HomeNalar PolitikCuci Darah, Prabowo Tembak Jokowicare

Cuci Darah, Prabowo Tembak Jokowicare

Kritik Prabowo tentang selang cuci darah yang dipakai oleh 40 pasien menjadi perbincangan panas di awal tahun 2019 ini. Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra itu, yang jelas Prabowo membawa persoalan program-program kesehatan di era Jokowi – mungkin bisa disebut sebagai Jokowicare – kembali ke permukaan. Faktanya, program-program tersebut memang tidak memperhitungkan semua aspek terkait kesejahteraan dokter dan tenaga medis, serta cenderung menjadi bagian lain dari strategi populisme petahana.


PinterPolitik.com

“The public is the only critic whose opinion is worth anything at all.”

:: Mark Twain (1835-1910) ::

[dropcap]P[/dropcap]ernyataan Prabowo Subianto tentang penggunaan fasilitas cuci darah seperti selang dan kelengkapan plastik lainnya beberapa waktu lalu masih menjadi perdebatan panas. Pasalnya, sang jenderal menyebutkan secara spesifik bahwa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) – yang adalah rumah sakit milik pemerintah – fasilitas cuci darah berupa selang sampai harus dipakai hingga 40 orang.

Menurut Prabowo, hal tersebut tentu saja berbahaya karena membuat penyakit dengan mudah menular melalui fasilitas tersebut.

Sontak pernyataan tersebut menjadi bulan-bulanan buzzer dan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Umumnya mereka mempertanyakan sumber data yang dipakai oleh Prabowo.

Prabowo tentu saja bisa memenangkan pengaruh yang lebih besar dengan menggunakan isu ini sebagai bagian dari serangan dalam debat Pilpres. Yang harus dilakukan adalah memperkuat data-datanya. Click To Tweet

Bahkan, beberapa pihak menyebut bahwa kasus ini serupa dengan yang terjadi pada persoalan hoaks yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet. Prabowo dianggap tidak mengecek sumber informasi yang ia terima sebelum menyampaikannya ke publik.

Walaupun dalam pidatonya itu Prabowo tidak secara spesifik menyebutkan kata “selang” dan justru menggunakan istilah “saluran-saluran dari plastik, dari karet, dari alat-alat” – yang kemudian didefinisikan oleh banyak orang sebagai selang – namun sang jenderal tetap diserang karena dianggap mengeluarkan pernyataan tersebut tanpa bukti yang jelas.

Pihak RSCM pun telah mengeluarkan bantahan dan menyebutkan bahwa sejak 2012, pihaknya sudah menetapkan kebijakan single use atau satu selang cuci darah untuk satu pasien. Artinya, kejadian yang seperti dituduhkan oleh Prabowo diklaim tidak benar.

Terlepas dari akurat atau tidaknya data yang disampaikan Prabowo, yang jelas ada persoalan besar yang sedang diangkat ke permukaan, yaitu terkait pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Hal tersebut disinggung oleh pasangannya, Sandiaga Uno, yang menyebutkan bahwa esensi perkataan Prabowo dalam konteks selang cuci darah itu adalah tentang defisit anggaran di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang pada akhirnya memaksa rumah sakit melakukan penghematan, termasuk – jika benar – dengan menggunakan selang cuci darah secara berkali-kali.

Persoalannya, dengan kondisi politik yang cenderung diwarnai dengan hoaks dan kebencian seperti sekarang ini, intisari pernyataan Prabowo tersebut menjadi kabur dan yang dipersoalkan hanyalah tentang akurasi datanya semata.

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?

Padahal, ada masalah yang cukup serius dalam bagian dari program jaminan sosial yang mungkin bisa disebut sebagai “Jokowicare” ini – jika ingin memiripkannya dengan Obamacare di Amerika Serikat (AS). Pertanyaannya adalah akankah konsen isu ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Prabowo dan Sandi? Atau mereka justru terjebak dalam perkataannya sendiri?

Serangan Jitu Prabowo

Persoalan tentang selang cuci darah ini sebetulnya menjadi narasi yang telah dikemukakan beberapa waktu terakhir, terutama dalam kaitan dengan defisit anggaran yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Pada tahun 2017 lalu, jumlah defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,75 triliun atau melampaui target defisit yang dipatok sebesar Rp 9 triliun.

Lebih lanjut, seperti dikutip dari CNN, klaim tentang fenomena satu selang untuk 40 orang ini – atau yang sejenisnya – sebetulnya pernah disampaikan oleh adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.

Pengusaha yang juga menjabat sebagai Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu menyebutkan defisit anggaran BPJS Kesehatan memang memaksa sejumlah rumah sakit – utamanya milik pemerintah – untuk mengurangi kualitas layanannya kepada pasien.

Layanan cuci darah merupakan salah satu yang terdampak. Hashim mengklaim dirinya mendapatkan laporan dari sekitar 6 dokter bahwa rumah sakit sampai harus “berhemat” demi tetap bisa memberikan layanan fasilitas BPJS Kesehatan.

Beberapa cara “penghematan” tersebut misalnya memakai selang cuci ginjal berulang kali oleh beberapa orang, menggunakan alat kesehatan kualitas rendah yang bukan orisinal, dan lain sebagainya. Hashim juga menyebutkan bahwa pembayaran BPJS Kesehatan kepada rumah sakit menunggak selama enam bulan, sehingga membuat pemberian gaji kepada dokter menunggak hingga tiga bulan.

Cuci Darah, Bukti Kegagalan Jokowicare

Dalam konteks tersebut, memang pernyataan Prabowo tentang selang untuk 40 pasien itu bisa dianggap cukup hiperbolik atau berlebihan, terutama jika fakta yang terjadi tidak demikian.

Diskursus yang dibangun oleh kubu Jokowi adalah mendiskreditkan pernyataan Prabowo itu dengan menyebutkan bahwa harga fasilitas cuci darah tersebut – terutama selang – tidaklah mahal. Hasil penelusuran di Pasar Pramuka, Jakarta Timur misalnya, memang menyebutkan bahwa harga selang alat pencuci darah bahkan hanya berkisar antara Rp 7 ribu rupiah sampai beberapa belas ribu rupiah. Sangat terjangkaunya selang cuci darah itu membuat konteks penghematan – pada titik ini – menjadi tidak masuk akal.

Lain halnya kalau yang dipersoalkan adalah mesin hemodialisis atau mesin yang bertanggungjawab untuk proses cuci darah. Harga mesin tersebut berkisar antara US$ 5 ribu sampai US$ 30 ribu (sekitar Rp 71 juta sampai Rp 426 juta) di situs belanja Alibaba. Namun, mesin ini bisa dipakai beberapa pasien secara berulang-ulang.

Hal yang mungkin dimaksudkan oleh Prabowo adalah komponen yang disebut sebagai dialiser atau ginjal buatan. Tabung tersebut dihargai mulai dari sekitar Rp 180 ribu di situs belanja Tokopedia. Sementara, kubu Gerindra mengklaim harganya mulai dari Rp 260 ribu ke atas. Sama seperti selang, dialiser memang harus digunakan satu untuk setiap pasien. Sehingga, sangat mungkin komponen inilah sebenarnya yang ingin digunakan oleh Prabowo sebagai sasaran kritiknya.

Baca juga :  Open House Terakhir Jokowi…

Pasalnya, jika menggunakan hitung-hitungan harga fasilitas cuci darah yang biayanya mulai dari Rp 1 juta, maka komponen-komponen yang sekali dipakai oleh satu pasien itu harganya telah mencapai 25 persen dari total keseluruhan biaya. Konteks tersebut tentu akan membebankan rumah sakit jika pasien cuci darah menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan, yang artinya keseluruhan biaya layanan tersebut digratiskan.

Sebagai catatan, butuh sekitar 40 orang peserta JKN kelas III yang sehat – yang iurannya sekitar Rp 25 ribu per bulan per orang – untuk membayar satu kali biaya cuci darah pasien JKN. Bayangkan betapa membebankannya fasilitas tersebut, apalagi jika orang-orang yang sehat juga menunggak pembayaran iurannya. Oleh karena itu, memang masuk akal strategi Prabowo menggunakan persoalan cuci darah ini untuk “menembak” isu pengelolaan BPJS Kesehatan.

Selain itu, isu kesehatan memang menjadi salah satu topik yang krusial dalam sebuah kontestasi elektoral. Analis politik AS, Frank Newport menyebutkan bahwa isu tunjangan kesehatan memang sering menjadi topik krusial di samping ekonomi.

Masalahnya, kubu petahana terlihat sangat siap menghadapi kritik tersebut, bahkan mampu menyerang balik dan menyudutkan Prabowo.

Menembak Titik Lemah Jokowi

Bagi beberapa pihak, model kampanye Prabowo memang cenderung hiperbolik, yang sering ditampilkan tanpa data yang akurat, namun bisa efektif untuk membentuk persepsi publik.

Jika ditarik ke belakang, fenomena kampanye hiperbolik ini pernah terjadi pada Pilpres AS tahun 2012 lalu. The Washington Post menyebut kampanye politik di tahun itu adalah yang paling hiperbolik, dan digunakan juga oleh Barack Obama yang kemudian berhasil memenangkan kontestasi.

Sementara pada Pilpres AS 2016 lalu, Donald Trump juga menggunakan strategi serupa. Gary Nunn dalam ulasannya di The Guardian menyebut bahasa politik dalam kampanye Trump memang cenderung menggunakan hal-hal yang hiperbolik sebagai upaya untuk menarik perhatian pemilih, misalnya dalam isu imigrasi.

Dalam konteks Prabowo, strategi kampanye hiperbolik ini bisa sangat efektif jika mampu dikemas dengan baik. Strategi yang digunakan Prabowo sebetulnya sudah sangat tepat. Ketimbang secara langsung mengritik BPJS Kesehatan yang dianggap bermasalah, Prabowo menembaknya lewat persoalan selang cuci darah yang tentu saja berdampak pada kegaduhan – pada saat yang sama juga mengundang atensi publik yang lebih besar.

Lebih lanjut, Prabowo tentu saja bisa memenangkan pengaruh yang lebih besar dengan menggunakan isu ini sebagai bagian dari serangan dalam debat Pilpres. Bagaimanapun juga, Jokowicare adalah program populis yang tidak memperhitungkan banyak aspek, sehingga bisa menjadi titik lemah petahana.

Pada akhirnya, tantangan terberat kubu Prabowo adalah mengalahkan serangan buzzer dan tim pendukung Jokowi. Sebab, seperti kata Mark Twain di awal tulisan, opini publik adalah hal yang sangat berharga, apalagi dalam kontestasi politik sekelas Pilpres. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.