HomeHeadlineDirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Dirangkul Prabowo, Akhir “Menyedihkan” Megawati?

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Presiden ke-8 RI terpilih Prabowo Subianto diyakini akan merangkul Megawati Soekarnoputri dan PDIP ke pemerintahannya kelak. Meskipun sejumlah elite PDIP masih resisten dengan hasil Pilpres 2024 dan tendensi keberpihakan Presiden Jokowi, beberapa elite PDIP dikabarkan terbuka dan sepakat andai Megawati membawa PDIP merapat ke koalisi Prabowo-Gibran. Namun, hal ini akan jadi perjudian besar bagi Megawati. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai sebatas “drama” karena dalam sejarahnya tak pernah ada gugatan sengketa pemilihan presiden (pilpres) yang dikabulkan, menjadi salah satu variabel pendorong skenario politik bergabungnya PDIP ke kubu Prabowo-Gibran.

Belakangan, kabar bahwa Presiden ke-8 RI terpilih Prabowo Subianto akan menemui Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai pembuka rekonsiliasi menuju 2024-2029 berhembus kencang.

Adalah elite PDIP, Bambang “Pacul” Wuryanto, yang pada Kamis (28/3) lalu secara tersirat mengafirmasi probabilitas tersebut. Kabar PDIP bergabung ke kubu Prabowo disebutnya akan bergantung pada keputusan Megawati.

Di kesempatan berbeda di waktu yang sama, Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga putri Megawati, tak ingin berkomentar banyak dan hanya menjawab “Iya, enggak ya?” sambil melempar senyum ke awak media.

Pertemuan Prabowo dan Megawati pun direspons puan dengan normatif namun cenderung positif. “Insyaallah,” begitu kata Puan di Kompleks Parlemen kemarin lusa.

Tak berlebihan kiranya untuk mengkonversi sinyal-sinyal politik itu ke dalam angka, yakni peluang 50:50 PDIP bergabung, bahkan lebih, yang mana condong kepada rekonsiliasi. Persis seperti kode kalkulasi probabilitas yang dikatakan Surya Paloh pasca dikunjungi Prabowo dalam konteks arah Partai NasDem di 2024-2029.

Akan tetapi, khusus bagi PDIP, apabila benar-benar bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, idealisme dan nilai yang selama ini menjadi kekuatan Megawati akan tercoreng.

Meski mendapatkan sedikit keuntungan politik karena menjadi bagian dari kekuasaan, kerugian jangka panjang bukan tidak mungkin akan dirasakan PDIP. Mengapa demikian?

Keputusan Penting “Terakhir” Megawati?

Sebagai fondasi interpretasi, memahami bahwa politik memiliki panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) kiranya krusial dalam memahami kemungkinan bergabungnya PDIP ke kubu Prabowo-Gibran.

Sejauh ini, panggung depan politik sikap PDIP yang jamak dicerna publik adalah yang datang dari gestur Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.

Dalam beberapa kesempatan, Hasto begitu gusar dengan hasil Pilpres 2024 yang ia nilai penuh kecurangan. Selain itu, Hasto pun beberapa kali menyoroti etika politik Presiden Jokowi dan trah-nya.

Akan tetapi, sikap Hasto dan TPN Ganjar-Mahfud selama kampanye hingga proses hukum di MK agaknya memang cukup rasional untuk “ditunjukkan”.

Tak lain, tujuannya kemungkinan demi menjaga ekspektasi para pendukung dan konstituen mereka di Pemilu dan Pilpres 2024. Ini lah yang membuat panggung belakang mengenai keberpihakan PDIP ke depan tetap relevan untuk dipertanyakan.

Walau begitu, sikap dan pernyataan PDIP melalui elite dengan jabatan se-tinggi apapun, tanpa sikap dan pernyataan langsung Megawati kiranya bukan merupakan kepastian yang hakiki.

Baca juga :  Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Lagi-lagi, sebagaimana respons elite PDIP, Bambang “Pacul”, menyikapi isu terakhir terkait kemungkinan PDIP merapat ke kubu Prabowo-Gibran, keputusan Megawati menjadi ihwal yang sangat mendasar dan menentukan.

Kini, Megawati pun bak “ratu demokrasi” yang sedang dinanti keputusannya. Meski Indonesia tak menganut sistem “oposisi”, banyak kalangan yang berharap PDIP akan menjadi penyeimbang pemerintah Prabowo-Gibran nantinya.

Shahla Haeri dalam bukunya yang berjudul The Unforgettable Queens of Islam membahas mengenai Megawati dalam sebuah bagian khusus. Dia menyebut Megawati sebagai “Limbuk” dalam dunia pewayangan yang bertransformasi menjadi seorang “ratu”.

Salah satu ciri utama Limbuk adalah statusnya sebagai perempuan di lingkungan kekuasaan. Limbuk tak banyak bicara, yang dianggap Haeri mirip dengan status Megawati yang awalnya dianggap sebagai sosok pemalu dan tak pandai berbicara di hadapan publik.

Namun, sosok Limbuk itu (Megawati) kemudian disebut berubah menjadi ratu. Dalam konteks melihat kelemahan-kelemahan dirinya, Megawati nyatanya mampu membangun lingkaran pendukung di sekitarnya yang berisi orang-orang yang loyal dan punya kemampuan yang menopang kekuasaannya.

Kini, dengan status sebagai pemimpin koalisi “pecundang” di Pilpres namun tetap perkasa ajang Pemilu edisi 2024, membuat keputusan Megawati untuk bergabung atau tidak ke kubu dan pemerintahan Prabowo-Gibran bisa saja menjadi keputusan sangat penting terakhir sang ratu sebelum mewariskan PDIP.

Hal itu tentu berkaca pada faktor biologis bertambahnya usia, plus pengaruhnya terhadap manuver dan keputusan politik Megawati, serta proyeksi regenerasi PDIP yang tinggal menunggu waktu. Mengingat pada 2020 silam, Megawati sendiri-lah yang menggaungkan regenerasi total partainya di 2024.

Lalu, mungkinkah Megawati memutuskan bergabung dengan kubu dan pemerintahan Prabowo-Gibran?

prabowo adalah soekarno baru

Mega-Prabowo Tetap Bersatu?

Bagi kubu Prabowo-Gibran, merangkul PDIP kiranya menjadi salah satu prioritas. Secara rasional, pemerintahan Prabowo akan jauh lebih “mudah” untuk menjalankan berbagai program, kebijakan, atau “proyek” – saat disatir oleh netizen – andai PDIP dengan pemegang suara kursi terbesar DPR bisa bergabung.

Secara personal dan filosofis, Prabowo pun kiranya hampir pasti akan merangkul PDIP. Dalam buku berjudul Kepemimpinan Militer, Prabowo mengisahkan Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu sebagai dua shogun besar yang sudah siap untuk saling berperang.

Sebagai sedikit flashback di kisah Hideyoshi dan Ieyasu, Era Sengoku (1467-1615) adalah saat di mana mereka berjaya, merupakan periodisasi sejarah Jepang ketika banyak pemimpin-pemimpin lokal (daimyō) saling berperang di antara satu sama lain di tengah kekosongan kekuasaan (power vacuum) akibat runtuhnya Keshogunan Ashikaga akibat Perang Ōnin pada tahun 1467-1477.

Beberapa klan daimyō besar yang saling berperang saat itu adalah Oda, Takeda, Uesugi, Date, Tokugawa, Mori, Azai, Asakura, Shimazu, dan lain-lain.

Jepang bagian tengah yang pada akhir dekade 1500-an mulai didominasi oleh Oda akhirnya digantikan oleh Toyotomi Hideyoshi yang pada akhirnya harus berhadapan dengan Tokugawa Ieyasu.

Baca juga :  Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Di ambang perang besar di antara keduanya, Toyotomi dan Ieyasu akhirnya berdialog terlebih dahulu.

Toyotomi mengatakan kepada Ieyasu bahwa kedua belah pihak memang sama-sama siap, tetapi korban jiwa pasti akan banyak berjatuhan ketika salah satu dari mereka telah memenangkan perang.

Berpikir dua kali, Toyotomi dan Tokugawa akhirnya bersepakat untuk tidak bertempur di medan perang kala itu dan memutuskan untuk berdamai.

Kisah itu pun membuat Prabowo pernah mencuitkan satu postulat menarik yang berbunyi “Seorang pendekar mampu mengalahkan perasaan pribadinya demi merawat persatuan kesatuan bangsa dan rakyatnya.”

Aaron Connelly dari International Institute for Strategic Studies menyebut bahwa kisah yang dijabarkan oleh Prabowo jelas merupakan sebuah alegori terhadap prinsip politiknya. Terutama mengenai rekonsiliasi yang sempat dipraktikkannya saat bergabung dengan pemerintahan Jokowi periode 2019-2024.

Di sudut berbeda dan saat ditelaah secara konstruksi sosiopolitik, keputusan Megawati untuk bergabung dengan kubu Prabowo-Gibran andai benar-benar mendapat tawaran kiranya bukan mustahil untuk terjadi.

Bambang “Pacul” pun pernah memberi bocoran bahwa relasi Prabowo dan PDIP baik-baik saja, salah satunya saat menguak sang Ketum Partai Gerindra itu sempat menjenguk Bendahara Umum partai banteng, Olly Dondokambey kala dirawat di rumah sakit beberapa waktu lalu.

Saat membuka catatan relasi Prabowo dan Megawati, keduanya pun tak pernah terlibat ketegangan atau konflik besar.

Namun, saat membedahnya secara komprehensif, narasi kemungkinan bergabungnya PDIP ke poros pemenang 2024-2029 itu mungkin saja menjadi pegangan utama faksi internal PDIP yang cenderung pragmatis dalam konteks kekuasaan. Termasuk esensi yang mungkin dibisikkan kepada Megawati.

Hal itu dikarenakan, kemunculan kabar “civil war” di internal PDIP sempat menyeruak beberapa waktu terakhir.

Selain “potongan kue” yang didapat, skenario menjadi “oposisi” bersama PKS kiranya menjadi pertimbangan lain yang sukar dibayangkan bagi faksi pro bergabung Prabowo-Gibran di internal PDIP.

Di kubu faksi yang tampak dan cenderung idealis, mereka disebut-sebut masih tak terima dengan egoisme sekaligus pengkhianatan Jokowi dan keluarganya di Pilpres 2024.

Political awkwardness atau kecanggungan politik agaknya dihindari oleh faksi ini, plus, adanya impresi pengakuan kekalahan dari Jokowi dan trahnya andai tiba-tiba pro Prabowo-Gibran.

Selain itu, jika bergabung dengan Prabowo-Gibran, PDIP untuk pertama kalinya keluar dari marwah dan konsistensi yang selama ini dipegangnya, yakni tak pernah bergabung ke kubu pemenang meski menanggung kekalahan di kontestasi elektoral.

Secara matematika politik, peluang rebound melalui peran progresif sebagai penyeimbang pemerintah pun bisa hilang jika bersikap pragmatis kekuasaan.

“Jatah” atau konsesi politik bagi PDIP pun masih misteri karena harus berdesakan dengan parpol lain yang telah ada di koalisi Prabowo-Gibran. Itu, belum termasuk peluang bergabungnya entitas lain seperti Partai NasDem dan PKB.

Kini, dengan segala variabel seperti faktor biologis hingga peran para pembisik, keputusan Megawati akan sangat menarik untuk dinanti. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Arti Kesetiaan Politik: Jokowi vs Prabowo

Dalam politik, nilai kesetiaan mempengaruhi manuver politik. Bagaimana kesetiaan politik dalam kaitannya dengan Jokowi dan Prabowo Subianto?

PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Sinyal bergabungnya PDIP ke koalisi pemerintahan baru tampak semakin kuat. Akankah ini melahirkan guncangan baru bagi koalisi tersebut? 

Politik Hukum Jokowi dan Sejahtera Hakim

Para hakim melakukan “mogok” bertajuk cuti bersama. Mereka menuntut pemerintah menaikkan tunjangan dan gaji yang tidak berubah sejak tahun 2012.

Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Kendati tak saling berkaitan secara langsung, kemungkinan merangkul Anies Baswedan ke jajaran menteri bisa saja menambah kekuatan dan daya tawar Prabowo Subianto andai memiliki intensi melepaskan pengaruh Jokowi di pemerintahannya. Mengapa demikian?

Dharma Pongrekun vs ‘Elite Global’

Dharma Pongrekun singgung soal elite asing terkait pandemi Covid-19 dalam Debat Pilkada) Jakarta 2024. Mengapa konspirasi bisa begitu diyakini?

Jokowi Tidak Abadi 

Perbedaan sorakan yang diberikan para politisi ketika pelantikan anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029, kepada Jokowi dan Prabowo tuai respons beragam dari warganet. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

More Stories

Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Kendati tak saling berkaitan secara langsung, kemungkinan merangkul Anies Baswedan ke jajaran menteri bisa saja menambah kekuatan dan daya tawar Prabowo Subianto andai memiliki intensi melepaskan pengaruh Jokowi di pemerintahannya. Mengapa demikian?

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

Amarah Trah Mulyono?

Frasa “Mulyono” justru dimainkan ulang oleh anak dan menantu Joko Widodo (Jokowi). Kaesang Pangarep, Bobby Nasution, dan Kahiyang Ayu secara bergiliran menggunakannya dan seolah menggambarkan gestur politik yang justru dinilai akan menjadi “bom waktu”.