HomeHeadlineBahaya Geber Politik Knalpot Brong Hasto?

Bahaya Geber Politik Knalpot Brong Hasto?

Pasca insiden pengeroyokan relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD oleh oknum TNI di Boyolali, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mempertanyakan netralitas angkatan bersenjata yang dikaitkan dengan kedekatan emosional serdadu dengan Prabowo Subianto. Sayangnya, kejadian susulan yang serupa tapi tak sama di Manado membuat politisasi terkait perilaku aparat meruncing jelang Pilpres 2024. Namun, politisasi ini harus segera dinetralisir karena sangat berbahaya. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Di tengah panasnya proses politik jelang Pilpres 2024, pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang mempertanyakan netralitas TNI pasca insiden pengeroyokan relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/Suhbrastha, Boyolali agaknya sangat berbahaya. 

Terlebih, Hasto langsung mengaitkannya dengan tudingan aktualisasi tindakan berdasarkan kedekatan emosional prajurit dengan capres nomor urut 2 yang berlatar belakang militer, Prabowo Subianto. 

Sontak, tudingan itu tak hanya menyudutkan kubu Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, tetapi juga institusi TNI, khususnya TNI AD. 

Setelahnya, insiden susulan yang serupa tapi tak sama terjadi di Manado, kemarin (5/1). Dalam video yang viral di media sosial, tampak sejumlah anggota TNI melakukan tindakan keras kepada pemotor yang menggunakan knalpot brong saat iring-iringan mengantar jenazah ricuh di depan markas Kodam XIII/Merdeka, Manado. 

Kendati sudah terkuak bahwa pemantik aksi keras itu adalah kegaduhan akibat pengguna motor ber-knalpot brong. Dan bahkan setelah terungkap bahwa warga sekitar, baik di Boyolali dan Manado juga merasa terganggu dengan perilaku subjek yang menjadi target aksi keras itu, tetap saja angkatan bersenjata dan Prabowo – secara tidak langsung maupun tidak langsung – tersudut. 

Utamanya, yang kemungkinan besar terkait komentar tendensius dan politisasi yang dilakukan Hasto sebelumnya. 

profil politisi hasto kristiyanto

Kejadian serupa tapi tak sama berikutnya yang melibatkan framing aparat dan masyarakat pun tak menutup kemungkinan akan terjad. Dan di titik ini, efek lanjutan dan turunan dari tudingan Hasto kiranya memang sangat berbahaya. Mengapa demikian? 

Hasto Ciptakan Ilusi? 

Hasto mungkin tidak menyangka bahwa pernyataan tendensiusnya dalam merespons pengeroyokan relawan Ganjar-Mahfud oleh oknum TNI di Boyolali akan diikuti kejadian yang serupa tapi tak sama di Manado. 

Sayangnya, framing mempertanyakan netralitas TNI kadung melebar dalam ruang diskursus masyarakat yang kemudian saling dikaitkan dengan tudingan kedekatan khusus di balik layar di antara serdadu dengan capres tertentu hingga eskalasi kekerasan TNI jelang Pilpres 2024. 

Penegasan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak bahwa setiap anggota TNI yang telah terlibat sudah berstatus tersangka dan mengusulkan agar persidangan berjalan terbuka, tampaknya belum maksimal dalam menetralisir efek framing yang seolah diperkeruh Hasto. 

Baca juga :  Kenapa Xi Jinping Undang Prabowo?

Yang kemudian muncul –  khususnya setelah insiden berikutnya di Manado – adalah, tudingan bahwa kekerasan tersebut saling terkait dan menggambarkan citra institusi TNI secara makro jelang Pilpres 2024 mendatang kepada rakyat. 

Bumbu-bumbu politik yang cenderung radikal seperti tuduhan gerakan terstruktur yang mulai “ditularkan” atas penyalahgunaan kekuatan untuk mengarahkannya ke pilihan politik tertentu bahkan telanjur eksis. 

Padahal, ini sangat keliru. “Cocoklogi” kekeliruan itu sendiri disebut sebagai illusory contagion effect atau  efek penularan ilusi. Hal ini terjadi ketika individu atau kelompok merasakan adanya korelasi, hubungan, atau “penularan” antara peristiwa atau fenomena, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan sebab-akibat di antara peristiwa atau fenomena tersebut. 

Dengan kata lain, dampak yang dirasakan tampak menyebar seperti penularan, namun kenyataannya tidak ada pengaruh secara langsung. 

Efek penularan ilusi sering kali berasal dari bias kognitif, seperti kecenderungan untuk memahami pola atau hubungan yang sebenarnya tidak ada. 

Individu atau kelompok masyarakat tertentu mungkin mengaitkan hubungan sebab dan akibat dengan peristiwa yang tidak berhubungan karena kebetulan, terdapat kedekatan waktu atau ruang, serta faktor lain yang menciptakan persepsi keliru tentang “penularan” peristiwa. 

Ilusi semacam itu cukup sering terjadi di ruang sosial dan digital sehari-hari. Sebagai contoh, mungkin pada satu ketika, saat terdapat berita mengenai aksi kriminal pembegalan di suatu wilayah dan ditayangkan di media massa, berita-berita serupa kemudian bermunculan dengan jarak yang berdekatan. 

Ini kemudian menimbulkan efek sekunder atau “ilusi” yang kerap bias dan tak komprehensif, seperti paranoid berlebihan bahwa begal sedang merajalela dan tak terkendali, melebarnya tudingan mengenai tak becusnya kinerja kepolisian, hingga menyudutkan pemerintah karena tidak memerhatikan kesejahteraan warganya hingga aksi kriminal yang tampak masif muncul. 

Lalu, mungkin muncul pertanyaan yang mengganjal seperti bagaimana dengan kekerasan itu sendiri yang tak bisa dibenarkan begitu saja? 

Pertanyaan tersebut sebenarnya repetitif namun penting untuk dipahami jawabannya secara objektif. 

Secara alamiah, interaksi manusia tak dapat dilepaskan dari konsep aksi-reaksi. Dalam konteks aksi keras anggota TNI di Boyolali dan Manado, kronologi kejadian yang telah terkuak agaknya lebih dari cukup untuk menetralisir tudingan Hasto dan “ilusi” yang muncul setelahnya. 

Jenderal Maruli telah mengakui kesalahan anggotanya di Boyolali dan berkomitmen menindak sesuai prosedur anggota yang terlibat. Akan tetapi, kiranya cukup banyak juga yang sepakat dengan Jenderal Maruli bahwa relawan yang menggeber knalpot brong dan mengganggu ketertiban publik pun keliru dan menjadi pemantik di awal. 

Baca juga :  Sidang MK: Prabowo Dilantik, Gibran Didiskualifikasi?

Frasa “di awal” agaknya penting untuk dipahami karena sangat krusial dalam membedakan framing “hakikat” arogansi dan keberpihakan aparat, dengan kejadian sesungguhnya, yakni kegaduhan yang dibuat relawan Ganjar dengan knalpot brongnya. 

Hal serupa juga tak berbeda di insiden Manado. Bahkan, terdapat anggota TNI yang melerai warga sekitar yang geram dan memukuli pengendara knalpot brong dalam iring-iringan pengantar jenazah yang berkendara seenaknya itu. 

Tudingan dan komunikasi politik Hasto yang berbahaya karena bisa mengakumulasi ketidakpercayaan rakyat kepada institusi negara seperti TNI dan bisa saja berbuntut konflik, seolah mengingatkan kembali dengan wanti-wanti terkait atmosfer politik yang pernah dikemukakan oleh sosok jenderal aktif beberapa waktu lalu. 

hasto pdip sekjen killer ed.

Hasto Sebaiknya Diam? 

Setelah memahami pentingnya netralisir diskursus mengenai insiden Boyolali danManado, mungkin banyak yang menginginkan politisi dengan karakteristik seperti Hasto untuk tak banyak bicara “ngawur” di tengah panasnya proses politik jelang Pemilu dan Pilpres 2024. 

Pentingnya komunikasi politik para aktor yang beradab sendiri pernah diungkapkan Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo saat masih menjabat Pangdam III/Siliwangi dalam sebuah kolom tulisan berjudul Etika Menuju 2024 yang dipublikasikan Kompas.com pada 10 April 2023 lalu.  

Publikasi itu sendiri cukup mengejutkan karena setelah Reformasi, sangat jarang perwira aktif berbicara mengenai politik praktis. 

Mayjen Kunto sendiri menyoroti komunikasi politik para aktor yang belakangan kerap menjauh dari koridor etika yang baik. 

Sosok yang merupakan anak Wakil Presiden ke-6 RI yang juga Panglima ke-9 ABRI, Try Sutrisno itu menyoroti partai politik dan para aktor di dalamnya yang bertanggung jawab mendewasakan para pemilih dalam mewujudkan komunikasi politik yang beradab. 

Namun, Mayjen Kunto memberikan semacam peringatan andai para aktor politik tetap dalam ketidakpedulian, mengenai sebuah hal yang tentu tidak diinginkan oleh siapapun. 

“Akan tetapi, andai ketidakpedulian tetap terjadi dan semakin menguat, maka demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi. Semoga itu tidak terjadi,” begitu pungkas Mayjen Kunto. 

Walaupun tak merepresentasikan suara TNI, apa yang dikemukakan Mayjen Kunto sebenarnya cukup konstruktif bagi kondusivitas politik negara di tengah tensi berbalut bumbu politisasi atas peristiwa apapun saat ini. 

Oleh karena itu, Hasto dan para aktor politik lain semestinya dapat lebih menjaga etika dalam komunikasi politik agar tak merusak persatuan dan kesatuan bangsa, baik di antara rakyat dengan rakyat, maupun rakyat dengan institusi negara. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?