HomeNalar PolitikMencari Keteladanan di Tengah Corona

Mencari Keteladanan di Tengah Corona

Kendati ironi langkanya teladan di ranah kepemimpinan dan pemerintahan bukanlah hal baru, tidak ditemukannya keteladanan pemimpin tentu menjadi sorotan tersendiri di tengah pandemi Corona (Covid-19).


PinterPolitik.com

Di tengah kekhawatiran global akan pandemi virus Corona (Covid-19), yang semakin berdampak luas, sisi kepekaan hati dan sikap para pemimpin dunia yang sesungguhnya mendapatkan ujian. Selain melalui strategi kebijakan yang diterapkan dalam menghadapi berbagai persoalan, sajian sikap dan respon orisinil dari sosok pemimpin tersebut dapat terlihat nilainya bagi masyarakat.

Seluruh pihak tentu ingin mimpi buruk pandemi ini segera berakhir. Di sisi lain, setiap pemimpin seharusnya juga berusaha memberikan yang terbaik terkait kebijakan penanganan Covid-19. Namun realitanya tidak demikian. Beberapa pemimpin maupun pejabat level atas di Indonesia acapkali dinilai justru menampilkan sesuatu yang sama sekali kurang elok merespon dinamika Covid-19, apalagi untuk diteladani.

Kemarin misalnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menginisiasi penyelenggaraan seremoni bagi pulihnya tiga pasien awal positif Covid-19 di Indonesia. Acara ini dilangsungkan layaknya sebuah awarding dengan mempertontonkan ketiga orang tersebut kepada media dan memberikan buah tangan berupa jamu. Yang menjadi persoalan dan juga banyak direspon kurang baik oleh warganet ialah acara ini diselenggarakan sehari setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghimbau untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak masing-masing individu dalam beraktivitas sehari-hari.

Masih di waktu yang sama, Presiden Jokowi memberikan pernyataan kepada media bahwa dirinya dan Ibu Negara telah menjalani tes untuk mengetahui status virus Corona. Namun saat diajukan pertanyaan lanjutan seputar apakah hasilnya, ia mengaku tidak bisa menjawabnya dan lebih baik diungkapkan sendiri oleh tim medis yang memeriksanya. Hal tersebut dapat terlihat menjadi sebuah respon yang dapat ditafsirkan sebagai nirtransparansi serta membuat publik penasaran dan bertanya-tanya karena notabene beliau adalah seorang kepala negara.

Masih dari sosok yang sama, minimnya transparansi dan informasi publik saat ini dinilai pula sebagai penyebab munculnya kabar hoaks secara masif hingga akhirnya dipercaya masyarakat.

Atas hal tersebut, Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menyebutkan telah terjadi kekosongan informasi dari pemerintah pusat serta peragaan langkah yang kurang konkret terhadap penanganan Covid-19 yang justru membuat masyarakat tidak sepenuhnya tenang.

Contoh di atas sendiri menggambarkan nihilnya keteladanan sosok pemimpin dalam aspek prioritas ucapan dan tindakan, serta berulangnya sikap ketidakterbukaan publik. Sebuah hal yang mungkin dapat diperbaiki di kemudian hari, namun persoalan tersebut sangat esensial yang harus ditunjukkan dalam sebuah kepemimpinan .

Tidak ketinggalan, terdapat pula kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang membatasi operasi transjakarta dan MRT (Moda Raya Terpadu) yang diklaim sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo dan imbauan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait social distancing serta meminta masyarakat bekerja, beribadah, dan belajar di rumah untuk menekan penyebaran Covid-19.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Namun faktanya, di jam berangkat dan pulang perkantoran justru terjadi antrian panjang dan penumpukan penumpang di beberapa halte transjakarta yang malah membuat anjuran social distancing menjadi sangat sulit dilakukan. Tentu hal ini langsung mendapatkan kritik tajam baik dari masyarakat, terutama yang justru berdesak-desakan di halte maupun di dalam bus transjakarta.

Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari tidak hadirnya keteladanan para pejabat tersebut?

Nihilkah Sosok Teladan Itu?

James Kouzes dan Barry Posner mencetuskan Trait-Theory Leadership Model mengenai implementasi keteladanan dalam kepemimpinan. Dalam model ini, keteladanan dinyatakan sebagai kemampuan pemimpin memperagakan tugas dan fungsinya secara baik dan merefleksikan hasil yang baik pula di berbagai kesempatan. Keteladanan pemimpin yang baik juga dapat  terlihat dari kemampuannya untuk membuat orang lain tergerak (enabling others to act) dengan membangun semangat dan kolaborasi.

Kouzes dan Posner juga menyatakan bahwa teladan dalam kepemimpinan ditunjukkan oleh sikap terbuka mengungkapkan seluruh perasaan kasih, keyakinan dan kepedulian yang ia miliki serta memberikan apresiasi bagi sebuah pencapaian maupun kontribusi bagi yang ia pimpin. Selain itu, keteladanan juga dipresentasikan dalam visual dan bahasa menggugah yang membuat orang lain terinspirasi.

Sejauh ini, belum nampak figur-figur yang dapat diteladani dan membuat masyarakat merasa terangkul dalam menghadapi Covid-19 ini. Sosok-sosok yang berada di pucuk kepemimpinan strategis yang terkait langsung penanganan pandemi dinilai banyak kalangan kurang mumpuni menerapkan atau bahkan sekedar menyampaikan strategi kolektif pemerintah. Paling tidak dari nama di atas dengan kewenangan yang cukup vital.

Baik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto,  hingga Presiden Joko Widodo, dalam contoh yang telah diuraikan sebelumnya  nampak belum menunjukkan keteladanan sejati, baik dihadapan publik Indonesia apalagi dunia.

Menkes pada beberapa kesempatan belum berhasil membuat publik tergerak atau paling tidak, puas dengan pernyataan dan kebijakannya.

Sementara Anies beberapa kali tampil dengan pernyataan visioner dan terobosan cepat. Namun beberapa kali pula implementasinya tidak sesuai yang diharapkan. Hal tersebut dikarenakan meskipun cukup baik dari sisi responsifitas, namun strategi yang diterapkan belum cukup mendalam dan menyeluruh.

Lalu Jokowi sebagai presiden, seharusnya lebih sering muncul untuk memberikan informasi presisi, menyediakan data persebaran, hingga ungkapan afeksi kepada para penderita serta masyarakat luas di tengah kian meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia. Saat ini kasusnya telah menyentuh angka 172 kasus.

Baca juga :  Dirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Selain itu, jaminan rasa aman dari pemimpin atau pemerintah, siapapun itu, nyatanya sangat dibutuhkan publik saat ini. Lalu, apakah memang benar-benar tidak ada sosok yang patut diteladani di saat seperti ini?

Oase Di Balik Kehampaan

Faktanya, tidak hanya pemimpin yang dapat dijadikan teladan. Orang biasapun dapat menjadi sosok yang diteladan karena tindakan maupun dedikasinya. Maurizio Feraris dalam “17 March 1743. Exemplary Action” (2017) mengemukakan bahwa keteladanan adalah reaksi, yang dapat terlihat di saat-saat tertentu dan dapat dilakukan oleh siapapun. Lebih lanjut, keteladanan juga merupakan gestur, yang mengindikasikan kemungkinan bagi transformasi, kemungkinan dari ketidakmungkinan.

Keteladanan juga sangat jarang terbayangkan dan dapat diramalkan, sosok teladan bertindak terlebih dahulu sebelum mereka dipahami, dan maknanya dimanifestasikan setelah fakta terkuak.

Sebuah frasa populer dari Ki Hajar Dewantara terkait keteladanan “Ing Ngarso Sung Tulodho” yang berarti “di depan, memberi contoh”,  relevan untuk ditafsirkan secara filosofis maupun harfiah pada konteks ini.

Dalam hal ini, teladan sesungguhnya yang bisa dimaknai kontribusinya dalam penanganan Covid 19 mungkin ialah mereka yang berada di garis terdepan.

Mereka adalah para tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan pasien Covid-19. Meskipun dari sisi skeptis terlihat bahwa itu memang sudah menjadi pekerjaan dan kewajiban mereka. Namun di sisi lain, tenaga medis ini nyatanya bersedia tetap memilih bertugas meskipun konsekuensinya adalah nyawa mereka sendiri. Para tenaga medis, baik dokter maupun perawat serta tenaga pendukung lainnya memberikan dedikasi terbaik dalam profesinya.

Tercatat data dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terdapat sekitar 3000 dokter spesialis penyakit dalam serta sekitar 2000 spesialis penyakit paru yang telah dan siap “berperang” di garis depan dengan risiko maksimal. Bahkan hingga saat ini, telah dikonfirmasi bahwa terdapat tenaga medis yang meninggal akibat terpapar Covid-19 walaupun angkanya masih dirahasiakan pemerintah.

Selain tenaga medis, media massa juga menjadi salah satu yang berada di garis depan. Mereka adalah yang pertama menerima seluruh informasi terkait perkembangan penanganan Covid-19 di Indonesia, bahkan dari lokasi maupun kerumunan yang berpotensi besar menularkan virus tersebut.

Kendati terdapat pula kritik atas media massa tertentu yang dinilai melakukan framing, sehingga turut menciptakan kepanikan, tentunya itu tidak menutup fakta bahwa media massa adalah jendela informasi atas kasus Covid-19.

Dedikasi terhadap pekerjaan yang mereka lakukan, baik tenaga medis maupun jurnalis, tidak berlebihan disebut sebagai keteladanan yang pantas publik apresiasi dan refleksikan. Meskipun keteladanan yang kita harapkan juga semestinya hadir dari para pemimpin di situasi darurat seperti saat ini. Jika memang keteladanan adalah kemungkinan dari ketidakmungkinan seperti dikutip dari Feraris, kehampaan teladan di level pemerintahan tentu publik harapkan akan sirna. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?