HomeHeadlineAnies di Ujung Tanduk: Ribut Nasdem-Demokrat Soal “Uang”?

Anies di Ujung Tanduk: Ribut Nasdem-Demokrat Soal “Uang”?

Pernyataan terbaru Surya Paloh yang menyebut penentuan cawapres untuk Anies Baswedan akan dilakukan “last minute” kembali menimbulkan ketidaksetujuan dari Partai Demokrat. Ini salah satu poin penguat perbedaan pendapat yang memang makin sering terlihat di antara dua partai itu. Bahkan, beberapa pihak menyebutkan bahwa sebetulnya peliknya persoalan yang ada jauh lebih dalam, termasuk soal finansial kampanye. Adanya peluang Demokrat bergabung dengan koalisi PDIP memang membuat posisi Anies menjadi sulit. 


PinterPolitik.com

“Politics is not a game. It is an earnest business”.

– Winston Churchill

Buat banyak orang yang berasal dari Indonesia Timur, istilah “belis” atau mahar kawin menjadi hal yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat. Ini berkaitan dengan adat istiadat pernikahan yang di dalamnya menuntut laki-laki atau keluarga laki-laki “membayar” – entah dengan uang maupun dengan barang dan atau hewan ternak – ketika hendak mempersunting seorang perempuan. 

Selama bertahun-tahun lamanya tradisi ini dijalankan. Belis membuat biaya perkawinan menjadi mahal, sekalipun memang ikatan kekeluargaan yang dibangun menjadi sulit untuk terpisahkan. Kritikan juga muncul soal posisi perempuan yang cenderung dipersepsikan “bernilai” sama dengan nilai belis. Makin mahal pula kalau sang perempuan yang dinikahkan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan berasal dari keluarga bangsawan atau pemuka masyarakat. 

Nah, untuk tajuk yang berbeda, narasi soal “belis perkawinan” dalam politik ini mungkin yang jadi semacam ganjalan bersatunya dua partai politik yang sebetulnya sudah sama-sama sehati: Nasdem dan Demokrat. Partai yang sama-sama identik dengan warna biru ini nyatanya belum juga mencapai kata sepakat mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung oleh koalisi pendukung Anies Baswedan. 

Pernyataan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh soal cawapres yang akan ditentukan “last minute” misalnya, membuat Demokrat terbuka menyatakan ketidaksepahaman. Bahkan, lewat Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Andi Arief, partai berlambang bintang 3 sudut itu meminta Anies Baswedan untuk mandiri dan menentukan sikap. 

Kalau kita perhatikan secara seksama, bukan rahasia lagi jika Demokrat memang mendorong sang ketua umum, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk menjadi cawapres Anies. Sedangkan Nasdem sebagai partai utama yang mengusung Anies mungkin menghitung peluang popularitas dan elektabilitas AHY yang tidak sebagus tokoh-tokoh lain. 

Persoalannya, masalah koalisi parpol untuk Pilpres sebetulnya bukan hanya cocok-cocokan atau soal elektabilitas dan popularitas semata. Ada masalah deal-dealan dana kampanye yang sangat mungkin ikut mempengaruhi keputusan-keputusan partai. 

Pasalnya beredar gosip di media sosial bahwa deal-dealan soal kursi cawapres ikut bersentuhan dengan masalah pembiayaan kampanye yang bisa saja menjadi penyebab dua partai biru ini masih belum mencapai kata sepakat. I mean Forbes pernah menyebut di tahun 2013 bahwa untuk menjadi Presiden Indonesia butuh dana lebih dari Rp 7 triliun. Dan itu 10 tahun lalu. 

Baca juga :  Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Terlepas dari gosip yang belum bisa dibuktikan kebenarannya, hal ini bisa saja menjadi penguat argumentasi soal “mahar kawin” yang belum disepakati oleh para pengusung Anies Baswedan. Pertanyaannya adalah strategi apa yang harus diambil Anies jika tak ingin koalisinya terus dibumbui pertentangan?

Menebak Arah Deal Mandek

Persoalan tarik menarik koalisi, siapa yang secara elektabilitas layak diusung, dan relasinya dengan kekuatan uang dalam politik memang bukan hal baru. Kalkulasinya makin pelik jika katakanlah deal-dealan yang ada misalnya berbentuk seperti ini: skenario pertama, AHY jadi cawapres Anies, maka Demokrat bersedia menanggung biaya kampanye katakanlah hingga 60 persen. 

Sedangkan skenario kedua, jika bukan AHY yang jadi cawapres maka ada “harga” yang harus dijaminkan pada Demokrat agar mau tetap berada di koalisi. Konteks “harga” yang dimaksud bisa berupa janji jabatan penting di kabinet kalau Anies menang Pilpres, atau “harga” dalam konteks finansial. 

Dua skenario tersebut hanya perandaian semata, namun menyiratkan hitung-hitungan politik yang bisa saja sedang terjadi antara Nasdem dan Demokrat. Pasalnya, kita hidup di masa ketika kekuatan ekonomi dapat membentuk struktur masyarakat dan mempengaruhi keputusan politik – demikian seperti ditulis oleh Karl Marx dalam “Das Kapital”. 

Sementara dalam konteks parpol dan para pemimpinnya sebagai bagian dari elite, sosiolog C. Wright Mills pernah menulis bagaimana penguasaan atas kekuatan ekonomi dan politik bisa mempengaruhi keseluruhan perjalanan pembuatan keputusan dan kepemimpinan negara. Ini gagasan yang mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Dahl soal kekuatan para elite ekonomi. 

Baik Marx, Mills, Dahl, maupun beberapa pemikir lain misalnya Noam Chomsky dan Naomi Klein – nama terakhir membahasnya dalam konteks relasi negara dengan aktor-aktor non negara – semuanya mengetengahkan gagasan yang kerap disebut sebagai money power atau kekuatan uang.

Secara umum money power mengacu pada gagasan bahwa mereka yang mengendalikan dan memiliki kekayaan serta sumber daya finansial yang signifikan, memiliki pengaruh dan kekuatan yang besar dalam berbagai aspek masyarakat, termasuk politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. 

Gagasan ini mengindikasikan bahwa kekuasaan ekonomi, yang sering kali terkonsentrasi di tangan elite yang kaya dan atau elite politik serta pemimpin partai politik, dapat berubah menjadi kekuasaan politik dan sosial, yang berpotensi membentuk kebijakan, hukum, dan institusi untuk melayani kepentingan mereka.

Individu kaya dapat menggunakan sumber daya finansial mereka untuk mendukung kandidat politik, mendanai kampanye, dan mempengaruhi kebijakan yang sejalan dengan kepentingan ekonomi mereka. Hal ini dapat mengakibatkan distribusi kekuasaan politik yang tidak seimbang, di mana mereka yang memiliki uang memiliki kemampuan yang lebih besar untuk membentuk agenda politik.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Lebih jauh, money power juga menyebutkan bahwa mereka yang memiliki sumber daya finansial yang signifikan dapat mempengaruhi pembuatan dan penegakan hukum, regulasi, dan kebijakan yang menguntungkan mereka secara ekonomi. 

Konsep money power memang luas dan kompleks. Banyak yang kemudian melihatnya sebagai aspek fundamental dari bagaimana masyarakat beroperasi, sementara pihak-pihak lain juga mengkritik atau mempertanyakan sejauh mana kekuasaan uang menggerakkan dinamika masyarakat, termasuk ketika bicara soal kontestasi elektoral seperti Pilpres 2024. 

Anies Bisa Kalah Sebelum Perang?

Dalam kaitannya dengan relasi Nasdem dan Demokrat terkait pencalonan Anies Baswedan sangat mungkin money power ini mengambil peran penting dalam penentuan keputusan-keputusan koalisi. Bagaimanapun juga, Anies adalah sosok yang punya kapabilitas untuk menjadi Presiden Indonesia selanjutnya. Persoalannya tinggal bagaimana strategi dan kampanye yang dilakukan menunjang pencalonannya, termasuk soal siapa yang menjadi cawapres untuk mendampinginya. 

Dengan kondisi yang ada saat ini, Nasdem sebetulnya bisa saja membahayakan posisi politik Anies. Misalnya saja Demokrat merasa keputusan Nasdem yang menunda pengumuman cawapres sebagai langkah yang tak menguntungkan mereka dan akhirnya memilih berpindah katakanlah ke PDIP, Anies akan kesulitan untuk mencari partai lain yang bisa mendukung pencalonannya di 2024. 

Bagaimanapun juga Demokrat punya 9 persen kursi di DPR RI yang menunjang syarat pencalonan capres-cawapres. Kehilangan 9 persen kursi itu adalah kekalahan besar untuk Anies. 

Dalam konteks PDIP yang memunculkan nama AHY sebagai 1 dari 5 kandidat lolos seleksi untuk menjadi cawapres Ganjar Pranowo, bisa jadi ini adalah strategi untuk “mengalahkan” Anies sebelum “berperang”. Terlihat memang banyak pihak yang menginginkan hanya ada 2 calon yang bertarung di 2024: Ganjar vs Prabowo Subianto. 

Karena politik identik dengan pertarungan, para pihak ini terlihat ingin mengadopsi strategi perang Sun Tzu: “Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”. 

Para prajurit pemenang adalah yang memenangkan pertarungan terlebih dahulu, baru menuju ke medan perang. Ini dalam konteks memastikan jaminan kemenangan bisa didapatkan sebelum pertarungan terjadi. 

Bisa saja dengan strategi “mengacak-acak” koalisi – katakanlah dengan memberi angin segar pada Demokrat yang pada akhirnya membuat partai pimpinan AHY itu jadi terus berbeda pendapat dengan Nasdem – Anies bisa saja akan kalah sebelum pertarungan terjadi. Bagaimanapun juga, seperti kata Winston Churchill di awal tulisan, politik bukanlah sekedar permaianan, tetapi bisnis yang serius. 

Jadi, mungkin Nasdem dan Demokrat perlu serius menyelesaikan masalah “belis” atau deal-dealan di antara mereka. Kan nggak lucu kalau sampai orang-orang harus menyanyikan lagu Project Pop yang judulnya “Batal Kawin” kalau Anies gagal maju di Pilpres 2024 karena Demokrat pindah haluan. Apa kata dunia? (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

More Stories

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.