HomeNalar PolitikInikah Era Kematian Organisasi Internasional? 

Inikah Era Kematian Organisasi Internasional? 

Kecil Besar

Mencuatnya konflik-konflik serius di dunia dalam beberapa tahun terakhir semakin memancing pertanyaan tentang keefektivan dari organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB). Mungkinkah ini jadi pertanda dari era “kematian” organisasi internasional? 


PinterPolitik.com 

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB), António Guterres, baru saja mencetak catatan sejarah. Pada 6 Desember lalu, untuk pertama kalinya sejak menjabat pada tahun 2017, Guterres mengaktifkan Artikel 99 dari Piagam PBB.  

Artikel 99 ini membolehkan Sekjen PBB “memaksa” Dewan Keamanan (DK) PBB untuk membicarakan solusi atas isu yang sudah dianggap dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Ini artinya, seluruh anggota DK PBB, harus membicarakan percepatan gencatan senjata di Gaza meskipun ada di antara mereka yang tidak ingin. 

Kendati demikian, Artikel 99 tidak bisa membuat para anggota DK PBB menghasilkan keputusan yang konkret karena pada akhirnya keputusan untuk memaksa gencatan senjata di Gaza akan kembali kepada keinginan dari masing-masing negara anggota. Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa kegusaran Guterres yang berujung pada penggunaan Artikel 99 ini sebetulnya adalah sesuatu yang bisa dikatakan relatif sia-sia. 

Menariknya, fenomena ini menjadi tambahan dari tumpukan kasus di mana organisasi internasional seperti PBB tidak mampu menyelesaikan suatu masalah yang memerlukan kehadiran mereka. Sebelum Perang Israel-Palestina mencuat, kritik terhadap PBB yang “impoten” juga muncul dalam perdebatan soal Perang Rusia-Ukraina, Perang Suriah, hingga Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003. 

Tidak hanya PBB, ketidakefektivan peran organisasi internasional sebagai pemberi solusi juga muncul di organisasi-organisasi lain. Yang terdekat dari kita, contohnya adalah Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). ASEAN kerap dapat kritik dari domestik maupun luar negeri atas ketidakmampuan mereka memberi solusi untuk masalah-masalah serius seperti konflik di Myanmar dan Krisis Rohingya. 

Baca juga :  Hasto Will be Free?

Atas kenyataan-kenyataan ini, mulai menguat juga kritik atas keberadaan para organisasi internasional itu sendiri. Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, apakah ini sebetulnya adalah pertanda dari awal era kematian organisasi-organisasi internasional? 

Dunia Sedang Disadarkan soal Individualitas? 

Lumpuhnya organisasi internasional sebetulnya sudah diperingatkan oleh ilmuwan politik kondang AS, John Mearsheimer, dalam tulisannya The False Promise of International Institutions. Dalam tulisan ini, Mearsheimer menolak gagasan bahwa lembaga internasional dapat mempromosikan perdamaian dunia dan mengklaim bahwa politik keseimbangan kekuasaan adalah cara yang lebih efektif untuk memelihara perdamaian dunia. 

Mearsheimer menilai bahwa lembaga internasional seperti PBB dan ASEAN tidak akan dapat mengatasi kepentingan nasional negara-negara anggota mereka. Negara-negara anggota di organisasi internasional tersebut selalu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan seringkali bertentangan satu sama lain. 

Dan memang, kalau kita perhatikan, ketika dunia dihadapi tantangan yang serius, seperti ketika pandemi Covid-19 ketika masing-masing negara mementingkan keamanan masing-masing, stabilitas ekonomi yang tadinya mengandalkan multilateralisme menjadi berantakan.  

Tidak berhenti dari segi ekonomi, pada tahun 2022 negara di seluruh dunia juga disadarkan oleh nyatanya ancaman perang akibat invasi Rusia ke Ukraina. Dari situ, anggaran pertahanan seluruh negara otomatis meningkat dan negara-negara di dunia semakin terpojok untuk menegaskan posisi politik mereka. Hal ini seakan mewujudkan kembali keadaan dunia ala Perang Dingin di mana konstelasi politik sangat terpolarisasi. 

Di dalam studi hubungan internasional, fenomena seperti ini diberi istilah “deglobalisasi”. Markus Kornprobst, dkk, dalam bukunya Theorizing World Orders: Cognitive Evolution and Beyond, menjelaskan bahwa deglobalisasi adalah sebuah gerakan untuk mewujudkan dunia yang kurang bergantung satu sama lain dengan memunculkan kembali urgensi insting “bertahan” dari negara-negara di seluruh dunia.  

Baca juga :  Prabowo's Revolusi Hijau 2.0?

Indikator deglobalisasi ini di antaranya dicirikan oleh munculnya kembali kepemimpinan terpolarisasi dari negara-negara kuat(seperti AS dan Tiongkok), melemahnya institusi internasional, dan hilangnya jaminan investasi serta kerja sama dalam ekonomi internasional. Kalau kita perhatikan, poin-poin yang disampaikan ini cukup relevan dengan apa yang sedang terjadi sekarang.  

Atas dasar itu, penting kemudian untuk kita pertanyakan: akan seperti apa keadaan politik internasional bila nantinya semua negara di dunia mengabaikan pentingnya keberadaan politik internasional? 

Kembali ke Era Sebelum Multilateralisme? 

Untuk meramalkan masa depan politik internasional, kita dapat merenungkan argumen keseimbangan kekuasaan yang diutarakan oleh Mearsheimer, yang disinggung dalam tulisan ini. 

Sebelum organisasi multilateral seperti PBB muncul, dunia, kendati secara relatif, berhasil menjaga keseimbangan kekuasaan selama ribuan tahun melalui sistem polarisasi. Hal ini karena di dalam upaya mencapai keseimbangan, negara-negara mungkin lebih memilih untuk menjalin aliansi bilateral atau regional yang lebih fleksibel daripada terlibat dalam kerangka multilateral yang mungkin memerlukan kompromi yang sulit. 

Ketidakpastian geopolitik dan perubahan dinamika kekuatan global telah merusak tingkat kepercayaan terhadap multilateralisme. Oleh karena itu, bila kita melandaskan pandangan kita pada teori realisme, di mana keselamatan negara menjadi nilai yang terpenting, negara-negara di masa depan bisa saja cenderung lebih memprioritaskan hubungan bilateral yang lebih adaptif demi mengurangi ketergantungan pada struktur multilateral yang dianggap kurang responsif terhadap dinamika global saat ini. 

Dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan ini, akan menarik untuk melihat apakah kecenderungan ini akan berlanjut ataukah mungkin ada “evolusi” baru dalam tata kelola politik internasional. Tentu, hanya waktu yang akan memberikan jawaban atas dinamika kompleks ini, yang jelas, eksistensi organisasi internasional seperti PBB dan ASEAN akan semakin dipertanyakan setiap waktunya. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

Korban Melebihi Populasi Yogya, Rusia Bertahan? 

Perang di Ukraina membuat Rusia kehilangan banyak sumber dayanya, menariknya, mereka masih bisa produksi kekuatan militer yang relatif bisa dibilang setimpal dengan sebelum perang terjadi. Mengapa demikian? 

More Stories

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Korban Melebihi Populasi Yogya, Rusia Bertahan? 

Perang di Ukraina membuat Rusia kehilangan banyak sumber dayanya, menariknya, mereka masih bisa produksi kekuatan militer yang relatif bisa dibilang setimpal dengan sebelum perang terjadi. Mengapa demikian? 

Rusia dan Bayang-Bayang “Rumah Bersama Eropa”

Di masa lampau, Rusia pernah hampir jadi pemimpin "de facto" Eropa. Masih mungkinkah hal ini terjadi?