HomePolitikAda Kemunduran Demokrasi di Tengah Corona?

Ada Kemunduran Demokrasi di Tengah Corona?

Oleh Ario Lukito Adi Nugroho, mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020, pemerintah semakin membatasi kontrol dari masyarakat. Apakah ini pertanda kemunduran demokrasi di tengah pandemi virus Corona (Covid-19)?


PinterPolitik.com

Kemunduran demokrasi di Indonesia pada era kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) pada masa pandemi Covid-19 terjadi karena adanya perluasan kekuasaan eksekutif melalui pelemahan kekuatan oposisi. Hal ini tercermin melalui tindakan pemerintah dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 yang kemudian telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang terdampak pandemi.

Namun, terdapat pasal yang berpotensi memperluas kekuasaan eksekutif, yakni pasal yang mengatur bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemulihan ekonomi selama pandemi tidak dapat dituntut secara hukum. Tindakan pemerintah dan parlemen yang sepakat untuk mengesahkan regulasi tersebut mencerminkan upaya negara untuk melemahkan kekuatan publik dalam melakukan evaluasi kebijakan pemerintah.

Melalui regulasi ini, publik mendapatkan batasan untuk melakukan kontrol kebijakan melalui jalur hukum. Padahal, kondisi parlemen dalam status quo dikuasai oleh pemerintah karena berhasil menggalang dukungan yang besar.

Ketika koalisi pemerintah di parlemen sudah terlampau besar, fungsi kontrol parlemen kepada eksekutif tidak dapat berjalan optimal karena lemahnya kekuatan oposisi di parlemen. Oleh karena itu, diperlukan kekuatan publik sebagai kekuatan alternatif oposisi untuk dapat mengontrol kebijakan pemerintah.

Namun, fungsi kontrol dalam konteks kebijakan pemulihan ekonomi selama masa pandemi terancam tidak dapat berjalan secara optimal karena lemahnya kekuatan oposisi di parlemen serta adanya upaya negara untuk melemahkan kekuatan publik sebagai kekuatan oposisi alternatif. Ilustrasi ini tentu saja bersifat kontraproduktif dengan nilai demokrasi yang mengutamakan partisipasi publik.

Perumusan UU No. 2 Tahun 2020

Perppu No. 1 Tahun 2020 telah diteken oleh Presiden Joko Widodo. Perppu tersebut disiapkan untuk dimanfaatkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah untuk menerbitkan kebijakan ekonomi yang terdampak pandemi dan disahkan pada akhir Maret 2020.

Tak berselang lama, Perppu tersebut digugat oleh kelompok masyarakat sipil, seperti Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Amien Rais selaku politisi Partai Amanat Nasional (PAN), serta aktivis Damai Hari Lubis. Di tengah-tengah proses gugatan, pemerintah dan DPR justru sepakat untuk mengesahkan Perppu tersebut menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

Undang-undang tersebut digunakan sebagai dasar hukum pemerintah untuk menambah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar Rp 405,1 tirilun di tengah masa pandemi. Penambahan anggaran ini dikucurkan ke berbagai sektor, seperti pembiayaan pemulihan ekonomi yang mendapatkan kucuran dana Rp150 triliun, Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, serta Rp70,1 Triliun untuk insentif kartu sembako.

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Produk hukum tersebut berhasil mengundang kontroversi hingga digugat oleh sekelompok masyarakat sipil karena adanya potensi pemberian imunitas atau kekebalan pejabat negara. Kekebalan hukum tersebut tertuang melalui beberapa pasal.

Pasal 27 Ayat (2) misalnya menyatakan bahwa anggota, sekretaris, anggota sekretariat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Selain itu, Pasal 27 Ayat (3) mengatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.

Kedua poin di atas menyatakan bahwa pejabat negara yang terlibat dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan penyelamatan sektor ekonomi selama pandemi tidak dapat dituntut. Hal ini tentu menggambarkan adanya perluasan kekuasaan eksekutif karena menghilangkan fungsi kontrol kebijakan pemerintah.

Secara lebih jauh, tindakan pemerintah dan parlemen yang telah mengesahkan produk hukum tersebut menjadi UU No. 2 Tahun 2020 memunculkan kemunduran demokrasi. Pemberian hak imunitas bagi pejabat negara membuat publik sebagai kekuatan oposisi alternatif di luar parlemen tidak dapat berjalan untuk mengontrol kebijakan pemerintah.

Pelemahan Kekuatan Oposisi

Mengutip gagasan Nancy Bermeo dalam artikelnya yang berjudul On Democratic Backsliding, salah satu bentuk kemunduran demokrasi yang terjadi setelah masa perang dingin adalah perluasan kekuasaan eksekutif atau executive aggrandizement dilakukan melalui pelemahan kekuatan oposisi. Perluasan kewenangan eksekutif ini terjadi karena melemahnya pengawasan eksekutif secara bertahap.

Dalam konteks Indonesia, pelemahan pengawasan dilakukan dengan membentuk koalisi besar pendukung pemerintah di parlemen. Pada periode kedua kepemimpinan Jokowi, pemerintah berhasil menggalang dukungan parlemen dengan membentuk koalisi besar, yakni setara dengan 427 kursi dan hanya menyisakan 128 anggota parlemen yang tidak tergabung dengan koalisi pendukung pemerintah.

Besarnya koalisi pemerintah di parlemen membuat fungsi penawasan legislatif terhadap eksekutif sangatlah lemah. Di sisi lain, kemunduran demokrasi di Indonesia diperkuat dengan melemahkan kekuatan warga negara untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Padahal, besarnya koalisi di parlemen membuat fungsi pengawasan DPR kepada pemerintah semakin melemah sehingga diperlukan peranan warga negara untuk mengontrol kinerja pemerintah.

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Menurut Linz, terdapat potensi kekuatan oposisi di luar pemerintah yang ia sebut sebagai ‘Semi-Opposition’. Kekuatan ini terdiri dari beragam kelompok yang tidak dominan atau tidak dihadirkan dalam kelompok yang memegang kekuasaan. Namun, kelompok-kelompok ini memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam kekuasaan tanpa melakukan tuntutan secara fundamental kepada rezim.

Tindakan ini dapat dilakukan melalui kritik parsial dan upaya untuk menunjukkan identitas diri di luar lingkaran kekuasaan. Ketiadaan tuntutan perubahan secara fundamental ini dilakukan melalui tuntutan untuk memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bersifat spesifik.

Dalam konteks pengontrolan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ekonomi karena pandemi, kekuatan semi-opposition ini seharusnya dapat dipenuhi melalui peranan masyarakat sipil. Kelompok ini seharusnya dapat melakukan kontrol kebijakan melalui pemberian kritik atas kebijakan yang spesifik terkait dengan pandemi atau melakukan tuntutan secara hukum kepada pejabat negara yang terlibat.

Hak penuntutan pejabat negara oleh masyarakat sipil ini sekaligus menjadi alat kontrol pemerintah untuk secara berhati-hati dalam menggulirkan kebijakan. Namun demikian, peranan semi-opposition ini terancam tidak dapat terlaksana karena pemberian kekebalan hukum kepada pejabat negara.

Perppu No. 1 Tahun 2020 yang kemudian telah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 secara nyata membatasi peran kontrol warga negara kepada pemerintah. Kondisi ini tentunya membuat kekuasaan pemerintah semakin meluas, disebabkan oleh lemahnya fungsi kontrol parlemen yang telah didominasi oleh koalisi pemerintah serta ancaman ketiadaan kekuatan oposisi alternatif seperti semi-opposition yang seharusnya dapat tersalurkan melalui kekuatan masyarakat sipil.

Kembali merujuk pernyataan Bermeo dalam artikel yang sama, secara ironis kemunduran demokrasi justru terjadi karena adanya peranan pejabat pemerintah yang dipilih melalui proses demokratis, yakni prosesi pemilu yang diselenggarakan secara rutin.

Tulisan milik Ario Lukito Adi Nugroho, mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Oleh: Kiki Esa Perdana PinterPolitik.com Saat kecil, penulis beberapa kali datang ke lapangan, sengaja untuk melihat kampanye partai politik, bukan ingin mendengar visi misi atau program...

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....