HomeNalar PolitikCendana, Kumbo, dan Ijtima Ulama

Cendana, Kumbo, dan Ijtima Ulama

Spekulasi keterlibatan Keluarga Cendana di Ijtima Ulama IV menyeruak. Hal ini terjadi karena lokasi acara yang tak lain adalah milik salah satu anggota keluarga tersebut.


Pinterpolitik.com

Layaknya seri film ternama, ijtima ulama kini telah memiliki sekuel keempat. Pertemuan para tokoh berlatar agama ini akan kembali dihelat untuk membahas beragam isu pasca Pilpres 2019. Berbagai tokoh dari Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama masih menjadi peserta utama dari gelaran tersebut.

Salah satu spekulasi yang mengemuka dari acara tersebut adalah soal sikap mereka tentang wacana rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meski begitu, para penyelenggara sempat membantah ijtima akan membahas manuver Prabowo yang sempat mereka junjung tinggi pada Pilpres 2019.

Ada satu hal menarik dari penyelenggaraan pertemuan para tokoh dari berbagai ormas Islam tersebut. Tempat penyelenggaraan acara ini adalah Hotel Lor In Sentul milik Tommy Soeharto. Hal tersebut membuat spekulasi tentang keterlibatan bos Humpuss Group dalam Ijtima mulai bergulir.

Dalam konteks tersebut, posisi Tommy dalam menanggapi kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo menjadi sesuatu yang dipertanyakan. Apalagi, ia menjadi tuan rumah bagi kelompok yang bereaksi paling keras menentang kemesraan Prabowo dan Jokowi.

Tak hanya Tommy, sikap dari keluarga Soeharto secara keseluruhan terkait wacana itu juga penting untuk diketahui. Lalu, seperti apa posisi keluarga Cendana?

Belum Tampak di Rekonsiliasi

Wacana untuk membuat Jokowi dan Prabowo hidup berdampingan dalam tajuk kumpul kebo politik memang terus dibicarakan selama beberapa waktu terakhir. Selama waktu-waktu tersebut tak sedikit pihak yang bereaksi negatif dan menolak wacana tersebut.

Di antara berbagai simpul kekuatan ekonomi-politik dalam negeri, posisi keluarga Cendana hingga saat ini terhadap wacana ini tergolong masih samar.

Padahal, keluarga ini dapat memegang peranan dalam berbagai kondisi terkait dengan wacana tersebut. Hingga saat ini, yang nampak justru mereka tak terlibat sama sekali dalam upaya menyandingkan Prabowo dan Jokowi.

Jika melihat riwayatnya, keluarga Cendana cenderung bersikap oposisi kepada pemerintahan Jokowi. Hal ini dapat tergambar misalnya melalui sikap mereka yang kerap tak ragu untuk memberi kritik tajam mantan Wali Kota Solo tersebut. Sosok seperti Tommy, Titiek, dan Tutut Soeharto kerap mengritik Jokowi dengan merefleksikan kondisi dengan era ayah mereka berkuasa.

Dalam konteks elektoral, posisi keluarga ini pun cukup jelas. Mereka memilih berpadu dalam Partai Berkarya pimpinan Tommy yang memberikan dukungan kepada Prabowo.

Tak hanya itu, sosok Titiek Soeharto misalnya juga mau menampilkan diri berpihak kepada orang-orang yang ikut dalam rangkaian aksi 22 Mei. Aksi yang berujung dengah rusuh ini sendiri memang jelas merupakan aksi yang terkait dengan penolakan hasil Pemilu yang menguntungkan Jokowi.

Baca juga :  Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Sikap oposisi ini sebenarnya boleh jadi cukup masuk akal. Selama pemerintahan Jokowi berkuasa, kenyamanan keluarga ini seperti tengah diusik. Berbagai harta yang selama beberapa waktu terlihat aman-aman saja mulai jadi perhatian pemerintah di era Jokowi.

Salah satu indikasinya adalah sikap agresif Kejaksaan Agung dalam memburu aset-aset Yayasan Supersemar. Beberapa waktu yang lalu misalnya, Gedung Granadi yang disebut-sebut teraliri dana yayasan ini masuk ke dalam buruan. Selain itu, ada pula putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan yayasan tersebut mengembalikan dana Rp 4,4 triliun.

Berdasarkan hal tersebut, wajar jika kemudian keluarga ini tak terlihat dalam wacana kumpul kebo politik antara Jokowi dan Prabowo. Jika diperhatikan, dukungan mereka kepada Prabowo boleh jadi terkait dengan posisi mereka yang beroposisi dengan Jokowi. Oleh karena itu, bisa saja sulit untuk membayangkan keluarga ini terlibat aktif membuat Jokowi dan Prabowo hidup berdampingan.

Para Elite

Perlu diakui bahwa keluarga Cendana merupakan golongan elite yang ada di Indonesia. Secara politik, kekuatan mereka bisa dibilang mumpuni karena ditunjang ketokohan Soeharto. Nama Soeharto masih memiliki pengaruh di tingkatan akar rumput sehingga anggota keluarganya pun kerap mendapatkan hal serupa.

Secara ekonomi, masing-masing anggota memiliki kekuatan finansial yang jauh di atas kebanyakan orang Indonesia. Nama-nama anggota keluarga ini bahkan masih kerap menembus jajaran 150 besar orang terkaya Indonesia versi Globe Asia.

Salah satu teori tentang elite paling terkemuka dikeluarkan oleh ahli ekonomi asal Italia Vilfredo Pareto. Ia mahsyur dengan teori elite yang tergolong ke dalam Italian school of elitism bersama Gaetano Mosca dan Robert Michiels.

Pareto tidak menggunakan batasan moral dalam menggunakan istilah elite. Ia hanya menyebutkan bahwa elite sebagai kelas masyarakat yang memiliki tingkatan tinggi dalam aktivitas mereka. Dalam konteks ini, keluarga Cendana dapat masuk ke dalam golongan ini karena memiliki posisi tinggi dalam urusan ekonomi dan politik.

Dalam pandangannya, Pareto membagi elite menjadi elite memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Perlu diakui bahwa Pareto memang lebih mengambil fokus pada governing elite. Meski begitu, ada beberapa pandangannya yang dapat dikonteksualisasikan dengan kondisi non-governing elite.

Baca juga :  Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

Pareto memiliki pandangan bahwa perubahan rezim adalah proses pergantian dari satu elite ke elite lainnya. Proses ini oleh Pareto disebut sebagai sirkulasi elite. Dalam proses tersebut, peran dari orang-orang biasa adalah pendukung dan pengikut dari salah satu elite yang ada.

Mengincar Sirkulasi?

Dalam konteks tersebut, keluarga Cendana saat ini tengah menjadi non-governing elite sebagai hasil dari perubahan rezim dari Orde Baru. Meski begitu, hal tersebut sebenarnya tak bisa menutupi fakta bahwa mereka adalah elite meski secara formal tak berkuasa.

Dalam kondisi tak memerintah tersebut, keluarga Cendana seperti berada dalam kondisi yang tak menguntungkan. Seperti disebutkan sebelumnya, harta dari keluarga ini kini seperti tengah diburu di era Jokowi menjadi pemerintah.

Berdasarkan kondisi tersebut, keluarga Cendana boleh jadi akan berada dalam posisi yang lebih nyaman jika berada di lingkaran governing elite melalui proses sirkulasi elite. Kesempatan itu sempat terbuka lebar ketika mereka mendukung Prabowo di Pilpres 2019 lalu. Oleh karena itu, wajar jika mereka mengambil sikap sejalan dengan Prabowo dalam mewujudkan kumpul kebo politik.

Posisi keluarga Cendana kini tengah menjadi non-governing elite Click To Tweet

Kini, boleh jadi langkah mereka untuk bisa kembali berada di lingkar governing elite dapat dibantu oleh penyelenggara Ijtima Ulama IV. Sebagai non-governing elite, mereka tetap bisa menjaga pengaruh dengan mendukung kelompok oposisi kuat seperti PA 212 dan GNPF ulama, sambil menunggu momentum sirkulasi elite.

Sementara itu, penyelenggara Ijtima Ulama IV sendiri bisa saja mendapatkan peran sebagai pengikut atau pendukung elite seperti yang dikemukakan oleh Pareto.

Memang, hingga saat ini  kedua kubu sama-sama membantah ada relasi spesifik yang bersifat politik. Meski demikian, dengan pertalian posisi politik keduanya yang berada di spektrum yang sama, bukan tidak mungkin keduanya akan berpadu untuk menjadi oposisi utama bagi pemerintahan Jokowi nanti.

Terlepas dari hal tersebut, penting untuk diketahui ke arah mana nanti sebenarnya keluarga Cendana dalam kumpul kebo politik ini. Jika melihat riwayatnya, mereka bisa saja merasa posisinya sebagai elite terancam sehingga harus beroposisi kepada governing elite. Dalam proses tersebut, bukan tidak mungkin mereka membangun jejaring dengan oposan lain seperti penyelenggara Ijtima Ulama IV. (H33)

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...