HomeHeadlineIni Siasat PDIP Kunci Pileg 2024?

Ini Siasat PDIP Kunci Pileg 2024?

PDIP mendukung Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 menerapkan sistem proporsional tertutup. Apakah ini siasat PDIP untuk mengunci kemenangan di Pileg 2024?


PinterPolitik.com

“Never trust to general impressions, my boy, but concentrate yourself upon details.” – Sherlock Holmes

Perdebatan soal sistem proporsional tertutup mencuat setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menyebutnya mungkin saja diterapkan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. “Kalau KPU ditanya, lebih pilih proporsional tertutup karena surat suaranya cuma satu dan berlaku di semua dapil, itu di antaranya,” ungkap Asy’ari pada 14 Oktober 2022.

Sedikit konteks, berbeda dengan sistem proporsional terbuka, pada proporsional tertutup yang dicoblos hanyalah partai politik. Nantinya, partai politik yang memenuhi ambang batas suara yang akan memilih siapa kadernya yang didudukkan di DPR. 

Terlepas dari perdebatan yang ada, terdapat satu pertanyaan menarik yang patut diajukan. Jika melihat respons partai politik, PDIP menjadi partai yang terang-terangan mendukung sistem proporsional tertutup.

Konteks dukungan PDIP ini menarik. Sebagai partai yang mencitrakan dirinya sebagai antitesis Orde Baru (Orba), kenapa PDIP malah mendukung sistem pemilu yang diterapkan pada era Soeharto itu?

Siapa yang Untung?

Sebagai titik tolak, kita dapat melihat kutipan pernyataan detektif fiksi Sherlock Holmes di awal tulisan. Jangan terpengaruh pada impresi umum temanku, melainkan lihatlah detail-detail yang luput dari perhatian. 

Kita bisa menafsirkannya begini. Jangan hanyut pada perdebatan umum yang terhamparkan, melainkan lihatlah pada siapa yang paling diuntungkan jika sistem proporsional tertutup diterapkan.

Dalil atas tafsiran itu dapat kita ambil dari dua pijakan teoretis. Pertama adalah konsep “motif”. Dalam studi hukum dan kriminologi, pencarian motif menjadi aspek penting karena merupakan alasan di balik terjadinya tindak kejahatan. Dalam penjelasan umum, motif didefinisikan sebagai keinginan yang mendorong tindakan.

Pijakan kedua adalah konsep dramaturgi dari sosiolog Erving Goffman. Menurut Goffman, sekelumit aktivitas sosial, termasuk politik, berjalan layaknya pertunjukan drama atau teater. Terdapat panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage). 

Sama seperti di teater, panggung belakang adalah skrip atau skenario yang telah disetujui. Sementara, panggung depan adalah pertunjukan yang memang sengaja disuguhkan untuk menghibur penonton. Dalam politik, panggung depan-panggung belakang ini merupakan aktivitas harian.

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?
pileg 2024 kembali ke orde baru ed.

Pada konteks dukungan PDIP, kita tidak boleh terbuai dengan penjelasan terbuka yang diberikan. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, sistem proporsional tertutup didukung karena dinilai dapat mengurangi kecurangan dan biaya pemilu.

Mengacu pada dalil dramaturgi, pernyataan terbuka itu adalah panggung depan. Panggung belakangnya adalah motif yang menggerakkan dukungan tersebut. 

Sekarang, kita masuk pada jantung pembahasan. Kenapa PDIP mendukung sistem proporsional tertutup di Pileg 2024? Bukankah sistem itu diterapkan di era Soeharto? Bukankah antitesis terhadap Orde Baru merupakan branding PDIP?

Mengutip penjelasan Radu Dandu dalam What Is Branding and Why Is It Important for Your Business?, branding tidak hanya bertujuan untuk membuat konsumen mengingat produk, melainkan juga untuk meletakkan harapan pada produk tersebut. 

Sebagai contoh, branding Volvo adalah mobil paling aman di dunia. Branding itu membuat konsumen mengharapkan keselamatan jika membeli mobil Volvo. Branding adalah cara untuk membedakan diri dari pesaing dan sebagai penegas kenapa kita adalah pilihan yang lebih baik.

Pada kasus PDIP, dengan mendukung sistem proporsional tertutup, kenapa mereka mempertaruhkan branding-nya? Tentunya, sebagai trade-off atau ganti rugi, mestilah terdapat motif kuat yang mendorong langkah tersebut.

Mengumpulkan dan menganalisis berbagai variabel, jawaban atas itu tampaknya dapat ditarik dari ambisi PDIP untuk hattrick di Pileg 2024. Ambisi itu bahkan tertuang dalam politik simbol. Pada September 2022, Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri berharap PDIP tetap menggunakan nomor urut 3 di Pileg 2024. 

Bak gayung bersambut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 yang memungkinkan partai politik yang lolos parlemen pada Pileg 2019 untuk menggunakan nomor urut sebelumnya.

nomor tiga pdip hattrick ed.

Siasat PDIP? 

Pada praktiknya, sistem proporsional tertutup lebih memberi keuntungan pada partai besar. Simpulan itu dapat ditarik pada hasil survei elektabilitas partai politik. Dalam berbagai rilis survei, partai besar selalu bertengger sebagai peraih elektabilitas tertinggi.

Survei Charta Politika pada 4-12 November 2022, misalnya, menunjukkan posisi tiga besar diisi oleh PDIP (21,7%), Gerindra (14,5%), dan Golkar (9,8%). Terdapat pertanyaan umum dan mendasar yang dapat ditarik dari rilis tersebut. Dengan banyaknya kader PDIP yang terjerat kasus korupsi, kenapa elektabilitasnya begitu tinggi?

Baca juga :  The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Kita dapat melihat kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menjerat eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara. Kader PDIP itu bahkan dinilai layak dihukum mati karena melakukan korupsi ketika kondisi negara darurat akibat pandemi Covid-19.

Alasan tingginya elektabilitas PDIP dan partai besar meskipun kadernya terjerat rasuah adalah karena mereka merupakan partai yang paling dikenal publik. Ini adalah tendensi psikologi mendasar yang disebut dengan availability bias atau bias ketersediaan.

Mengutip penjelasan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, bias ketersediaan membuat kita cenderung mengingat fenomena berdasarkan informasi yang paling sering dan mudah kita temukan.

Partai besar seperti PDIP tidak hanya diuntungkan karena popularitasnya, melainkan juga karena kadernya yang lebih banyak dari partai lainnya. Para kader itu akan mempromosikan PDIP, partai mereka.

Ketika survei dilakukan, pertanyaan yang diajukan adalah, “Jika pemilu dilakukan hari ini, partai apa yang akan dipilih?” Pada kasus itu, responden akan cenderung memilih partai yang paling dikenal atau diingatnya karena belum memiliki referensi calon anggota legislatif (caleg).

Kasusnya akan berbeda jika survei dilakukan setelah daftar caleg sudah ada. Responden mestilah memilih partai yang mengusung caleg dukungannya. Ihwal ini menjawab kenapa partai tengah seperti PAN kerap diprediksi tidak lolos parlemen.

Survei Charta Politika pada 19-25 Maret 2019, misalnya, menunjukkan bahwa PAN hanya mengantongi 3,3% suara. Namun, seperti yang kita lihat, pada Pileg 2019 PAN memperoleh 6,84% suara atau 9.572.623. Atas hasil itu, PAN mendapatkan 44 kursi di Senayan.

Nah, di titik ini, sekiranya kita sudah bisa melihat benang merahnya. Motif yang membuat PDIP merelakan branding-nya – hingga mendukung sistem proporsional tertutup di Pileg 2024 – adalah mereka yang berpotensi kuat paling diuntungkan.

Sebagai partai yang begitu populer dan memiliki kader yang melimpah, sistem proporsional tertutup membuat PDIP memiliki potensi keterpilihan yang lebih besar dari partai lainnya. PDIP tengah memanfaatkan tendensi psikologi manusia, yakni bias ketersediaan. 

Well, sebagai penutup, tentu perlu dipertegas bahwa tulisan ini hanyalah interpretasi semata. Mengutip Sherlock Holmes, interpretasi dalam artikel ini adalah deduksi yang ditarik berdasarkan variabel-variabel politik yang tertangkap. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...