HomeNalarPutin Sudah Antisipasi Taktik NATO?

Putin Sudah Antisipasi Taktik NATO?

Beberapa pihak mulai mencurigai ada upaya untuk memperlama konflik Rusia-Ukraina. Jika benar demikian, siapakah yang akan lebih dirugikan? 


PinterPolitik.com 

Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut hingga sekarang. Serangan yang dilakukan Presiden Vladimir Putin sejak 24 Februari silam ternyata belum bisa membuat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bertekuk lutut. 

Sumber dari pemerintah Ukraina menyebut pihaknya sudah menderita sebanyak 2.500 sampai 3.000 personel militer yang tewas. Di sisi Rusia, mereka mengatakan setidaknya ada sekitar 1.351 sampai 3.825 personel militer yang tewas. 

Tentu, jumlah-jumlah tersebut semakin bertambah setiap harinya. Karena itu, sudah sebijaknya konflik ini dicarikan solusi perdamaian secepat-cepatnya, agar tidak lebih banyak keluarga yang perlu menampung kesedihan atas kematian anaknya di medan pertempuran. 

Tetapi kembali lagi, bahkan setelah menjalankan sejumlah perundingan, Ukraina dan Rusia masih bisa mencari titik temu. Berbagai kecurigaan tentang adanya upaya untuk memperpanjang konflik kemudian muncul. 

Yang pertama datang dari pemerintah Rusia sendiri. Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia, Maria Zakharova dalam sebuah artikel di Global Times menyebutkan negara-negara NATO tengah berupaya semampu mungkin agar konflik tetap berlanjut. 

Dengan terus memberikan pasokan senjata, NATO seakan-akan mendorong Ukraina untuk tetap melanjutkan pertempuran melawan Rusia, padahal kata Zakharova NATO sebelumnya telah berkomitmen agar kekerasan di negara Eropa Timur itu bisa diselesaikan secepatnya. 

- Advertisement -

Tidak hanya dari Rusia, kecurigaan pada NATO juga datang dari negara anggota NATO sendiri yaitu Turki. Menlu Mevlut Cavusoglu menyebutkan ada negara di dalam NATO yang menginginkan perang Ukraina berlanjut.  

Negara tersebut menurutnya, melihat kelanjutan konflik sebagai upaya untuk melemahkan Rusia, dan tidak terlalu peduli dengan situasi di Ukraina itu sendiri. Tetapi Cavusoglu tidak menyebutkan negara mana yang ia maksud. 

Well, kalau kita melihat beberapa waktu ke belakang, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memang sempat mengatakan konflik di Ukraina dapat berlanjut untuk waktu yang lama. Besar dugaannya, pernyataan Turki juga diarahkan pada AS. 

Lantas pertanyaannya adalah, mungkinkah Rusia telah jatuh dalam permainan ala NATO? 

Pertarungan Taktik Erosi? 

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memiliki pemahaman yang sama terlebih dahulu tentang apa yang bisa diraup NATO jika konflik Ukraina terjadi berkepanjangan.  

Di sini kita setidaknya bisa mempertimbangkan tiga poin utama. Pertama, sesuai dengan yang sudah dibahas dalam video PinterPolitik di YouTube yang berjudul Lockheed Martin dan Para Pemenang Konflik Ukraina, industri pertahanan seperti Lockheed Martin mendapatkan keuntungan cukup besar dari perseteruan antara Rusia dan Ukraina.  

Bukan kebetulan juga bahwa lima kontraktor pertahanan terbesar di dunia saat ini berkantor di negara-negara NATO. Artinya, jika konflik berlangsung lama, maka itu akan menjadi lahan bisnis yang menguntungkan mereka dan negaranya. 

Baca juga :  Indonesia Terjebak Indeks Kekuatan Militer “Sesat”?

Kedua, sesuai pernyataan Cavusoglu, konflik yang berkepanjangan mungkin memang berpotensi akan melemahkan Rusia. Jika Rusia bisa dilemahkan dalam konflik Ukraina, maka Putin akan sangat terluka ketika harus mempertahankan negara-negara Eropa Timur lain yang juga berpotensi bergabung dengan NATO, karena ia perlu menghabiskan lebih banyak sumber daya dan tenaga 

- Advertisement -

Sesuai pemberitaan yang ada, negara-negara tersebut kini adalah Swedia dan Finlandia. 

Ketiga, ini sifatnya lebih ke keuntungan AS. Sesuai dengan yang sudah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Konflik Ukraina Hasil Desain Biden?, dijelaskan bahwa konflik Ukraina besar dugaannya dimanfaatkan Biden untuk meredam Eropa agar tidak menjadi pemain kuat di wilayahnya sendiri. Hal ini karena hubungan yang buruk dengan Rusia sesungguhnya sangat menyakiti Uni Eropa. 

Lalu, apakah ini artinya Putin sudah kalah? 

Melihat keadaan yang ada, jawabannya adalah tidak.  

Ketika awal konflik Ukraina terjadi pada 24 Februari, banyak yang bertanya-tanya mengapa Rusia tidak menurunkan personel militer yang jauh lebih banyak dan alat perang yang lebih canggih. Well, sekarang jawabannya terlihat jelas. 

Dengan mengirimkan pasukan secara bertahap dan hanya fokus ke wilayah-wilayah tertentu, Putin sepertinya sedang memainkan apa yang disebut sebagai Fabian strategy.  

Diambil dari nama diktator Republik Romawi, Quintus Fabius Maximus Verrucosus, strategi ini menggunakan taktik attrition warfare (perang erosi), yaitu upaya untuk memenangkan perang dengan cara melemahkan musuh sampai ke titik keputusasaan tanpa melakukan pertempuran besar. 

Dengan menimbulkan kerugian secara bertahap pada beberapa sektor yang dapat mengganggu kelancaran operasi militer dan mengganggu pasokan perang, musuh yang diterapkan strategi ini akan sangat sengsara jika mereka memutuskan untuk melanjutkan perang. Taktik seperti ini sangat efektif dalam membuat musuh menyerah, tetapi bukan untuk menghancurkannya. 

Dan kalau kita lihat, ketika awal konflik Putin memang sudah terlebih dahulu menargetkan fasilitas-fasilitas penunjang militer Ukraina, seperti pangkalan tentara, gudang senjata, bahkan sumber-sumber pengelolaan energi. Tujuan itu semua adalah agar angkatan bersenjata Ukraina menghabiskan lebih banyak sumber daya dan tenaga hanya untuk dapat bertahan dalam peperangan. 

Kembali ke dugaan bahwa NATO menginginkan konflik Ukraina untuk bertahan lama, bisa kita interpretasi bahwa Putin sesungguhnya sudah mengantisipasi itu dengan menerapkan strategi yang sama, yaitu membuat pihak yang terlibat perang, yakni Ukraina, menderita sedemikian rupa hingga akhirnya mereka memohon untuk menyerah. 

Pada akhirnya NATO dan Rusia telah terjebak dalam perang erosi, dan mirisnya, Ukraina berada di tengah-tengah perseteruan dua kekuatan tersebut. 

Lantas, jika taktik attrition warfare sedang dimainkan, siapa yang akan unggul?   

Bagaimanapun, Ukraina Korbannya 

Pertanyaan besar pertama kita adalah, apakah attrition warfare mutlak akan membuat Rusia kehilangan keunggulan dalam konflik ini? 

Baca juga :  Putin “Gatel” Pengen Gaet Indonesia?

Gustav Gressel, seorang pengamat Eropa Timur dalam artikelnya Ukraine: Time for the West to Prepare for the Long War, menjelaskan taktik perang erosi bisa menjadi kunci kesuksesan Putin dalam konflik ini, karena Rusia sesungguhnya masih memiliki sumber daya militer dan ekonomi untuk terus menjalankan konflik selama bertahun-tahun. 

Kalau kita teliti, total personel militer Rusia berjumlah lebih dari 1 juta orang, dengan 2 juta pasukan cadangan. Sementara yang diturunkan ke Ukraina saat ini hanya berjumlah sekitar 100.000 sampai 150.000. Ini artinya Putin masih menyimpan banyak kekuatannya untuk dikeluarkan di kemudian hari bila memang sudah saatnya Ukraina ditaklukkan. 

Salah satu taktik yang umumnya diterapkan dalam Fabian strategy adalah menutup akses negara yang diserangnya dari akses internasional. Ini adalah taktik yang sangat kejam karena mampu membunuh ribuan warga negara tidak bersalah yang terperangkap karena kehabisan makanan. 

Untungnya, kalau kita lihat sekarang Putin belum memilih untuk melakukan hal itu. Tetapi opsi tersebut masih ada di udara, dan Putin kapan saja bisa melakukannya dengan jumlah militer yang masih banyak tersimpan. 

Sementara keadaan Ukraina sangat tertekan. Konflik yang berkepanjangan tidak hanya akan menjatuhkan ribuan militernya, tetapi juga warga-warga sipil dan sejumlah infrastruktur vital negara karena konflik terjadi di tanah air mereka. Total militer Ukraina pun diperkirakan berjumlah sekitar 200.000. 

Karena itu, jika konflik ini berlangsung secara berkepanjangan, jelas yang dirugikan adalah Ukraina. Ambisi untuk tidak menyerah memang menginspirasi dan membakar semangat nasionalisme, tetapi Zelensky juga perlu waspada agar ambisinya ini tidak merusak Ukraina lebih lanjut. 

Terlebih lagi, Putin dikenal sebagai pemimpin yang tidak pernah tunduk pada tuntutan Barat. François Heisbourg, pengamat internasional dari International Institute for Strategic Studies (IISS), mengatakan bahwa sifat Putin adalah ketika ia dihadapi sebuah kesulitan, dia tidak akan mengurangi ambisinya tetapi justru berusaha meningkatkan keunggulannya.  

Ini bisa kita cek dengan bagaimana Rusia tiba-tiba saja dengan berani mengambil wilayah Crimea pada 2014 lalu, padahal sebelum itu Rusia sudah dijatuhi sejumlah sanksi ekonomi. 

Pada akhirnya, dengan perang erosi yang terjadi antara NATO dan Rusia, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa lagi-lagi sumber masalah sesungguhnya terletak pada sikap NATO. 

Dengan menjadikan Ukraina sebagai proksi untuk melemahkan Rusia, NATO telah bertindak sangat eksploitatif dan mengorbankan ribuan keluarga tidak bersalah yang tinggal di Ukraina. Semua itu dilakukan demi ambisi politik menjatuhkan oposisinya dalam panggung internasional. 

Kita harap saja semoga pihak-pihak yang menginisiasi perdamaian di Ukraina dapat memperoleh kemudahan. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Pemerintah Bohong Soal Inflasi?

Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator untuk mengukur tingkat inflasi. Namun, bagaimana jika IHK bukan indikator untuk kepentingan itu? PinterPolitik.com “If you want to know about...

Kepala Desa, Senjata PDIP di Pemilu 2024?

Hadirnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko, dalam acara peringatan 9 Tahun Undang-Undang (UU) Desa di Gelora Bung Karno (GBK)...

Mengapa Kelakuan Oknum Bule Seenaknya?

Ketidakpatuhan hukum sejumlah oknum bule atau turis asing di Bali yang diikuti respons pemerintah dan pihak terkait setelahnya berdampak luas. Bahkan, hingga memantik respons minor duta...

BLACKPINK dan Sisi Kelam Budaya FOMO

Konser BLACKPINK yang diselenggarakan tanggal 11 dan 12 Maret silam memunculkan diskursus tentang budaya Fear of Missing Out (FOMO). Mungkinkah kita terlepas dari budaya konsumtif tersebut?

PPP, Sandi The Next Hamzah Haz?

Karpet merah bagi Sandiaga Uno untuk keluar telah disinggung oleh elite Partai Gerindra. Sementara itu, manuver elite PPP Muhammad Romahurmuziy ke PDIP tampaknya membuat...

Piala Dunia U-20, “Cuci Nama” Israel Berhasil?

Ikut sertanya tim nasional (Timnas) sepak bola Israel U-20 di ajang Piala Dunia U-20 yang akan digelar di Indonesia mengundang penolakan dari beberapa organisasi...

Saudi-Iran, Tiongkok Numpang Eksis?

Tiongkok seolah berhasil menjadi penengah dalam pemulihan hubungan di antara Arab Saudi dan Iran. Pemulihan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian yang dilaksanakan di Beijing,...

Salah Kaprah Sebut Erdoğan Islamis?

Sosok Recep Tayyip Erdoğan kerap digadang-gadang jadi sosok pemimpin Islam. Namun, benarkah Presiden Turki Erdoğan ialah pemimpin Islamis?

More Stories

BLACKPINK dan Sisi Kelam Budaya FOMO

Konser BLACKPINK yang diselenggarakan tanggal 11 dan 12 Maret silam memunculkan diskursus tentang budaya Fear of Missing Out (FOMO). Mungkinkah kita terlepas dari budaya konsumtif tersebut?

Siapa Parpol Baru “Gerombolan Teroris”?

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar, menyebut ada partai politik (parpol) yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Ia juga mengungkapkan akan ada upaya infiltrasi teroris ke pergelaran Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Bagaimana kacamata politik memahami komunikasi publik ala Boy ini?

Kenapa Kita “Benci” Pejabat Kaya?

Terungkapnya transaksi misterius di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp300 triliun semakin meningkatkan keresahan publik terhadap kekayaan para pejabat di Indonesia. Beberapa bahkan tidak ragu menunjukkan kemarahannya di media sosial. Kenapa kita sangat mudah terpancing amarah terhadap kehidupan pejabat kaya?