HomeNalar PolitikAhok Pasti Jadi Menteri?

Ahok Pasti Jadi Menteri?

“Jika saya bisa kembali ke masa lampau dan seseorang bertanya pada saya mana yang akan saya pilih, apakah ke penjara atau terpilih kembali di Jakarta, saya akan memilih dipenjara di Mako Brimob untuk belajar selama dua tahun, sehingga saya bisa menumbuhkan disiplin diri di sisa hidup saya. Sementara jika saya terpilih, saya bisa saja menjadi lebih arogan, kasar dan saya mungkin akan menyakiti orang-orang”. – Basuki Tjahaja Purnama via The Guardian


PinterPolitik.com

“In our age there is no such thing as ‘keeping out of politics’”.

:: George Orwell (1903-1950), novelis asal Inggris ::

Nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kini menjadi salah satu topik perbincangan paling hangat. Bukan soal kehamilan istrinya dan prediksi jenis kelamin anaknya seperti yang banyak dibahas situs-situs gosip, nama Ahok kini jadi perbincangan hangat terkait kemungkinan dirinya akan menjadi menteri di kabinet baru Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Wacana ini memang telah bergulir untuk waktu yang cukup lama, katakanlah bahkan sejak Ahok masih ada dalam penjara. Namun, undangan untuk hadir dalam Kongres PDIP di Bali pada awal Agustus 2019 lalu membuat beberapa pihak memprediksi bahwa kemungkinan tersebut bukan hal yang mustahil terjadi.

Dalam kongres tersebut, ia bahkan disapa secara khusus dalam pidato politik oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Tak heran banyak pihak menyebutkan bahwa perlakuan Megawati itu mengisyaratkan bahasa politik bahwa besar kemungkinan Ahok akan mendapatkan posisi tertentu.

Wacana itu kemudian makin menguat setelah beberapa kelompok relawan Jokowi-Ma’ruf Amin juga menyebutkan nama Ahok sebagai salah satu kandidat yang disodorkan pada Jokowi untuk menjadi menteri. Barisan relawan yang menyebut diri Poros Benhil misalnya, menyebutkan Ahok cocok menduduki posisi sebagai Menteri Investasi.

Adapun pos menteri lain yang mengemuka adalah Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB). Simpang siur usulan keberadaan nama Ahok dalam daftar calon menteri Jokowi juga ditambah dengan beredarnya bocoran daftar nama menteri-menteri yang telah dipilih. Namun, bocoran tersebut belakangan dikabarkan sebagai hoaks.

Tentu pertanyaanya adalah apakah mungkin Ahok mendapatkan kursi menteri di kabinet Jokowi dan halangan hukum apa yang mungkin akan menjadi batu sandungan bagi terwujudnya hal tersebut?

Peluang Menuju Menteri Ahok

Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara adalah salah satu halangan utama bagi Ahok untuk terpilih sebagai menteri Jokowi. Adalah pasal 22 ayat 2 yang memuat ketentuan bahwa seseorang bisa menjadi menteri haruslah yang tidak pernah dihukum penjara.

“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, demikianlah bunyi pasal 22 ayat 2 huruf F.

Halangan tersebut salah satunya juga ditegaskan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Menurut Mahfud, kesempatan Ahok sudah tertutup untuk menjadi capres, cawapres, maupun menteri.

Pasalnya, Ahok dihukum 2 tahun penjara untuk kasus hukum yang diancam 5 tahun penjara atau lebih. Mahfud juga menyebutkan bahwa memang ada vonis MK, namun hanya berlaku untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Vonis MK terdahulu menyatakan bahwa orang yang sudah keluar dari tahanan bisa mencalonkan diri. Kini, keputusan MK tersebut telah tertuang dalam UU Pilkada yang mensyaratkan bahwa terdakwa yang keluar tahanan harus mengakui dirinya pernah menjadi mantan tahanan tanpa dibatasi waktu lama tahanan oleh MK.

Artinya, hal tersebut hanya berlaku untuk calon-calon yang bertarung dalam Pilkada, baik itu bupati, wali kota, maupun gubernur. Ahok masih bisa mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut. Walaupun demikian, celah hukum untuk tetap meloloskan Ahok sebagai menteri sangat mungkin akan tetap dicari, katakanlah jika hal tersebut memang benar-benar diupayakan.

Ahok sendiri mengeluarkan pernyataan bantahan terkait kemungkinan terebut. “Tidak ada perjanjian untuk saya menjadi menteri”, begitu kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Pernyataan Ahok ini menarik, terutama tarkait kata-kata “perjanjian”. Apa maskdunya? Deal-deal politik? Hanya Ahok yang tahu pasti.

Yang jelas, kata “perjanjian” itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kesepakatan baik tertulis maupun lisan yang melibatkan dua pihak, terkait kepentingan mutual tertentu.

Jika menggunakan pisau analisis psikolinguistik – ilmu yang mempelajari konteks psikologis dari penggunaan bahasa – jelas Ahok secara tidak sengaja tengah menyebut keberadaan deal politik tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah perjanjian dengan siapa?

Tentu saja persoalan ini menghasilkan semakin banyak misteri di belakangnya. Namun, jika diperhatikan secara politik, faksi terdekat dengan Ahok saat ini tentu saja adalah PDIP. Setelah keluar dari penjara, Ahok memang langsung masuk menjadi bagian dari partai banteng, bahkan mendapatkan perlakuan yang cenderung lebih istimewa dibandingkan kader-kader baru pada umumnya.

Tak heran faktor kedekatan itulah yang sangat mungkin membuat dukungan sangat mungkin mengalir dari PDIP pada Ahok. Citra politiknya masih cukup kuat di masyarakat, bahkan kasus perceraiannya mungkin tak membuat pendukung garis kerasnya meragu.

Ahoker Loyal, Tergantung PDIP

Pada awal Januari 2019 lalu, masih diperhitungkannya posisi politik Ahok cukup terlihat ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) “meminta” mantan Bupati Belitung Timur itu memberikan endorsement politik untuk kader-kadernya yang bertarung di Pemilu Legislatif.

Artinya walaupun memang sebagian pihak menyebut karier politik Ahok telah tamat, namun posisi politiknya masih seksi untuk ukuran politisi nasional. Hal ini tidak lepas dari karakteristik pendukung Ahok yang loyal.

Karakteristik pendukung ini bisa dilihat dari survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada Desember 2016, pasca Aksi 212 dan berbagai kasus hukum yang menimpa Ahok bergulir. Kala itu, survei tersebut memperlihatkan angka dukungan politik yang justru stabil, bahkan cenderung meningkat.

Konteks loyalitas dan popularitas ini sangat mungkin masih ada hingga saat ini. Memiliki sosok politisi dengan pendukung yang loyal adalah hal yang bisa berdampak positif bagi partai manapun. PDIP jelas melihat hal tersebut dalam diri Ahok.

Akan ada keuntungan dalam kontestasi elektoral di masa depan yang bisa didapatkan oleh PDIP, katakanlah jika Ahok sekedar menggunakan pengaruhnya untuk meng-endorse sosok tertentu dari PDIP.

Hal ini sangat terlihat pengaruhnya ketika ia mendukung mantan stafnya, Imah Mahdiah yang maju dalam Pileg untuk kursi di DPRD DKI Jakarta. Tak tanggung-tanggung, berkat endorsement tersebut, Imah mampu meraih suara tertinggi di daerah pemilihannya. Ini tentu menjadi pencapaian yang tidak sederhana, mengingat Imah tergolong sebagai orang baru dalam dunia politik.

Nyatanya, apa yang terjadi pada Ahok ini sesuai dengan tulisan Wolfgang C. Müller, Kaare Strøm dan Devesh Tiwari yang menyebutkan bahwa dalam menghadapi Pemilu, partai-partai memang perlu berjuang untuk mendapatkan pemilih loyal agar memenangkan suara yang sebanyak-banyaknya.

Salah satu cara untuk mendapatkan hal tersebut adalah dengan melahirkan ketergantungan pada tokoh tertentu, entah dari internal maupun eksternal partai tersebut.

Ahok adalah tokoh yang memenuhi kriteria memiliki pendukung loyal dan hal tersebut tentu akan sangat menguntungkan bagi PDIP.

Sementara bagi Ahok, keuntungan yang bisa diraihnya salah satunya adalah menduduki jabatan publik, katakanlah yang tak memerlukan syarat dipilih secara langsung oleh masyarakat. Jabatan menteri adalah hal yang ideal untuk tujuan tersebut.

Persoalannya tinggal berani atau tidaknya PDIP atau bahkan Jokowi sendiri, mendobrak aturan hukum yang sudah ada. Tentu saja pilihan untuk menjadikan Ahok sebagai menteri ada sisi positif dan negatifnya.

Positifnya citra Ahok sebagai pemimpin yang bersih akan memperkuat citra kabinet Jokowi. Negatifnya, jika ada penolakan lagi, maka bukan tidak mungkin protes dan demonstrasi bisa saja terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.