HomeRuang PublikPartai "Artis" Nasional, Strategi Dangkal?

Partai “Artis” Nasional, Strategi Dangkal?


Oleh Raihan Muhammad

PinterPolitik.com

Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan pada tahun 1998 dan muncul sebagai hasil dari krisis politik yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Parpol ini berusaha untuk mengusung nilai-nilai Islam moderat dan nasionalisme.  

Salah satu tokoh pendiri PAN yang paling dikenal adalah Amien Rais. Parpol ini mendukung reformasi politik di Indonesia dan turut berperan dalam perubahan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis setelah Soeharto lengser dari kekuasaan. PAN memiliki basis dukungan yang cukup kuat di berbagai daerah di Indonesia.  

Dalam perkembangannya, PAN menjadi bagian dari koalisi pemerintah dan memiliki anggota di parlemen serta pernah menjadi bagian dari pemerintahan pada tingkat nasional dan daerah. Namun, seperti halnya partai-partai politik lainnya, PAN juga mengalami dinamika internal dan perubahan dalam arah politiknya seiring berjalannya waktu. 

Parpol Anak Sulung Reformasi 

Merujuk pada laman resmi partai, PAN didirikan oleh Amien Rais dan 49 rekan-rekannya setelah berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru (Orba) pada tahun 1998. Mereka berasal dari Majelis Amanat Rakyat (MARA), yang merupakan bagian dari gerakan reformasi pada era Soeharto.  

Selain Amien Rais, ada sejumlah tokoh yang merupakan pendiri PAN, di antaranya Goenawan Mohammad, Hatta Rajasa, Faisal Basri, Rizal Ramli, Abdillah Toha, Alvin Lie Ling Piao, Toety Heraty, Emil Salim, A.M. Fatwa, Zoemrotin, dan Albert Hasibuan 

Bersama dengan PPSK Yogyakarta, tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Kelompok Tebet, mereka membentuk PAN. Amien Rais, yang awalnya ingin kembali ke Muhammadiyah setelah berperan dalam jatuhnya rezim Orde Baru, malah merasa panggilan untuk melanjutkan perjuangan dan membangun Indonesia baru. Inilah alasan di balik berdirinya PAN.  

Awalnya diberi nama Partai Amanat Bangsa (PAB), nama partai tersebut kemudian berganti menjadi PAN pada Agustus 1998 di Bogor, Jawa Barat. Partai ini dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta dengan partisipasi ribuan orang. Pendiriannya diresmikan pada 27 Agustus 2003. Sebagai parpol yang muncul setelah Orde Baru, PAN mengusung semangat Indonesia baru untuk menggantikan pemerintahan otoriter era sebelumnya.  

PAN memiliki tujuan untuk memajukan kedaulatan rakyat, keadilan, serta kemajuan material dan spiritual. Selain berakar pada nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan kemajemukan, cita-cita partai ini juga mengadopsi prinsip nonsektarian dan nondiskriminatif.  

Meskipun Amien Rais adalah Ketua Umum Muhammadiyah pada saat itu, PAN didirikan sebagai partai terbuka dan tidak hanya mewakili Muhammadiyah. Parpol ini berasaskan “Akhlak Politik Berlandaskan Agama yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam.” 

Baca juga :  Mejeng Times Square: Never Ending Zulhas

PAN sering disebut Partai Anak Sulung Reformasi karena merupakan salah satu parpol yang muncul pada awal periode Reformasi di Indonesia. Dalam konteks ini, “anak sulung” mengacu pada fakta bahwa PAN adalah salah satu partai pertama yang didirikan setelah jatuhnya rezim Orba pada tahun 1998.  

Dalam masa-masa awal Reformasi, PAN dan pendirinya, Amien Rais, memiliki peran penting dalam mendorong perubahan politik dan sistem pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Julukan ini mencerminkan peran PAN dalam pergerakan reformasi politik yang berdampak besar pada perkembangan politik Indonesia setelah runtuhnya rezim Orba. 

Partai “Artis” Nasional 

Saat ini, PAN di bawah nakhoda Zulkifli Hasan alias Zulhas, tampaknya sudah jauh berubah dibandingkan ketika dinakhodai Amien Rais. Saat ini, PAN lebih inklusif dan berkoalisi dengan pemerintah.  

PAN juga sering diplesetkan menjadi Partai “Artis” Nasional. Hal ini dikarenakan partai matahari putih ini banyak diisi oleh artis Tanah Air, seperti Uya Kuya, Eko Patrio, Pasha ‘Ungu’, Desy Ratnasari, Opie Kumis, Verrel Bramasta, Primus Yustisio, Selvie Kitty, dan lain-lain. 

Ketika nama-nama ini dikaitkan dengan dunia hiburan, tidak mengherankan jika pandangan umum terhadap PAN kemudian berubah menjadi lebih fokus pada citra artis daripada hal-hal politik yang mungkin diusungnya.  

Baru-baru ini, perhatian publik semakin terfokus pada PAN ketika anggota keluarga dari selebriti terkenal Raffi Ahmad juga secara resmi menyatakan keanggotaan mereka di parpol ini. 

Adik kandung Raffi Ahmad, Nisya Ahmad, dan adik iparnya, Jeje ‘Govinda’, telah bergabung dengan PAN. Kehadiran mereka dalam partai ini semakin memperkuat julukan Partai “Artis” Nasional yang melekat pada PAN.  

Publik pun semakin memandang parpol ini sebagai tempat berkumpulnya para artis dan tokoh terkenal. Sebelumnya, terdapat beberapa tokoh terkenal dari dunia hiburan yang memiliki keterkaitan dengan PAN. Musisi terkenal, Anang Hermansyah, misalnya, pernah menduduki posisi sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PAN sebelum akhirnya bergabung dengan partai lain.  

Hal serupa juga terjadi pada komedian terkenal, Denny Cagur, yang sebelumnya kerap dihubungkan dengan PAN. Namun, perjalanan politiknya membawanya menjadi Bacaleg DPR RI yang diusung oleh PDIP. 

Dalam konteks ini, dinamika politik dan keterlibatan tokoh-tokoh terkenal dari dunia hiburan telah memberikan warna baru bagi panorama politik Indonesia. 

Meskipun partai-partai politik seharusnya berfokus pada platform dan program-program politik mereka, adanya julukan Partai “Artis” Nasional dan keterlibatan artis-artis terkenal dalam PAN dapat menggeser perhatian publik dari isu-isu substansial ke dunia hiburan dan selebriti. 

Baca juga :  Mejeng Times Square: Never Ending Zulhas

Strategi Gaet Suara 

Fenomena artis yang terjun ke dunia politik adalah dampak dari demokrasi Indonesia, sehingga kehadiran mereka dalam beberapa aspek dapat dianggap sebagai strategi politik untuk meraih suara dalam pemilu. 

Penggunaan artis sebagai alat untuk meningkatkan daya tarik dan visibilitas partai bukanlah hal yang baru dalam politik di Tanah Air.  

Beberapa manuver ini mungkin didasarkan pada pertimbangan strategis yang melibatkan penggunaan popularitas dan pengaruh artis untuk mempengaruhi opini dan pilihan pemilih. 

Dengan bergabungnya artis terkenal dalam PAN, parpol ini dapat memanfaatkan jangkauan media sosial artis dan popularitas mereka untuk mendapatkan lebih banyak perhatian dari publik. 

Artis-artis ini juga mungkin memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendapat dan keputusan pemilih, terutama penggemar mereka yang mungkin lebih cenderung mengikuti pandangan politik yang didukung oleh artis idola mereka.  

Selain itu, hadirnya artis-artis terkenal di dalam partai dapat membantu meningkatkan daya tarik dan citra partai di kalangan generasi muda dan kaum milenial. Artis-artis ini sering kali menjadi simbol gaya hidup dan tren populer, yang dapat dihubungkan dengan identitas dan citra partai.  

Dengan demikian, PAN dapat menciptakan ikatan emosional dengan pemilih muda dan potensial, yang mungkin lebih tertarik untuk mendukung partai yang diwakili oleh tokoh-tokoh yang mereka kenal dan kagumi.  

Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan artis dalam politik juga dapat menimbulkan kontroversi. 

Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai taktik yang dangkal atau pragmatis, yang mana popularitas artis digunakan untuk menarik perhatian tanpa perlu menjelaskan secara rinci platform dan program politik partai.  

Terkadang, fokus pada artis dapat mengaburkan isu-isu substansial dalam politik dan mengurangi kualitas diskusi politik yang lebih mendalam. Pada akhirnya, sifat pengaruh artis dalam politik akan sangat tergantung pada bagaimana artis tersebut terlibat dan bagaimana pemilih meresponsnya.  

Meskipun adanya artis dapat menjadi manuver strategis untuk merebut suara dalam pemilu, penting bagi partai politik untuk tetap mengedepankan integritas, transparansi, dan substansi dalam penyampaian visi dan program politik mereka kepada pemilih. 


Artikel ini ditulis oleh Raihan Muhammad

Raihan Muhammad adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Hukum dari Universitas Negeri Semarang.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mungkinkah Jokowi-Megawati CLBK?

PDIP dirumorkan akan segera bergabung dengan koalisi Prabowo. Mungkinkah ini bentuk CLBK antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri?

KADIN dan Kemenangan Tertunda Anin?

Terpilihnya Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menggantikan Arsjad Rasjid meninggalkan ruang tafsir atas adanya intervensi serta deal politik tertentu. Namun, benarkah demikian? Dan mengapa intrik ini bisa terjadi?

Ini Aktor di Balik “Fufufafa” Gibran?

Media sosial dibuat ramai oleh posting-an lama akun bernama Fufufafa. Sejumlah posts bahkan menjelekkan Prabowo Subianto dan keluarganya.

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Titip Salam dari Mega ke Prabowo: Menuju Koalisi?

Seiring dengan “audisi” menteri yang dilakukan oleh Prabowo Subianto untuk kementerian di pemerintahannya, muncul narasi bahwa komunikasi tengah terjalin antara ketum Gerindra itu dengan Megawati Soekarnoputri.

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

More Stories

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...

Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom. Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu dan sebagian besar rakyat Indonesia telah berkontribusi dalam terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden...