reshuffle yang muncul kali ini adalah minimnya suara yang mengarah pada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol. (Purn.) Budi Gunawan (BG). Restu PDIP dan korelasinya dengan rotasi di tubuh TNI yang mendesak kiranya menjadi penting untuk dianalisis. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Torehan rekor berhasil dibukukan Jenderal Pol. (Purn.) Budi Gunawan (BG) sebagai pemegang pucuk pimpinan lembaga telik sandi terlama setelah berganti nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).

Selain menunjukkan kepercayaan lebih dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kinerjanya termasuk berkontribusi dalam penanganan pandemi Covid-19, relasi politik kiranya juga memiliki signifikansinya tersendiri.

Menariknya, wacana dan isu reshuffle terkini yang santer beredar tempo hari, sama sekali tak menyasar pimpinan badan telik sandi. Padahal, Kepala BIN sempat termasuk dalam daftar kala desas-desus perombakan kabinet muncul pada Oktober 2021 lalu.

Saat itu, tak kunjung ditemukannya Harun Masiku, politikus PDIP yang menjadi tersangka suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, menjadi dalih terbesar yang dinilai sejumlah pihak berkorelasi dengan kinerja BIN yang diampu Jenderal BG.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, menganalisis siapa suksesor Budi Gunawan saat ini agaknya justru lebih memiliki urgensi. Hal itu dikarenakan, nama pengganti BG dinilai akan merembet pada rotasi pimpinan TNI, yang lagi-lagi mungkin berkaitan erat dengan pertimbangan politis.

operasi intelijen dan politik ed.

Pendiri Truman National Security Project Rachel Kleinfeld dalam tulisannya di Carnegie Endowment for International Peace, menjelaskan bahwa realitasnya politisasi institusi keamanan bukan hal yang janggal. Bahkan, hal itu terjadi di negara yang dianggap paling demokratis seperti Amerika Serikat (AS).

Mengacu pada jajak pendapat, Kleinfeld menilai bahwa di bawah kepemimpinan Trump, publik AS cenderung melihat lembaga seperti Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan bahkan militer sebagai “institusinya” Partai Republik.

Meskipun lumrah saja jika dilihat dari aspek privilese berdasarkan ketetapan konstitusi dan rantai komando, analisis yang dikemukakan Kleinfeld itu pula yang terkadang tak lepas dari kecenderungan institusi-institusi serupa di Indonesia.

Reshuffle Kepala BIN dan berbagai korelasinya juga tak kalah penting dibandingkan bongkar pasang kabinet menteri Presiden Jokowi, termasuk kemungkinan dampaknya terhadap karier Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Mengapa demikian?

Konfigurasi Bidak Andalan Jokowi

Dalam buku politik yang sangat ikonik berjudul Il Prince gubahan Nicollo Machiavelli, penjelasan mengenai mengapa Presiden Jokowi tampak cukup jelas menempatkan orang-orang di institusi pertahanan dan keamanan dengan tendensi politis agaknya dapat terjawab.

Melalui karya yang secara resmi dipublikasikan pada tahun 1532 tersebut, Machiavelli memberikan sampel Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510.

Menurutnya, keberhasilan tersebut tak lepas dari faktor keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan sejak lama. Dengan faktor itu, friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi.

Penjabaran sederhana dan inti sari yang dapat diambil adalah bahwasanya menempatkan orang-orang kepercayaan di dalam lingkaran kekuasaan cukup esensial agar penguasa dapat melakukan kendali dan melaksanakan kebijakan dengan lebih mudah.

Dalam konteks Presiden Jokowi dan institusi pertahanan dan keamanan, tak hanya Il Prince yang relevan dengan relasi atas orang kepercayaannya di institusi pertahanan dan keamanan.

Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia juga menyiratkan hal serupa ketika menurutnya Presiden Jokowi menggunakan TNI – terutama Angkatan Darat (AD) – untuk memperkuat posisi politiknya.

Ini bisa jadi perihal yang semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam berbagai program pemerintah – bahkan termasuk kompromi mantan Gubernur DKI Jakarta terhadap eksistensi anggota Tim Mawar di jajaran Kementerian Pertahanan.

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Di samping itu, postulat Machiavelli dan Hadiz kiranya dapat menjadi pisau bedah untuk melihat peluang penggantian Budi Gunawan di BIN dan siapa yang kiranya tepat. Faktor kedekatan secara politis membuat suksesor kepemimpinan BIN agaknya dekat dengan tendensi digesernya Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ke Pasar Minggu.

Jika kelak itu terjadi, potensi pergeseran berdasarkan gagasan pokok dari Machiavelli dan Hadiz di atas bisa saja juga akan berdampak pada pengganti Andika. Nama Jenderal TNI Dudung Abdurachman bukan tidak mungkin menjadi penerus Andika, serta posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) diisi Letjen TNI Maruli Simanjuntak yang saat ini memimpin Kostrad. Mengapa seperti itu?

ukraina netizen indo pro rusia ed.

Faktor teknis dan non-teknis agaknya mengarah pada hipotesis tersebut. BG mungkin saja akan diminta Presiden Jokowi maupun Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri untuk membantu partai banteng di Pemilu 2024 dari dimensi politik intelijen dengan kemampuannya.

Sementara itu, Jenderal Andika yang purnatugas pada Desember 2022 memiliki kapasitas dan latar belakang intelijen mumpuni jika merujuk pada pengalamannya di Grup 3 Sandhi Yudha Kopassus serta penugasan di BAIS TNI ketika berpangkat Letnan Kolonel.

Ditambah, sang mertua – mantan Kepala BIN Jenderal TNI (Purn.) A.M. Hendropriyono – merupakan legenda hidup intelijen tanah air yang barang tentu menambah “damage” jejaring intelijen Andika.

Sedangkan, Jenderal Dudung cukup ideal meskipun penunjukannya sebagai Panglima TNI kemungkinan meninggalkan kesan kurang baik bagi rotasi matra walau tak wajib hukumnya.

Dari segi faktor kedekatan, Jenderal Dudung kiranya memiliki portofolio positif dengan visi kepemimpinan Presiden Jokowi saat meredam intrik Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) sewaktu menjabat Pangdam Jaya.

Pun dengan faktor menantunya, mendiang Cholid Ghozali yang menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan periode 1999-202 dan ternyata aktif di PDIP kala itu.

Dan berbicara mengenai pengganti Jenderal Dudung, Letjen Maruli kiranya adalah sosok terkuat yang dapat mengisi pos tertinggi di matra darat. Faktor riwayat jabatan yang mumpuni dari korps baret merah menambah kekuatan faktor X, yakni sebagai menantu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Maruli juga tampak dapat menjadi solusi jangka panjang persoalan bottleneck karier para perwira kolonel dan jenderal di TNI jika mengacu pada akhir masa jabatannya yang masih menyisakan enam tahun. Periode kepemimpinan di bawah Presiden Jokowi pula kiranya yang menjadi satu-satunya kesempatan bagi Maruli untuk merengkuh jabatan tertinggi militer.

Di titik ini, konfigurasi pimpinan BIN, TNI, dan TNI AD itu boleh jadi merupakan yang paling membuat “nyaman” bagi Presiden Jokowi untuk menjaga stabilitas jelang tahun politik di 2024.

Lantas, sejauh mana peluang skenario itu dapat terwujud?

jokowi bu mega ibu saya

Terhalang Megawati dan PDIP?

Satu hal yang kiranya menjadi pintu masuk probabilitas ilustrasi di atas adalah kedekatan profesional dan personal antara BG, Megawati, Presiden Jokowi dan PDIP. Ya, hubungan di antara aktor tersebut kiranya menjadi penghalang terbesar bagi BIN untuk di-reshuffle, bahkan pasca Jenderal Andika pensiun.

Hal ini dikarenakan Jenderal Andika kiranya belum dapat melampaui “keintiman”, keahlian, dan jasa Budi Gunawan dalam pemerintahan Presiden Jokowi – termasuk sejak menjadi ajudan Megawati.

Kala itu jadi kenyataan, prospek Jenderal Andika untuk tetap relevan dengan memegang jabatan dan memaksimalkan modal politik karena menjadi kandidat potensial di pemilihan presiden (Pilpres) 2024, akan terhambat.

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Tak terkecuali juga dengan peluang mengisi jabatan menteri yang harus mengalkulasi ulang pos yang ideal serta menunggu “keajaiban” reshuffle berikutnya.

Namun, di atas itu semua, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 29 Maret 2022 yang menolak gugatan terhadap UU TNI plus usulan perpanjangan masa pensiun TNI menjadi 60 tahun membuat hampir pasti Jenderal Andika akan selesai masa bakti keprajuritannya.

Ini membuat posisi Panglima TNI, pada sisi berbeda, menarik pula untuk dianalisis sesuai dengan hipotesis sebelumnya.

Kendati demikian, faktor pendorong seperti yang dikemukakan Machiavelli dan Hadiz di atas kemungkinan tak akan menguntungkan bagi Jenderal Dudung. Presiden Jokowi tentu tidak ingin menambah kegaduhan jika tetap mempertahankan BG dan di saat yang sama kembali memberikan posisi Panglima pada matra darat.

Jenderal Dudung pun sepertinya memiliki sejumlah aspek penghambat. Pertama, dari segi reputasi dan impresi psikologis publik. Gordon Allport dalam The Nature of Prejudice menjelaskan konsep prasangka sosial, yakni sikap antipati atau resistensi terhadap individu atau kelompok out-group. Hal itu dapat dipantik oleh beberapa hal seperti konflik, kategorisasi sosial, pengalaman masa lalu, dan beberapa aspek dalam kognisi sosial.

Secara prasangka sosial, Jenderal Dudung kemungkinan akan terhambat oleh tendensi represif kepada FPI, HRS, dan kelompok yang bersimpati pada keduanya. Blunder “jangan terlalu dalam mempelajari agama” hingga “Tuhan bukan orang Arab” dari Dudung membuat antipati boleh jadi lebih luas dari sekadar segmen FPI dan HRS.

Kedua, karakteristik Jenderal Dudung yang unik mungkin saja kurang ideal bagi posisi Panglima TNI. Jonah Blank dalam buku berjudul Regional Repsonses to US-China Competition in the Indo-Pacific: Indonesia mengutip analisis anonim seorang perwira militer AS yang membandingkan kontrasnya prioritas petinggi angkatan bersenjata AS dan Indonesia.

Perwira tersebut mengatakan bahwa jika latihan, kesiapan, dan peningkatan kemampuan jadi prioritas negeri Paman Sam. Sementara, kecenderungan yang terjadi di Indonesia justru lebih mengutamakan office calls, kunjungan kehormatan, parade, dan seremoni.

Jika merefleksikannya pada Jenderal Dudung, terdapat beberapa manuver yang mungkin berkorelasi dengan hal tersebut, meskipun tidak sepenuhnya keliru. Beberapa di antaranya seperti eksis di podcast, menjenguk artis yang sedang sakit, hingga membuat lagu “Ayo Ngopi” yang sempat dikritik karena dianggap berpengaruh pada impresi kewibawaan TNI.

Ketiga, beredar kabar bahwa Jenderal Andika lebih berkenan atau sreg dengan Laksamana TNI Yudo Margono sebagai penerusnya. Terakhir, faktor rotasi matra kemungkinan juga menjadi hal yang kali ini akan dipertimbangkan Presiden Jokowi.

Nama Laksamana Yudho yang cukup mumpuni plus tak diliputi kontroversi kiranya juga ideal bagi RI-1 untuk menjadikannya Panglima TNI berikutnya, tentu sebagai diferensiasi agar penerusnya kembali dapat diisi perwira abiturien Akademi Militer (Akmil).

Ya, jikalau menjadi Panglima TNI, Laksamana Yudo yang pensiun hampir bersamaan dengan Jenderal Dudung di tahun 2023, berpeluang besar nantinya diteruskan oleh Letjen Maruli Simanjuntak yang sebelumnya kemungkinan besar naik sebagai pengganti Jenderal Dudung sebagai KSAD.

Titian posisi KSAD dan Panglima TNI bagi Jenderal Maruli juga kiranya menjadi resep terbaik bagi harmoni, legitimasi, dan support militer bagi Presiden Jokowi hingga masa jabatannya berakhir.

Hal tersebut sejalan pula dengan apa yang dikemukakan Blank bahwa kultur Jawa sangat dominan sebagai etos di TNI. Ihwal yang paralel dengan karakter politik Jawa harmoni Kepala Negara.

Bagaimanapun, dinamika itu diharapkan tetap dalam batas koridor kepentingan bangsa secara luas. Selain itu, didambakan pula bahwa profesionalisme dan wibawa BIN maupun TNI tetap dipertahankan serta semakin ditingkatkan. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?