HomeNalar PolitikPolitik WHO Kala Pandemi Corona

Politik WHO Kala Pandemi Corona

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menilai World Health Organization (WHO) memiliki sikap yang Tiongkok-sentris dalam penanganan pandemi Corona (Covid-19). Benarkah WHO berada di bawah bayang-bayang politik? Lantas, bagaimanakah dampaknya pada Indonesia?


PinterPolitik.com

“Affiliated with the hustlers, so we made it” – 2Pac, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Dunia kini bisa jadi tengah menghadapi salah satu ujian terberatnya. Setelah sekitar 70 tahun lebih tak menghadapi krisis besar seperti Perang Dunia II, komunitas internasional kini kembali dihadapkan situasi yang mengkhawatirkan.

Ujian dan cobaan kali ini datang dari virus Corona jenis baru yang menyebabkan penyakit menular Covid-19 merebak di berbagai negara. Covid-19 yang bermula di Tiongkok ini kini tengah menjangkiti hampir seluruh negara di dunia.

Merespons ancaman kesehatan ini, World Health Organization (WHO) akhirnya menetapkan status pandemi global sejak beberapa bulan lalu. Banyak orang juga harus meregang nyawa akibat salah satu pandemi terbesar pada abad ke-21 ini.

Tak sedikit juga negara-negara akhirnya menerapkan beberapa kebijakan yang harus membatasi berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global dapat dipastikan akan melambat akibat pandemi ini.

Namun, terdapat beberapa negara yang dianggap telah berhasil mengontrol virus ini. Salah satunya adalah Tiongkok. Penanganan negara yang menjadi pusat pertama pandemi ini kerap mendapatkan pujian dari WHO.

Kecenderungan WHO untuk memuji Tiongkok sepertinya turut membuat beberapa negara geram. Amerika Serikat (AS) misalnya menganggap lembaga kesehatan internasional itu memiliki kesalahan dalam banyak hal.

Bahkan, Presiden AS Donald Trump menuding WHO memiliki sikap yang terlalu Tiongkok-sentris. Atas kekesalan tersebut, Trump sampai ingin mempertimbangkan untuk menahan pendanaan lembaga tersebut yang berasal dari negeri Paman Sam.

Dugaan ini semakin mencuat dengan keengganan lembaga kesehatan internasional tersebut untuk mengkritik penanganan Covid-19 dari pemerintahan Xi Jinping.

Kekesalan dan ancaman yang dilontarkan Trump ini tentunya menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah benar WHO memiliki pendekatan dan sikap yang Tiongkok-sentris? Lantas, bila benar begitu, bagaimanakah pengaruhnya terhadap Indonesia?

Tekanan untuk WHO?

Dalam sejarahnya, tidak sedikit rezim dan organisasi internasional memiliki kecenderungan untuk dipengaruhi oleh beberapa negara – khususnya negara yang memiliki kekuatan dominan. Bisa jadi, WHO kali ini juga mendapatkan pengaruh serupa dengan tumbuhnya kekuatan Tiongkok di panggung politik dunia.

Rezim internasional sendiri merupakan serangkaian norma, aturan, prinsip, dan prosedur pengambilan keputusan yang diyakini bersama oleh negara-negara dalam suatu area isu. Biasanya, suatu rezim internasional dibangun melalui institusi atau organisasi internasional yang mengatur rangkaian norma tersebut.

WHO misalnya merupakan organisasi internasional dalam rezim kesehatan dunia. Dengan kehadiran WHO, negara-negara dapat menjalankan kerja sama dalam menangani persoalan-persoalan kesehatan.

Meski lembaga ini akhirnya terdengar seperti tempat terwujudnya tujuan kerja sama antarnegara, WHO tak serta merta bisa dianggap sebagai tujuan akhir politik luar negeri bagi beberapa negara.

Dengan menggunakan perspektif realis, Stephen D. Krasner dalam tulisannya yang berjudul Structural Causes and Regime Consequences menjelaskan bahwa rezim internasional tetaplah menjadi instrumen bagi negara-negara untuk mengoptimalkan kepentingan dan kekuatan mereka.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Ancaman yang dilontarkan Trump untuk menahan pendanaan AS untuk WHO misalnya, sebenarnya bisa saja merefleksikan adanya pemanfaatan rezim dan organisasi internasional untuk mengoptimalkan kepentingan dan kekuatan mereka. Bagaimana pun juga, WHO memang bergantung pada pendanaan dari negara-negara anggotanya.

Mungkin, tekanan yang diberikan Trump ini bertujuan agar WHO dapat “mengatur” kembali pilihan-pilihan politik dan kebijakannya. Pasalnya, presiden AS tersebut sempat mengeluh bahwa lembaga tersebut pernah mengkritik beberapa sikap politik dan kebijakan AS.

Rezim internasional dapat menjadi instrumen bagi negara-negara untuk mengoptimalkan kepentingan dan kekuatan mereka. Click To Tweet

AS sendiri merupakan pemberi dana terbesar di lembaga kesehatan dunia itu. Pada tahun 2017, negara yang dipimpin Trump tersebut memberikan kontribusi sebesar US$ 115,4 juta (sekitar Rp 1,56 triliun). Setidaknya, AS telah menyumbangkan 22 persen dari total kontribusi yang WHO dapatkan dari negara-negara anggotanya.

Pendanaan sebesar ini bisa saja memberikan kekuatan struktural (structural power) bagi AS. Mengacu pada pemikiran Susan Strange, kekuatan struktural dapat dipahami sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu negara untuk memengaruhi struktur interaksi melalui aturan-aturan yang dapat memodifikasi opsi-opsi yang dimiliki oleh aktor-aktor lain.

Namun, asumsi ini tentunya menyisakan beberapa pertanyaan kembali. Bila AS memang memiliki pengaruh sebesar itu di WHO, mengapa Trump merasa perlu untuk menuding adanya peran Tiongkok di lembaga tersebut? Mungkinkah pengaruh Tiongkok membayangi WHO?

Bayang-bayang Tiongkok?

AS selama bertahun-tahun memang merupakan negara yang memiliki pengaruh yang besar di panggung politik internasional. Dengan jumlah kontribusi terbesar, bukan tidak mungkin negara tersebut juga memiliki pengaruh yang besar di WHO.

Namun, bukan tidak mungkin juga Tiongkok dapat mendapatkan kekuatan struktural di WHO. Hal ini tentunya tidak serta merta dilakukan melalui kontribusi dana yang disalurkan oleh negeri Tirai Bambu tersebut.

Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi tersebut pada tahun 2017 hanya menempati posisi ketiga terbesar – setelah Jepang – dalam hal pendanaan WHO, yakni sebesar US$ 41,5 juta (sekitar Rp 564 miliar). Angka ini hanya mengambil porsi sekitar 7,9 persen – terpaut jauh dengan kontribusi AS yang mencapai 22 persen.

Lantas, bagaimana caranya Tiongkok dapat memiliki kekuatan struktural di WHO?

Mungkin, jawaban tersebut dapat dijumpai pada Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, ahli mikrobiologi asal Ethiopia yang kini menjabat sebagai Direktur Jenderal WHO. Peneliti penyakit malaria itu disebut-sebut memiliki koneksi yang dekat dengan Tiongkok.

Jejak kedekatan Tedros dengan Tiongkok ini dapat diikuti semenjak masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) Ethiopia pada tahun 2005-2012 dan sebagai Menteri Luar Negeri Ethiopia pada tahun 2012-2016. Kala itu, Dirjen WHO tersebut dianggap telah menjalankan banyak kerja sama dan kedekatan diplomatik dengan Tiongkok.

Selain itu, Tedros juga merupakan figur yang didukung oleh Tiongkok dalam pemilihan Dirjen WHO pada tahun 2017. Dukungan tersebut tetap kuat meski mantan Menkes Ethiopia tersebut dituding melakukan penutupan informasi terkait wabah Kolera di negara asalnya.

Alhasil, boleh jadi, kehadiran Tedros ini memunculkan kekuatan struktural bagi Tiongkok untuk memengaruhi WHO di bawah bayang-bayangnya. Bayangan politik ini juga terlihat dari bagaimana WHO selalu menolak pendaftaran keanggotaan Taiwan.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Bukan tidak mungkin kekuatan struktural di lembaga internasional ini bisa saja dapat membawa dampak pada negara-negara lain yang menjadi anggota. Apakah bayangan politik Tiongkok di WHO ini dapat berdampak ke Indonesia?

Indonesia Juga Dibayangi?

Kekuatan struktural Tiongkok di WHO ini bukan tidak mungkin dapat berdampak pada hubungan negeri Tirai Bambu tersebut dengan negara-negara lainnya. Hal ini terlihat dari pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Tedros.

Keputusan Tedros untuk mendorong mantan Perdana Menteri Zimbabwe Robert Mugabe menjadi Duta Persahabatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) misalnya, dianggap sebagai upaya dari Dirjen WHO tersebut untuk mengakomodasi pemimpin-pemimpin dunia yang memiliki kedekatan dengan Tiongkok. Padahal, Mugabe merupakan sosok kontroversial yang dianggap memiliki rapor merah dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kehadiran Tedros ini bisa berdampak pada penanganan pandemi Covid-19 di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?

Bukan tidak mungkin kehadiran Tedros di WHO akan berdampak pada penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Pasalnya, dengan memiliki kekuatan struktural di lembaga tersebut, Tiongkok bisa membangun tatanan interaksi yang terjadi di antara negara-negara anggota WHO.

Tiongkok sendiri telah lama dianggap berupaya membangun tatanannya sendiri dengan “mengubah” tatanan dunia yang dibangun AS sejak pasca-Perang Dunia II. Dengan tatanan miliknya, negeri Tirai Bambu tersebut dinilai telah “mengekspor” nilai-nilai iliberal ke berbagai belahan dunia.

Pemerintahan Jokowi di Indonesia sendiri disebut-sebut telah membangun hubungan diplomatik yang lebih erat dengan Tiongkok – dengan perdagangan, investasi, dan kerja sama yang diperkuat. Bahkan, negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu dikabarkan menjadi negara yang memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan AS di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.

Bukan tidak mungkin, dengan relasi politik tersebut – seperti Mugabe, WHO akhirnya tidak memiliki sikap yang tegas dan kritis terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Pasalnya, meski banyak pihak menganggap pemerintahan Jokowi masih memiliki banyak kekurangan dalam merespons pandemi, Tedros tidak serta merta memberikan kritik secara langsung – tidak seperti yang dilakukannya pada Trump di AS. Dirjen WHO tersebut malah berterima kasih secara terbuka atas langkah pemerintahan Jokowi melalui cuitannya di Twitter.

Pada intinya, kekuatan struktural Tiongkok yang tersalurkan melalui Tedros di WHO ini bisa jadi turut mengubah struktur interaksi yang terjadi dalam lembaga tersebut. Dengan begitu, cara-cara iliberal – seperti menutupi informasi – yang dilakukan negara lain bisa saja tertinggal tak terkoreksi oleh WHO.

Namun, tentunya, segala penjelasan di atas tadi belum bisa dipastikan benar terjadi. Hal yang jelas adalah lembaga internasional – seperti WHO – dapat menjadi wadah pertarungan politik antarnegara. Menarik untuk diikuti kelanjutannya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

More Stories

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?