HomeNalar PolitikLuhut dan Djamester: Kekuasaan Taklukkan Cendikiawan?

Luhut dan Djamester: Kekuasaan Taklukkan Cendikiawan?

Akademisi Universitas Indonesia, Dr. Djamester Simarmata menunaikan kontribusi moralnya saat terlibat diskusi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait keuangan dan perekonomian negara. Namun di sisi lain, output dari diskusi ini dinilai cenderung normatif dan tersimpulkan bahwa sekali lagi kekuasaan dapat meredam kritik. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Pertarungan intelektual antara mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan boleh saja tertunda.  Di hari yang diagendakan, nyatanya Luhut “berdiskusi” dengan penerima tantangan pengkritiknya yaitu akademisi sekaligus dosen senior dari Fakultas Ekonomi dan Bisnins (FEB) Universitas Indonesia (UI), Dr. Djamester Simarmata.

Luhut sendiri menyatakan bahwa dalam pertemuan itu ia berdebat keras dengan Djamester. Hal ini sedikit menimbulkan pertanyaan dikarenakan pertemuan antara dua tokoh senior itu bersifat tertutup. Selain itu, tak ada ihwal konkret mengenai hasil dari diskusi atau debat tersebut yang mengemuka selain sanjungan sang Menko Marves kepada Djamester.

Apalagi, tangkapan kamera dari “adegan” diskusi yang tak memenuhi protokol kesehatan saat pandemi itu juga kemudian menjadi konten instagram Luhut yang dinilai memberikan penafsiran minor terhadap konteks dan tujuan konkret yang diharapkan. Cerita ini mungkin agaknya akan lain ketika yang hadir kemarin ialah Rizal Ramli dan debat berlangsung terbuka.

Selain dari sisi Luhut Pandjaitan, Djamester juga tampaknya pantas mendapatkan sorotan tersendiri. Djamester enggan menguraikan detail pokok diskusi yang  berkaitan dengan kebijakan utang pemerintah tersebut. Ia hanya memberi bocoran bahwa simpulan diskusi adalah kedua belah pihak sepakat untuk memajukan Indonesia.

Tak ayal, gegap gempita antusias dan ekspektasi publik di awal mengenai tantangan debat Luhut dan kemudian diterima oleh seorang akademisi ulung yang diharapkan akan berbuah gagasan perubahan seketika menjadi sirna.

Tak salah memang jika sikap kedua belah pihak setelah berlangungnya diskusi seolah justru sangat mengedepankan keintiman. Namun sifat tertutup hasil diskusi yang serupa dengan sifat diskusi itu sendiri agaknya menjadi kontraproduktif dengan harapan publik serta pokok persoalan yang tengah dihadapi.

Dengan tendensi tersebut, lantas apakah justru terdapat lobi kepentingan tertentu di balik pertemuan Djamester dan Luhut tersebut?

Realita Klasik?

Ketika merefleksikan sejarah, hubungan antara kekuasaan dengan ranah saintifik dalam hal ini akademisi dan cendekiawan tidak dapat dipisahkan. Tidak hanya “simbiosis mutualisme”, tak sedikit dari cendikiawan yang pada akhirnya melebur di barisan pemerintah atau penguasa.

Secara mendasar, hubungan dari dua domain berbeda tersebut dijelaskan oleh Thomas Mahnken dalam Bridging the Gap Between the Worlds of Ideas and Action sebagai hal yang terjembatani oleh suatu tujuan dan kepentingan. Implementasi pekerjaan teoritis akademisi atau cendikiawan yang relevan dengan kebijakan dapat membuatnya menjadi lebih bermanfaat, sementara pemerintah dapat memperluas inisiatif untuk pengembangan aspek penunjang bagi akademisi.

Namun demikian Marco Nase dalam disertasi doktoralnya yang berjudul Academics and Politics, menyatakan bahwa ketika hubungan antara kekuasaan dan akademisi atau cendikiawan terwujud, kepentingan aktor politik dalam kekuasaan dan kepentingan akademisi acapkali menyimpang, dengan kepentingan pihak politik menjadi dominan.

Sintesa dari apa yang disampaikan Mahnken dan Nase bahkan secara relevan telah terjadi ketika filsuf besar Jerman Martin Heidegger secara ironis memiliki kecenderungan proksimitas dengan Nazi. Sebuah hal yang bertolak belakang dengan ide-ide dan karya filsafatnya.

Setelah diusut kemudian terkuak dan bermuara pada kepentingan Heidegger sendiri yang “takluk” demi sebuah posisi prestisius dalam dunia akademik yang diperoleh dengan memanfaatkan proksimitas dengan pihak fasis.

Hal tersebut juga dinilai relevan dan tak berlebihan sebagai indikasi dari konklusi debat atau diskusi rasa “konsolidasi” antara Luhut dan Djamester kemarin. Kuatnya indikasi tentu memiliki alasan kuat ketika nuansa konstruktif dan akan sengitnya pertemuan dua tokoh tersebut di awal, berakhir anti klimaks.

Selain konteks utama serta hasil diskusi yang dirahasiakan oleh kedua belah pihak, sikap personal dua sosok senior ini dinilai mencerminkan hasil dari sebuah kompromi khusus untuk tujuan tertentu pula.

Apalagi ketika tema besar yang dibawa Luhut ialah menantang para pengkritik, membuat latar belakang Djamester sebagai akademisi mumpuni sedikit banyak dipertaruhkan di hadapan penilaian publik.

Tentu pertanyaan mengenai apakah Luhut berhasil meredam kritik dan gejolak sosial yang terjadi akibat berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif, dengan merangkul akademisi sekaliber Djamester hanya dapat diketahui segelintir pihak.

Namun dengan realita, kecenderungan, dan refleksi historis dari Heidegger sebelumnya, agaknya cukup sebagai pijakan logis dan empiris tentang arah dan kepentingan diskusi pertemuan Luhut dan Djamester tersebut.

Lalu, siapakah pihak yang paling dikecewakan dan dirugikan dari ekspektasi hasil diskursus antara tokoh akademis dan pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah, tersebut?

Rakyat Kecewa, Bung!

Publik tentu kecewa dengan hasil pertemuan Luhut dan Djamester ketika mereka sepertinya sangat menanti sebuah gelanggang baru dalam politik dan pemerintahan tanah air ketika sang Jenderal membuka tantangan debat terbuka terkait salah satu kebijakan pemerintah.

Hal ini dinilai terkait erat dengan tren komunikasi politik antara penguasa dengan publik serta para kritikus yang hanya sebatas konfrontasi daring tanpa output konkret dan kian membosankan.

Ralph Clare dalam The Politics of Boredom and The Boredom of Politics mengatakan, repetisi dari informasi, komunikasi politik, plus konteks permasalahan rakyat yang tak terselesaikan selalu bermuara pada kejenuhan publik.

Kutipan dari tulisan Clare tersebut tepat ketika ekspektasi publik terhadap tantangan Luhut yang digadang-gadang menjadi debat seru yang konstruktif, juga menjadi alternatif serta platform baru dari komunikasi politik yang selama ini semakin menjenuhkan dengan berulangnya interaksi lempar sindiran via wartawan atau sebatas menguap di beranda linimasa.

Hal itu seakan juga menambah kejenuhan yang ditimbulkan dari masih terbatasnya aktivitas sebagian masyarakat di tengah pandemi saat ini. Kombinasi repetisi itu seolah tak berguna sama sekali secara nyata ketika tidak ada artikulasi konstruktif dari pihak-pihak yang seharusnya bisa menyerap aspirasi terbaik bagi kemaslahatan bersama.

Matthew Yglesias dalam People are Angry, but About Politics, not the Economy menyatakan bahwa kejenuhan publik atas komunikasi politik dapat bertransformasi menjadi rasa frustasi ketika tak ada satupun dari konteks persoalan yang dikemukakan bermuara pada upaya penyelesaian yang nyata.

Apa yang disampaikan oleh Clare dan Yglesias sebelumnya dinilai cukup tepat untuk menjadi basis interpretasi bahwa kejenuhan dan kefrustasian publik Indonesia atas komunikasi politik yang ada, di sisi lain dapat bermuara pada sebuah terjemahan tersendiri.

Terjemahan itu ialah terkait harapan terpendam rakyat yang di masa pandemi Covid-19 ini sudah sangat lelah dengan intrik tak berkesudahan antara pemangku kebijakan dengan para kritikus yang bahkan adalah rakyat itu sendiri.

Sebuah harapan tentu mengemuka, yakni solusi konkret bagi setiap permasalahan yang terkait erat dengan hajat hidup dan kesejahteraan rakyat yang semakin terhimpit berdesakan dengan berbagai kepentingan politik saat ini.

Tentu, apapun bentuk komunikasi politik yang telah dan akan menjadi arena bagi para pihak yang  berwenang, nantinya akan dapat segera diterjemahkan kepada berbagai kebijakan konkret dan dirasakan kemanfaatannya oleh setiap rakyat tanpa terkecuali di seluruh pelosok negeri. Tentu itulah harapan kita bersama. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?