HomeNalar PolitikPang Suma: Pejuang dari Dayak

Pang Suma: Pejuang dari Dayak

Pang Suma dianggap sebagai ksatria yang hebat. Kemampuannya mengalahkan pimpinan militer Jepang membuat Jepang ketakutan. Apalagi, senjata yang digunakannya hanyalah sebuah naibor mandau.


PinterPolitik.com

“Tinggal aja aku di sito, uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang” – ‘Tinggalkan saja saya di sini, saya tidak bisa hidup lagi, pergilah kamu maju terus berjuang’ (Pang Suma)

[dropcap size=big]I[/dropcap]tulah salah satu penggalan kalimat yang pernah diucapkan oleh Pang Suma – pejuang dan pahlawan kemerdekaan dari Suku Dayak. Dalam sebuah serangan balasan Jepang terhadap para pejuang Dayak di Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada 17 Juli 1945, Pang Suma terkena tembakan musuh di pahanya dan membuat dirinya sulit bergerak. Ia kemudian meminta rekan-rekannya untuk meninggalkan dirinya dan terus berjuang. “Pogilah kita, maju terus berjuang”. Pang Suma akhirnya meninggal di bawah sebuah jembatan di dekat dermaga Meliau dengan kebanggaan dan kebesarannya sebagai putra Dayak.

Kisah tokoh yang juga dikenal dengan nama Menera ini memang tidak sepopuler Pangeran Diponegoro atau pejuang-pejuang kemerdekaan di Pulau Jawa. Namun, keberadaan Pang Suma membuktikan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai suku dan kelompok dalam masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Pang Suma merupakan ksatria besar bagi masyarakat di Kabupaten Sanggau, sementara di Pontianak, nama Pang Suma menjadi ikon dan terpampang besar sebagai nama tempat atau gedung.

Tragedi Mandor Berdarah

Pang Suma (‘Pang’ artinya ‘bapak’ dan Suma adalah nama anaknya, Pang Suma: bapak-nya Suma) berasal dari Dusun Nek Bindang, Desa Baru Lombak, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Panggilan ‘Pang’ merupakan satu kebiasaan penduduk setempat agar lebih sopan dan hormat kepada seseorang. Pang Suma merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Pang Suma memiliki nama asli Bendera bin Dulung, namun ada pula yang menyebutya Menera. Tidak ada yang tahu pasti kapan dan di mana Pang Suma dilahirkan. Namun, dari cerita yang tersebar di masyarakat, Pang Suma tinggal di Nek Bindang yang ada di tepian Sungai Kapuas.

Saat Jepang menduduki Kalimantan Barat, beberapa perusahan kayu Jepang juga berdiri dan mengeruk kekayaan kayu Kalimantan. Perusahaan seperti SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK (entah apa kepanjangannya, yang jelas perusahaan kayu dari Jepang) mempekerjakan – lebih tepatnya memperbudak – masyarakat untuk bekerja dengan keras tanpa mempedulikan upah bahkan keselamatan para pekerja tersebut. Banyak diantaranya yang dipaksa untuk meninggalkan anak dan istrinya untuk bekerja di perusahaan tersebut. Para pekerja tersebut bahkan tidak diberi makan oleh perusahaan.

Romusha ­– kerja paksa – Jepang ini menimbulkan gejolak di masyarakat Dayak. Jepang melihat gejolak yang umumnya dipicu oleh kaum feodal lokal, cendikiawan, ambtenar (pegawai pemerintahan), politisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dari berbagai etnik, suku maupun agama sebagai ancaman serius. Maka, terjadilah peristiwa penculikan dan pembantaian besar-besaran yang dikenal dengan ‘Tragedi Mandor’ yang terjadi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Diperkirakan ada sekitar 21 ribu orang yang dibantai Jepang – walau Jepang sendiri mengklaim hanya membantai 1.000 orang.

Baca juga :  Kenapa Xi Jinping Undang Prabowo?

Pembantaian bukan hanya terjadi kepada kaum cendekiawan dan feodal lokal, tetapi juga kepada rakyat jelata. Tragedi yang terjadi antara September 1943 hingga pertengahan tahun 1944 tersebut membawa dampak pada lahirnya perlawanan di berbagai wilayah, termasuk di daerah tempat Pang Suma tinggal. Pemerintah daerah Kalimantan Barat menetapkan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Peristiwa Mandor sebagai apresiasi terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor.

Perang Dayak Desa

Pang Suma dan para pejuang Suku Dayak Desa (kelompok Suku Dayak pedalaman) menganggap kerja paksa dan berbagai pembantaian yang dilakukan oleh Jepang sudah berlebihan dan menyiksa rakyat. Puncaknya adalah ketika seorang pimpinan perusahaan kayu bernama Osaki ingin menikahi seorang gadis Dayak bernama Linggan, namun ditolak oleh ayah Linggan. Tidak terima, Osaki mengancam akan memancung ayah Linggan (Pang Linggan). Mengetahui hal tersebut, Pang Linggan dan  beberapa tokoh termasuk Pang Suma, bersepakat untuk melawan dan menyerang Jepang.

Para pejuang suku Dayak (Foto: pulsk.com)

Dalam bukunya yang berjudul ‘Peristiwa Mandor Berdarah’, Syafaruddin Usman dan Isnawita Din menuturkan bahwa Osaki dan kelompoknya akhirnya berhasil dibunuh oleh Pang Suma dan Pang Linggan dalam sebuah perkelahian. Mendengar kabar tersebut, pihak Jepang kaget mengingat masyarakat Dayak tidak memiliki persenjataan dan teknik modern, namun bisa mengalahkan orang Jepang yang punya senjata modern.

Setelah peristiwa tersebut, masyarakat Dayak dari berbagai kelompok berkumpul. Mereka menjawab panggilan ‘mangkok merah’ – sebutan untuk arahan para arwah – untuk melawan Jepang. Untuk mencegah perluasan pemberontakan, pemerintah Jepang mengirimkan ekspedisi ke Meliau yang dipimpin oleh Letnan Takeo Nagatani. ‘Mangkok merah’ yang disebarkan menyatukan kelompok rakyat Dayak dalam perjuangan untuk melawan Jepang. Saat pasukan Nagatani tiba di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.

Terbunuhnya Nagatani membuat pejabat militer Jepang terkejut dan ketakutan. Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, namun dalam peristiwa itu ia tidak mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma. Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma memasuki Meliau dan bertempur mati-matian melawan Jepang. Pertempuran terjadi hingga akhirnya pada 17 Juli 1945, Pang Suma tertembak di paha kirinya dan tewas di dekat sebuah jembatan.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Tuah Mandau Naibor: Apa yang Bisa Dipetik?

Sosok Pang Suma dianggap sebagai ksatria yang hebat. Kemampuannya mengalahkan pimpinan militer Jepang membuat Jepang ketakutan. Apalagi, senjata yang digunakannya hanyalah sebuah naibor (nyabur atau sabur), yakni sejenis mandau (senjata tradisional Dayak berbentuk seperti parang) yang memiliki pengait.

Mandau Naibor, jenis senjata yang dipakai Pang Suma (Foto: istimewa)

Cerita yang beredar juga menyebut Pang Suma sebagai sosok yang sakti dan hanya mampu dikalahkan jika ditembak pahanya – hal yang juga menjelaskan bagaimana hidupnya berakhir. Pang Suma juga dianggap sebagai sosok yang kuat oleh masyarakat Dayak karena berani melawan tentara Jepang dan memenggal kepala pimpinannya untuk dibawa pulang.

Ketakutan tentara Jepang ini membuat Jepang mengupayakan berbagai cara untuk mengalahkan Pang Suma – tidak sedikit cerita yang beredar bahwa Jepang harus membayar rekan seperjuangan Pang Suma agar dapat mengetahui kelemahnnya dan mengalahkannya. Yang jelas, kegigihan dan keberanian Pang Suma dalam melawan tentara Jepang berhasil membangkitkan semangat masyarakat Kalimantan Barat untuk mengusir tentara Jepang.

Terkait akhir hidupnya, Pang Suma disebut telah memprediksi kematiannya. Beberapa kisah menyebutkan bahwa menjelang akhir hayatnya, Pang Suma mendapat pertanda buruk. Ujung mandau naibor miliknya patah sebelum menyerang markas Jepang di Kantor Gunco (camat) di Meliau pada 17 Juli 1945. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari panglima perang ini. Pang Suma meninggal di bawah jembatan, yang saat ini berlokasi di sebelah dermaga Meliau. Tidak jauh dari tempat itulah Pang Suma dimakamkan. Di tempat itu saat ini berdiri sebuah tugu yang diberi nama Tugu Pang Suma.

Pejuang Kemerdekaan Kalimantan Barat
Patung Pang Suma di di Meliau, Kalimantan Barat (Foto: istimewa)

Kisah Perang Dayak Desa dan kepahlawanan Pang Suma ini merupakan bukti nyata kontribusi masyarakat Dayak dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pang Suma mewariskan kegigihan dan keberanian melawan kolonialisme dan penindasan. Oleh karena itu, wajar jika beberapa waktu lalu kita menyaksikan aksi masyarakat Dayak menghadang  beberapa tokoh di sebuah bandara karena menurut mereka tokoh-tokoh itu ingin memecah belah Indonesia dan anti kebhinekaan.

Bagaimana pun juga kemerdekaan Indonesia merupakan hasil perjuangan berbagai suku dan golongan. Dengan demikian, kelompok-kelompok yang anti kebhinekaan sesungguhnya telah menghina perjuangan berdarah-darah Pang Suma dan masyarakat Dayak untuk kemerdekaan negara ini. Momen peringatan kemerdekaan Indonesia kali ini mungkin menjadi saat yang tepat untuk melihat sejarah perjuangan tokoh seperti Pang Suma dan kembali merefleksikan betapa pentinganya semangat kebhinekaan itu. (Berbagai Sumber/S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.