HomeNalar PolitikAntara GWU dan Tragedi 1965

Antara GWU dan Tragedi 1965

Publikasi dokumen korespondensi terkait tragedi 1965 membuka fakta lain terkait masa lalu bangsa ini. Hal ini membuat publik punya bahan pembanding dan referensi lain selain kebenaran tunggal yang dipercaya oleh militer.


PinterPolitik.com

“Show me a hero and I’ll write you a tragedy” – F. Scott Fitzgerald (1896-1940), novelis

[dropcap]B[/dropcap]ulan September hingga Oktober 2017 merupakan salah satu masa terpanas tahun ini. Bukan karena peningkatan suhu udara akibat kekeringan, melainkan karena tensi ‘sekam’ politik nasional yang seolah dimasukkan bara api ke dalamnya.

Selain karena seliweran survei politik, isu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi begitu hangat diperbincangkan dan menjadi komoditas politik yang paling menarik selama bulan September. Bahkan isu PKI sempat berbuah aksi sedikit anarki di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Setelah tensinya menurun di akhir bulan, pergunjingan tentang PKI kembali mencuat setelah National Security Archives (NSA) – sebuah lembaga nirlaba yang bernaung di bawah George Washington University (GWU) Amerika Serikat – mempublikasikan 39 dokumen terkait tragedi di seputaran tahun 1965.

Dokumen yang total berjumlah 30.000 lembar ini merupakan korespondensi lewat surat kawat (telegram) antara perwakilan diplomatik Amerika Serikat di Indonesia dengan Washington DC terkait peristiwa berdarah yang diperkirakan menewaskan hingga 1 juta jiwa tersebut.

NSA bekerja sama dengan National Declassification Center (NDC) dan lembaga pemerintah National Archives and Records Administration (NARA) untuk menyusun dokumen-dokumen tersebut sebelum dipublikasikan. Tentu saja publikasi yang dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2017 tersebut mengundang perhatian publik di Indonesia. Bagaimana pun juga, sejarah di sekitaran tahun 1965 adalah wilayah yang masih abu-abu bagi kebanyakan orang.

Kebenaran tunggal yang menjadi doktrin utama selama era Orde Baru hingga awal Reformasi adalah tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh faksi dalam militer bersama dengan PKI terhadap jenderal-jenderal angkatan darat. Namun, banyak Indonesianis (ahli Indonesia) – misalnya Benedict Anderson – yang menyebut tragedi 1965 sebagai grand design kudeta terhadap pemerintahan Soekarno.

Oleh karena itu, publikasi dokumen-dokumen ini diharapkan dapat membuat berbagai misteri di seputaran kejadian tersebut menjadi terang benderang. Tetapi, apakah mungkin hal itu terjadi? Lalu, apakah ada kepentingan politik di balik rilis dokumen-dokumen tersebut?

Dari GWU dan NSA

Sebagai sebuah lembaga riset, NSA merupakan salah satu lembaga di George Washington University (GWU) yang biasa mempublikasikan dokumen-dokumen yang dideklasifikasi. Deklasifikasi (declassified) adalah istilah untuk dokumen-dokumen rahasia (classified) yang karena sudah melewati waktu tertentu dapat diakses oleh publik karena adanya aturan The Freedom of Information Act (FOIA) – sebuah aturan federal berkaitan dengan pengungkapan seluruh atau sebagian isi dokumen pemerintah kepada masyarakat.

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

NSA menjadi salah satu perpanjangan tangan sipil terhadap aturan FOIA tersebut. Di Amerika Serikat, kategori deklasifikasi dokumen eksekutif salah satunya diatur dalam Executive Order 13526 – produk yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Barrack Obama pada akhir 2009 – yang menentukan apakah sebuah dokumen bisa dideklasifikasi dalam 10, 25, 50 atau bahkan 75 tahun. Untuk kasus dokumen 1965, deklasifikasi dilakukan karena dokumen tersebut sudah berusia 50 tahun.

Antara GWU dan Tragedi 1965

Sejak didirikan pada tahun 1985 oleh para jurnalis dan sejarahwan, NSA telah mempublikasikan ribuan dokumen rahasia Amerika Serikat tentang konflik, tokoh dan berbagai peristiwa penting yang terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Bernaung di GWU, NSA menjadi salah satu lembaga yang mendapatkan banyak apresiasi atas aktivitas-aktivitasnya, misalnya penghargaan Emmy Award di tahun 2005 untuk kategori news and documentary research.

Menariknya, lembaga ini memiliki aturan untuk tidak menerima pendanaan dari pemerintah Amerika Serikat. Pada tahun 2008, total pendanaan lembaga ini mencapai 2,5 juta dollar atau sekitar Rp 33,9 miliar per tahun yang diperoleh dari beberapa lembaga, misalnya dari Carnegie Corporation New York, Ford Foundation, John S. and James L. Knight Foundation, MacArthur Foundation dan beberapa lembaga lain. MacArthur Foundation misalnya mendonasikan 620 ribu dollar untuk lembaga ini pada 2016 lalu.

Fakta menarik lainnya adalah GWU tempat NSA bernaung adalah salah satu universitas di Amerika Serikat yang memiliki kerja sama yang cukup dekat dengan pemerintah Indonesia. GWU adalah kampus yang dikunjungi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kunjungan terakhir ke Amerika Serikat sebelum berakhir masa jabatannya di tahun 2014.  Pemerintah Indonesia juga pernah menghadiahkan lukisan George Washington untuk GWU pada 2014 lalu.

GWU juga memiliki kerja sama di bidang penelitian dengan Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan). Hal yang menarik adalah Unhan merupakan kampus yang dikelola oleh TNI.

Masih Mungkinkah PKI Dipakai Lagi?

Publikasi dokumen-dokumen tentang peristiwa di seputaran 1965 sangat kebetulan berdekatan dengan memanasnya isu tersebut di dalam negeri. Momentum rilis dokumen tersebut juga punya dampak politis karena jika aturannya 50 tahun, maka dokumen tersebut bisa dirilis kapan saja setelah 2015.

Yang jelas, keluarnya dokumen-dokumen ini seolah tidak dipandang dengan serius di dalam negeri. Bahkan para petinggi militer juga seolah mengabaikan pengungkapan dokumen tersebut.

Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut dirinya tidak harus membaca dokumen tersebut karena itu merupakan hak Amerika Serikat dengan aturannya untuk mengungkapkan informasi semacam itu. Sementara, di Indonesia tidak ada aturan serupa yang menuntut pengungkapan informasi tertentu.

Baca juga :  Strategi Jokowi Tetap Berpengaruh?

Hal senada juga diungkapkan Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu yang menyebut pengungkapan dokumen ini harus membuat Indonesia lebih berhati-hati. Walaupun demikian, baik Panglima TNI maupun Menhan menyebut akan mempelajari isi dokumen tersebut.

Peneliti Asian-American Studies dari University of Connecticut, Bradley Simpson menyebut deklasifikasi ini sangat penting mengingat iklim politik di Indonesia saat ini sedang memanas. Apalagi diperkirakan terjadi peningkatan sentimen anti komunis oleh militer dan organisasi Muslim terhadap organisasi yang dianggap kiri seperti yang terjadi pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Pengungkapan dokumen ini diharapkan membuat masyarakat Indonesia memahami sejarah dan tidak mengulanginya lagi.

Di lain pihak, rilis dokumen-dokumen tersebut sebetulnya punya kekuatan politik untuk mematahkan berbagai tuduhan tentang PKI yang semakin lama semakin liar dan menjadi bola panas isu menuju pertarungan politik di 2019.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan salah satu pihak yang menjadi korban serangan isu PKI. Bahkan isu ini dipakai sebagai salah satu senjata utama untuk menyerang Jokowi secara politik menuju Pilpres di 2019. Dengan adanya dokumen tersebut, setidaknya ada dasar justifikasi lain terhadap tragedi 1965 dan isu PKI menjadi ‘kurang seksi’ lagi untuk digunakan secara politik. Jokowi tentu menjadi salah satu pihak yang diuntungkan dengan rilis dokumen tersebut.

Apakah itu berarti isu PKI masih mungkin dipakai lagi? Tentu saja bisa. Selama masih ada pihak-pihak ‘peramu isu’, tragedi 1965 masih mungkin terus diungkit.

Hanya saja, rilis dokumen ini berpotensi mengurangi dampak isu PKI dipakai untuk menggerakkan massa dalam jumlah besar seperti pada kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pihak-pihak yang ingin menggunakan isu PKI sebagai komoditas politik harus menghitung ulang keefektifan strategi tersebut.

Pada akhirnya, rilis dokumen ini seharusnya menjadi jalan pengungkapan fakta sejarah yang terjadi di seputaran tahun 1965. Pihak-pihak yang berhubungan dengan persitiwa tersebut, baik militer maupun semua yang berkepentingan, harus mampu membuka diri terhadap berbagai temuan-temuan atau informasi baru.

Bagaimana pun juga tragedi 1965 adalah sejarah kelam bangsa ini dan oleh karenanya generasi penerus harus belajar dari luka masa lalu tersebut. Sewajarnya isu ini tidak dijadikan sebagai mainan politik elit. (S13)

 

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.