HomeHeadlineThe End of Luhut Pandjaitan Era?

The End of Luhut Pandjaitan Era?

Pasca menderita sakit dan harus dirawat intensif, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan harus menepi dari panggung politik nasional. Ia tak terlibat aktif lagi dalam pembuatan kebijakan di level tertinggi. Posisinya digantikan sementara oleh Erick Thohir yang diangkat Presiden Jokowi sebagai Menko Marves ad Interim. Banyak yang kemudian bertanya-tanya, apakah ini adalah titik akhir dari era Super Minister Luhut? Perubahan-perubahan apa saja yang akan terjadi ke depannya tanpa Luhut?


PinterPolitik.com

“Bayangkan kalau kehebatan politik Pak Luhut muncul saat Gus Dur jadi presiden, enggak mungkin jatuh jadi presiden.”- Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB (26/3/2017)

Sosok Luhut Pandjaitan memang membenarkan salah satu ungkapan yang kerap diarahkan pada para pemimpin hebat: “Di belakang pemimpin yang besar selalu ada jenderal yang hebat”. Mungkin itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan sosok Luhut Pandjaitan. Pria kelahiran Simargala, Sumatera Utara ini memang dianggap sebagai salah satu sosok penting dalam pemerintahan Presiden Jokowi.

Mulai dari Kepala Staf Istana, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), dan kini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) adalah jabatan-jabatan yang menunjukkan pentingnya posisi Luhut di kabinet Jokowi.

Tidak heran jika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pernah menyebut bahwa jika kekuatan politik Luhut dulu sekuat saat ini, maka Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mungkin dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden RI. Kata-kata Cak Imin ini mungkin disampaikan dalam nada candaan, namun mengandung kebenaran yang sangat tersurat.

Bagaimanapun juga, Jokowi adalah presiden terlemah setelah Gus Dur – demikian kata Indonesianis Jeffrey A. Winters – karena tidak punya latar belakang partai politik dan militer. Kehadiran Luhut memberikan kekuatan politik pada Jokowi karena Luhut adalah seorang purnawirawan jenderal dan punya posisi cukup penting di Partai Golkar – dua hal yang memang sangat dibutuhkan oleh Jokowi.

Rappler dalam wawancaranya dengan Luhut pernah menyebut jenderal bintang empat tersebut sebagai salah satu orang yang paling dipercaya oleh Jokowi, bahkan boleh jadi melampaui tokoh politik manapun di sekitar pria kelahiran Solo itu – termasuk partai Jokowi, PDIP. Luhut disebut “memiliki” telinga dan kepercayaan Jokowi.

Kini, sejak Oktober 2023 lalu, Luhut harus menepi dari panggung politik nasional. Sakit yang awalnya disebut sebagai “kelelahan yang luar biasa”, membuat purnawirawan baret merah itu harus menepi dari pemerintahan. Posisinya juga kini telah digantikan sementara oleh Menteri BUMN Erick Thohir, sembari menunggu pemulihan yang optimal dari tangan kanan Jokowi itu.

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Namun, seiring makin pendeknya jangka waktu kekuasaan Jokowi dan dengan segala dinamika yang terjadi di seputaran Pilpres 2024, banyak pihak yang mempertanyakan apakah ini adalah awal dari akhir dari sebuah era besar: The Era of Luhut. Jika demikian, perubahan apa saja yang mungkin akan terjadi di waktu-waktu mendatang?

menantu luhut ksad next panglima.jpg

Akhir Era Luhut

Kolumnis Reuters, Kanupriya Kapoor dalam tulisannya pada Agustus 2015 menyebut Luhut Pandjaitan sebagai “one of the country’s powerful men” karena pengaruhnya dan jabatannya saat itu sebagai Kepala Staf Kepresidenan – posisi yang baru ada pada pemerintahan Jokowi. Luhut dijuluki sebagai “the gatekeeper” – penjaga gerbang – bagi Jokowi, bukan hanya karena latar belakang militer, tetapi juga skill ekonomi mumpuni yang dimilikinya.

Beberapa pihak menyebut Luhut sebagai the eloquent English-speaking politician atau politisi yang sangat fasih berbicara dalam Bahasa Inggris. Hal ini memudahkannya membawa kepentingan Jokowi ketika bertemu dengan investor asing.

Jika ditarik ke belakang, keputusan Jokowi menarik Luhut ke kubunya saat bertarung melawan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 adalah langkah yang sangat jenius – entah inisiatif itu datang dari Jokowi, tokoh politik lain, atau dari Luhut sendiri.

Yang jelas, Luhut membawa gerbong cukup besar dari Partai Golkar dan gerbong dukungan dari para purnawirawan TNI. Nama Jenderal (Purn) Try Sutrisno disebut-sebut sebagai salah satu sesepuh TNI yang ikut mendukung keputusan Luhut.

Kekuatan politik Luhut sangat jelas tergambar dari ketegasan kata-katanya ketika disinggung terkait kemungkinan ia diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar karena mendukung Jokowi. Jika tidak punya kekuatan politik, ia pasti akan langsung didepak oleh Golkar yang saat itu mendukung Prabowo. Tetapi hal itu tidak terjadi.

Selain itu, faktor Luhut menjadi sangat penting untuk Jokowi saat itu karena Luhut adalah “abang” atau senior Prabowo Subianto di Kopassus. Luhut pernah menjabat sebagai Komandan Detasemen 81/Anti Teror, dan pada saat itu Prabowo adalah wakilnya. Hubungan senior-junior ini membuat Luhut hampir pasti mengetahui semua seluk beluk tentang Prabowo – hal yang bisa dibaca dalam biografi Sintong Panjaitan.

Luhut juga berperan penting dalam hubungan dengan oposisi di DPR. Jika bukan karena Luhut, sulit membayangkan program-program pemerintahan Jokowi bisa dimuluskan di parlemen. Ia juga dianggap sebagai salah satu tokoh utama “pembalik” posisi Golkar, dari yang semula mendukung Prabowo, kemudian berbalik memenangkan pemerintahan Jokowi di parlemen.

Emirza Adi Syailendra dari Rajaratnam School of Internastional Studies (RSIS) menyebut Luhut juga punya hubungan yang cukup baik dengan Setya Novanto yang kala itu menjadi Ketum Golkar.

Baca juga :  Qodari, Jokowi's Man?

Dengan demikian, jika posisi Luhut berakhir, maka boleh jadi Jokowi akan kehilangan tokoh yang mempengaruhi posisi politiknya secara keseluruhan. Namun, hal itu bisa saja punya muara yang berbeda jika kita melihat kekuatan Jokowi saat ini yang bisa dibilang sudah sangat kuat meskipun tak lagi didampingi sosok seperti Pak Luhut.

Bahkan, dalam konteks hadap-hadapan dengan elite politik lain, Jokowi terlihat sudah mampu melakukannya sendiri. Di awal misalnya, PDIP kerap menganggap Luhut dan jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan saat itu sebagai hal yang tidak diperlukan. PDIP juga merasa keberatan dengan dominannya kekuatan politik Luhut – mungkin karena merasa kepentingan partai banteng moncong putih itu jadi terganggu.

Kini, Jokowi bisa sendirian menghadapi tekanan politik partai banteng. Bahkan, untuk Pilpres 2024, roman-romannya arah politik Jokowi dan PDIP sudah saling membelakangi. Ini karena putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Sementara PDIP sudah mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Akhir era Luhut juga sangat mungkin akan terasa dalam konteks kebijakan investasi Indonesia. Bagaimanapun juga, Pak Luhut kerap disebut sebagai tokoh yang menjadi penyambung Indonesia dengan investor dari Tiongkok. Ini tentu punya potensi berubah ketika Luhut tak lagi ada di sekitar Jokowi, setidaknya di sisa masa kekuasaan sang presiden.

megawati terang terangan sindir jokowi.jpg 1

Siapa Bisa Gantikan Luhut?

Banyak pengamat politik Indonesia menganggap jika bukan karena Luhut, maka pemerintahan Jokowi tidak akan mungkin bisa kuat menghadapi tekanan politik, termasuk dari partai-partai pendukung.

Secara garis besar, keputusan Jokowi menunjuk beberapa purnawirawan militer dalam kabinetnya sesungguhnya menunjukkan cara presiden “terlemah setelah Gus Dur” ini untuk menyeimbangkan kekuatan politik.

Secara politis, sulit untuk mencari pengganti yang sepadan Luhut. Bahlil Lahadalia yang saat ini menjabat sebagai Menteri Investasi dianggap belum mampu berkiprah di level Luhut. Sosok lain seperti Erick Thohir mungkin punya pengalaman bisnis yang mentereng. Namun dari sisi posisi politik, ia belum selevel Luhut karena bukan militer dan bukan tokoh elite partai sebesar Golkar.

Dengan demikian, hal ini masih akan menjadi pertaruhan menarik dari Presiden Jokowi, setidaknya dalam konteks harapan akan tokoh yang sepadan Luhut di sisa kekuasaannya. Bagaimanapun juga, menepinya Luhut sangat mungkin menjadi akhir dari “Era Luhut”.

Kita mungkin tak akan pernah lagi menyaksikan adanya seorang “super minister”. Sosok yang disebut sebagai “The Real Vice President” meski tak menduduki jabatan itu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.