HomeNalar PolitikKartini dan Suara Ibu Indonesia

Kartini dan Suara Ibu Indonesia

Suara Raden Ajeng Kartini adalah suara perlawanan. Melawan tradisi yang sudah mengakar, menentang apa yang dianggap tabu yang hanya mengenal perempuan berkutat antara dapur, sumur, dan kasur. Lantas, seperti apa memahami pentingnya suara Kartini ini, dan dampaknya bagi perempuan dan Ibu di Indonesia?


PinterPolitik.com

Tanggal 2 Mei merupakan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan jika hitung mundur sedikit kebelakang, kita akan bertemu dengan peringatan Hari Kartini pada tanggal 21 April. Dua peringatan hari besar ini punya pertalian pada semangat seorang tokoh, yaitu Raden Ajeng Kartini.

Semangat Kartini yang berjuang membela hak-hak kaum perempuan melalui pemikiran yang tertuangkan dalam tulisan-tulisannya, banyak membahas soal perjuangan kaum perempuan agar memperoleh kebebasan, persamaan hukum, dan pendidikan yang layak.

Fauzi Mohamad dalam tulisannya Kartini dan Politik (Partai) Wanita, menggambarkan bagaimana perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia terkesan lebih feminim. Hal ini merupakan argumentasi yang berseberangan dengan pendapat umum tentang sifat perjuangan yang maskulin.

Argumentasi Fauzi diperkuat dengan mengutip pendapat sejarawan George McTurnan Kahin, yang mengatakan Budi Utomo bukanlah pelopor pembaruan pendidikan, melainkan perempuan asal Jepara yang bernama Kartini.

Tulisan Kartini dalam bentuk surat-surat maupun esai Nota Kartini menjadi bahan bacaan yang populer. Bahkan pada April 1903 beredar tulisan yang fokus berbicara tentang pendidikan, yang di kemudian hari menjadi rujukan para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tentunya kondisi sosio-politik di era Kartini menjadi latar belakang munculnya semangat perjuangan pendidikan, khususnya kaum hawa. Karena untuk menjadi perempuan yang berpendidikan sebelum tahun 1900-an adalah hal yang sangat sulit dicapai oleh perempuan.

Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, menulis bahwa jika hendak memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan. Keseimbangan dua kecerdasan ini cermin dari nilai pendidikan.

Baik pendidikan keilmuan (kecerdasan berpikir), maupun pendidikan karakter (kecerdasan budi), kedua semangat ini masih sangat relevan dengan kondisi kita hari ini.

Lantas, seperti apa memahami sejarah dan pemikiran Kartini yang lebih mendalam tentang pendidikan di Indonesia yang perlu digali kembali?

Refleksi di Hari Kartini

Pendidik Pertama Adalah Ibu

Kartini adalah salah satu pahlawan perempuan nasional yang memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia, terutama dalam hal pendidikan. Pemikiran Kartini soal emansipasi perempuan sangat dipengaruhi oleh konteks zamannya saat itu.

Pada akhir abad ke-19, kaum perempuan tidak bisa bebas melakukan aktivitas di luar rumah karena mereka terbelenggu adat istiadat dan budaya kehidupan bangsawan pada masanya. Saat itu, kaum perempuan yang sudah dianggap dewasa wajib dipingit sehingga terbatas dalam berkegiatan di luar rumah.

Baca juga :  KADIN dan Kemenangan Tertunda Anin?

Rahel Narda Chaterine dalam tulisannya Dilema Kartini, Perempuan yang Menuntut Pendidikan Setara dan Pentingnya Peran Ibu, menceritakan Kartini dipenjara tradisi yang mengakar itu sejak ia berusia 12 tahun.

Oleh ayahnya, Kartini dilarang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Lingkungan sekitarnya memandang kaum perempuan tidak setara dengan laki-laki, namun Kartini meyakini perempuan di Hindia Belanda justru harus mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Kondisi Jawa saat itu yang menuntut Kartini untuk menuliskan kritik-kritiknya melalui surat. Surat-surat yang Kartini tulis berisi kondisi perempuan di Indonesia. Ia menuliskan penderitaan perempuan Jawa seperti harus menjalani pingit, tak bisa bebas berpendapat dan menempuh pendidikan.

Banyak catatan sejarah yang menceritakan bahwa latar belakang perlawanan Kartini dipengaruhi oleh bacaannya tentang berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda. Selain itu, ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Meski pengaruh ide-ide feminisme mengalir dalam pemikirannya, tapi Kartini lebih menitikberatkan nafas perjuangan pada konteks kaum perempuan yang seharusnya memiliki pendidikan sebagai modal kehidupan anak-anaknya kelak.

Bagi Kartini, kaum perempuan akan memiliki pengaruh dan tugas besar sebagai seorang ibu yang juga menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Kartini menolak akses pendidikan bagi kaum perempuan sebagai wujud egosentris untuk menyaingi kaum laki-laki. Inilah titik pembedanya dengan perjuangan feminisme lainnya.

Ibu adalah seorang  pendidik manusia yang paling utama. Sejak dilahirkan, anak-anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Karena itu, seorang perempuan harus memiliki kecakapan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu dan pendidik bagi anaknya.

Konsep ini senada dengan ungkapan penyair ternama Hafiz Ibrahim, yang mengatakan Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq, yang bermakna Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika dipersiapkan dengan baik, maka sama halnya mempersiapkan landasan bangsa yang baik.

Ibu adalah madrasah pertama yang nantinya akan memberikan keteladanan bagi sikap, perilaku, dan kepribadian anak. Secara emosional, ibu adalah orang terdekat bagi anaknya. Well, bagi Kartini begitu penting arti ibu sebagai media pendidikan pertama. Namun, perjuangan Kartini kerap bertentangan dengan pendapat umum tentang kodrat perempuan dan laki-laki.

Baca juga :  Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Lantas, seperti apa memahami pertentangan kodrat yang masih menjadi isu emansipasi perempuan?

Corona berdampak pada perempuan
Semangat Kartini di tengah Corona

Etika Kepedulian

Jika menelisik perjuangan perempuan di Indonesia, sebenarnya Kartini tak sendiri dalam hal memperjuangkan pendidikan pribumi. Dalam catatan sejarah dikenal nama-nama seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, dan sebagainya. Mereka para perempuan yang berpikir maju, jauh melampaui cara berpikir perempuan pada zamannya.

Perjuangan mereka melawan tradisi yang sudah mengakar. Menentang apa yang dianggap tabu, tradisi yang hanya mengenal perempuan berkutat antara dapur, sumur, dan kasur. Perempuan dianggap sebagai pelengkap kehidupan laki-laki yang superior.

Perjuangan mereka yang  menolak tradisi di zamannya, menjadikan perempuan Indonesia saat ini bebas bersekolah ke mana saja mereka suka. Sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, perempuan bebas berkarya, menyuarakan pendapat, memiliki pekerjaan dan karier seperti halnya laki-laki.

Dalam filsafat, uraian  perbedaan cara pandang gender ini diulas secara mendalam dalam konsep-konsep etika, khususnya etika yang mencoba menolak kemapanan cara pandang superioritas laki-laki dalam menerjemahkan perilaku manusia.

Teori etika yang dimaksud, menggunakan sifat keibuan (maternal) yang dimiliki oleh perempuan. Etika ini lebih mendasarkan teorinya pada unsur kepedulian yang berdasarkan emosi ketimbang unsur rasionalitas. Pendekatan etika ini disebut dengan etika kepedulian (ethics of care).

Etika kepedulian merupakan etika yang dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai pandangan tentang manusia dari berbagai perspektif. Teori etika yang dicetuskan Carol Gilligan ini berlandaskan kepedulian (care) sehingga etika ini disebut sebagai ethics of care.

Menurut Gilligan, perempuan cenderung mendasarkan perilakunya pada kepedulian yang berupa kemampuan mendengarkan kisah-kisah orang lain dan diri sendiri. Paham etika ini menekankan pentingnya hubungan antar sesama manusia.

Pendekatan ini menolak pendekatan absolut, objektif, dan imparsial (tidak memihak) yang diciptakan oleh kaum laki-laki. Dari  sini kita dapat melihat kesamaan konsep etika ini dengan dasar pemikiran Kartini.

Kartini pada dasarnya mengharapkan tercipta suatu keselarasan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan pihak lain, disamping mengembangkan hubungan yang didasarkan pada rasa peduli dan kasih sayang kepada sesama. Kesadaran akan hal tersebut membuat Kartini memandang seorang perempuan yang menjadi seorang ibu dibebankan secara tidak langsung dengan pekerjaan memajukan peradaban, karena pendidikan adalah basis utama peradaban sebuah bangsa.

Oleh karena itu, agar kemajuan peradaban bisa berjalan dengan cepat, maka seorang perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang baik agar memiliki kemampuan mendidik anak-anaknya dengan baik. (I76)


Sejarah Kartini
spot_imgspot_img

#Trending Article

Jokowi Tidak Abadi 

Perbedaan sorakan yang diberikan para politisi ketika pelantikan anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029, kepada Jokowi dan Prabowo tuai respons beragam dari warganet. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

Kenapa Pendukung Anies Pilih RK?

Para pemilih Anies Baswedan dinilai cenderung memilih pasangan calon Ridwan Kamil (RK)-Suswono di Pilkada Jakarta 2024. Mengapa demikian?

Siasat Prabowo Medical Check-up Gratis

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, berencana untuk melakukan kebijakan medical check-up gratis. Siasat apa yang mendasari rencana Prabowo?

Amarah Trah Mulyono?

Frasa “Mulyono” justru dimainkan ulang oleh anak dan menantu Joko Widodo (Jokowi). Kaesang Pangarep, Bobby Nasution, dan Kahiyang Ayu secara bergiliran menggunakannya dan seolah menggambarkan gestur politik yang justru dinilai akan menjadi “bom waktu”.

Sisi Kelam Bantuan Australia ke Indonesia?

Australia merupakan salah satu pendonor finansial terbesar secara bilateral bagi Indonesia, namun, skema yang dilakukan Australia kerap dikritik. Mengapa demikian? 

Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Prediksi yang menyebut Jokowi akan tetap punya pengaruh dalam kekuasaan Prabowo Subianto – setidaknya dalam jangka waktu 1 tahun pertama – menjadi pergunjingan yang menarik di kalangan para pengamat politik.

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...