HomeHeadlinePrabowo vs Ganjar, Rahasia Kompetisi Arsjad-Rosan?

Prabowo vs Ganjar, Rahasia Kompetisi Arsjad-Rosan?

Dua ketua tim pemenangan bacapres 2024 yakni Arsjad Rasjid di kubu Ganjar Pranowo dan Rosan Roeslani di kubu Prabowo Subianto yang berlatar belakang pengusaha agaknya menyingkap rahasia sekaligus pergeseran tren di blantika politik Indonesia. 


PinterPolitik.com 

Kepercayaan sebagai ketua tim pemenangan dua bacapres 2024 yang diberikan kepada dua pebisnis tenar tanah air, Arsjad Rasjid (kubu Ganjar-Mahfud MD) dan Rosan Roeslani (Prabowo-Gibran), menjadi sinyal kuat pergeseran tren politik dan eksistensi pengaruh dalam dimensi tertentu. 

Pada 4 September lalu, Arsjad Rasjid yang merupakan Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) resmi ditunjuk menjadi Ketua Tim Pemenangan Ganjar Pranowo yang kala itu belum memiliki bacawapres. 

Sementara itu, Rosan yang menjabat Wakil Menteri BUMN didapuk langsung oleh Prabowo Subianto sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Maju kemarin (25/10). 

Terlepas dari posisi ketua tim pemenangan yang masih belum diumumkan oleh pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, sorotan memang agaknya patut ditujukan kepada Arsjad dan Rosan. 

Sebagai informasi, Arsjad adalah Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, atau KADIN Indonesia periode 2021-2026. Sementara itu, Rosan adalah pendahulu Arsjad di periode 2015-2021. 

Impresi yang cukup menggelitik tentu terkait dengan kepercayaan koalisi politik, baik kubu Ganjar maupun Prabowo, terhadap latar belakang keduanya yang merupakan pebisnis. 

Padahal, di Amerika Serikat (AS), misalnya, ketua tim kampanye atau presidential campaign manager hampir selalu diampu oleh sosok yang murni menguasai ranah sosiopolitik. Itu dianut oleh Partai Republik maupun Partai Demokrat hingga Pilpres edisi terakhir pada 2020 silam. 

Menariknya, Erick Thohir yang dipercaya menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin seakan mengawali tren pebisnis yang ditunjuk untuk posisi tersebut. 

Lantas, mengapa seolah terjadi pergeseran latar belakang sosok ketua tim pemenangan di Pilpres tanah air? 

Tren Baru? 

Tidak hanya di AS, di Indonesia pun sosok ketua tim pemenangan atau yang juga kerap disebut ketua tim kampanye selalu diisi sosok yang dianggap mumpuni dalam aspek sosiopolitik demi merengkuh dukungan berbagai pihak, mulai dari elite hingga akar rumput. Paling tidak itu terjadi sejak Pilpres 2004 hingga 2014. 

Kemampuan dalam aspek sosiopolitik yang dimaksud sendiri adalah bagaimana seorang ketua tim pemenangan dapat menciptakan citra positif dan mengelola, plus mengeksekusi langkah-langkah strategis, sesuai dengan jangkauan serta kondisi psikologi politik konstituen yang ditargetkan.  

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Sejak Pilpres 2004 hingga 2014, tidak ada nama pebisnis “tulen” yang mengampu jabatan ketua tim pemenangan. 

Edisi 2004 yang menjadi Pilpres pertama dengan sistem pemilihan langsung, diisi oleh lima kandidat dengan ketua tim pemenangan yang berlatar belakang militer, politisi, ekonom, akademisi, hingga tokoh agama. 

Saat itu, ketua tim pemenangan duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) dipercayakan kepada Letjen TNI (Purn.) Mohammad Ma’ruf. Sementara Mayjen TNI (Purn.) Adang Ruchiatna mengetuai tim kampanye Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. 

Koalisi politik pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo mempercayakan posisi tersebut kepada akademisi dan ekonom Bambang Sudibyo. Di sisi berbeda, duet Hamzah Haz-Agum Gumelar mempercayakannya kepada politisi PPP Hasrul Azwar. 

Terakhir, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Slamet Effendy Yusuf menjadi ketua tim pemenangan duet Wiranto-Salahuddin Wahid. 

Di edisi 2009, politisi PAN Hatta Rajasa menjadi ketua tim pemenangan SBY-Boediono, Mayjen TNI (Purn.) Theo Syafei di kubu Megawati-Prabowo, dan politisi-pebisnis Golkar Fahmi Idris yang menyokong duet JK-Wiranto. 

Sementara di Pilpres 2014, ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa dipercayakan kepada pakar hukum tata negara Mahfud MD. Di kubu Jokowi-JK, politisi PDIP Tjahjo Kumolo menjadi rival Mahfud. 

Baru lah di edisi 2019 nama Erick Thohir mengawali tren sosok berlatarbelakang pebisnis “tulen” yang mana saat itu sukses menjadi ketua tim kampanye nasional duet Jokowi-Ma’ruf Amin. 

Rival Jokowi, duet Prabowo-Sandiaga Uno mempercayakan posisi ketua tim pemenangan kepada Jenderal TNI (Purn.) Djoko Santoso. 

Maka dari itu, kepercayaan yang diberikan kepada Rosan dan Arsjad dapat dilihat menjadi tren menguatnya simbiosis politik dan akomodasi kepentingan para pebisnis yang kini semakin diperlihatkan oleh aktor-aktor di dalamnya. 

arsjad antar ganjar ke istana

Pebisnis Main Tiga Kaki? 

Secara tradisional, politik Indonesia kerap dianggap diwakili oleh dua aliran utama, yakni kelompok nasionalis dan kelompok agamais atau Islamis. Padahal, terdapat satu unsur yang belakangan mulai ambil bagian secara aktif dan memiliki peran besar, ya, insan bisnis. 

Para pebisnis memang mau tidak mau harus terlibat di dalam perkara politik tanah air. Menurut Jeffrey Winters, para pengusaha ini harus menjadi aktor politik untuk mengamankan tatanan bisnis mereka, termasuk oligarkinya. 

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Unsur insan bisnis atau pebisnis kemudian dapat dikatakan sebagai perwujudan dari kapitalisme. 

Mau tidak mau dan suka atau tidak suka, kapitalisme menjadi sebuah kekuatan besar yang dampaknya menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Eksistensi pebisnis dalam politik lantas membentuk tren tersendiri saat fenomenanya tidak hanya di negeri ini, tetapi juga di seluruh dunia. 

Simbiosis, atau lebih tepatnya “transaksi”, yang terjadi sendiri cukup sederhana. Keterlibatan secara aktif para pebisnis dalam politik dinilai demi akses kemudahan bisnis saat kandidat yang mereka dukung menang dan berkuasa. 

Sementara itu, aktor politik membutuhkan sokongan para pebisnis, terutama aspek jejaring dan finansial mereka demi memenuhi ongkos politik yang begitu tinggi. 

Dalam konteks Arsjad dan Rosan di Pilpres 2024, keduanya dianggap memiliki kapasitas dan jejaring yang luas, serta dapat diterima semua kelompok. 

Arsjad merupakan Direktur Utama Indika Energy, sebuah perusahaan investasi terdiversifikasi terkemuka di Indonesia yang berfokus pada pengembangan dan eksploitasi sumber daya alam, infrastruktur, dan berbagai sektor industri strategis lainnya. Aset perusahaan yang dipimpin Arsjad bernilai sekitar Rp50 triliun. 

Sementara itu, Rosan adalah pendiri Recapital Group, perusahaan yang bergerak di bidang finansial, perbankan, pertambangan, infrastruktur, properti, hingga media dan telekomunikasi. 

Menariknya, baik Arsjad dan Rosan memiliki jejaring pebisnis yang saling terkait, namun tampak berbeda secara politik. 

Misalnya, Rosan yang mendirikan Recapital bersama Sandiaga Uno, sosok yang kini ada di kubu politik berseberangan bersama PPP. Sementara itu, Arsjad juga memiliki riwayat interaksi dengan Erick Thohir, sosok yang disebut terafiliasi ke PAN, parpol pengusung Prabowo. 

Di permukaan, Arsjad boleh jadi tampak unggul karena dapat memanfaatkan posisinya sebagai Ketum KADIN Indonesia untuk merengkuh jejaring dukungan para pebisnis bagi Ganjar. 

Akan tetapi, saat berkaca pada interaksi menarik di antara para pebisnis yang melampaui keberpihakan politik, jejaring dan kemampuan Rosan pun tak bisa dianggap sembarangan. 

Belum lagi saat dilihat dari logika pebisnis yang boleh jadi hanya ingin bisnis mereka berjalan lancar dan semakin menguntungkan, terlepas siapa yang menang nantinya. 

Bisa saja, para pebisnis bermain dua kaki atau lebih. Tinggal yang menjadi misteri adalah kalkulasi dan persentase atau “nilai” sokongan mereka ke setiap aktor di Pilpres 2024. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?