HomeHeadlineAnomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar. Pasalnya, kini partai merah itu dipimpin oleh putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Tentu banyak yang menganggap Kaesang bisa membawa tuah kekuatan persepsi politik Jokowi yang masih jadi tokoh politik paling popular di Indonesia. Namun, mengapa gagal?


PinterPolitik.com

Berbagai analisis bertebaran di sana-sini soal kegagalan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Pemilu 2024. Ada yang bilang partai ini telat “pakai” Presiden Jokowi sebagai bagian dari jargon kampanyenya. Ini beralasan mengingat Kaesang baru ditunjuk jadi Ketua Umum PSI kurang dari 5 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Artinya, meski ada “perpanjangan tangan” Jokowi lewat sang putra, waktu yang singkat ini tentu tak mampu menjamin kelolosan PSI ke parlemen.

Dan menariknya, kalau kita dalami dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART) PSI, ada beberapa hal menarik yang bisa kita temukan di sana. Demikianpun dengan struktur partai dan kepengurusannya.

Ini terkait posisi politik yang cukup kuat yang dimiliki oleh satu tokoh: Jeffrie Geovanie. Sosok yang satu ini memang jarang tampil ke hadapan publik sebagai representasi PSI. Namun, jabatannya sebagai pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina PSI sedikit banyak mempengaruhi keseluruhan perjalanan partai.

Bahkan, tak sedikit yang beranggapan bahwa kegagalan PSI tak lepas dari salah strategi Jeffrie dalam mengelola partai. Benarkah demikian?

3 Kali Ganti Ketua Umum

Bicara soal PSI emang tak akan ada habis topik bahasannya. Dulu di zaman Grace Natalie menjabat sebagai Ketua Umum, masyarakat disuguhi kampanye kocak di sekitaran Pemilu 2019. Publik mungkin masih ingat soal iklan makan ketoprak pakai nasi, resepsionis, dan lain sebagainya.

Era berganti, karena gagal di 2019, Grace kemudian digantikan oleh vokalis kondang Giring Ganesha alias Giring Nidji.

Kemudian, mungkin kurang pede dengan fan base-nya Giring, akhirnya diganti lagi lah posisi Ketua Umum ini dengan Kaesang Pangarep, putra presiden Jokowi. Harapannya adalah dengan approval rating Jokowi yang menyentuh angka 80 persen, suara PSI bisa terdongkrak. Persoalannya, seperti disinggung di awal, jarak antara pergantian ketum ke hari pencoblosan terhitung kurang dari 5 bulan.

Suara PSI pada akhirnya memang naik jadi 2,8 persen dibanding hanya 1,8 persen di Pemilu 2019. Tapi belum cukup menembus 4 persen yang jadi syarat lolos ke parlemen pusat. Jadi, salah satu faktor yang membuat mereka gagal sangat mungkin karena telat merangkul Kaesang dan telat kampanye dengan membawa-bawa nama Jokowi di dalamnya. Kalau ini dilakukan setahun atau satu setengah tahun lalu, besar kemungkinan hasilnya akan berbeda.  

Baca juga :  Setuju Megawati-Prabowo "CLBK"?

Selain itu, narasi Kaesang dan Jokowi dalam beberapa kesempatan seringkali terkesan lebih diterima masyarakat dalam konteks Pilpres, yakni mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Ini cukup terlihat dalam beberapa kali kampanye PSI.

Sementara ada kondisi yang kurang diwaspadai PSI, yaitu yang disebut sebagai split-ticket voting, di mana masyarakat memilih capres-cawapres yang berbeda dari yang didukung oleh partai yang ia pilih. Artinya, pemilih Jokowi yang kemudian mendukung Prabowo-Gibran sudah punya jagoan parpol lain untuk pileg, ketimbang memilih PSI.

Dengan demikian, bisa saja ada salah kalkulasi yakni yang berfokus pada bagaimana agar caleg-caleg PSI dilihat sebagai representasi dari jalan politik Jokowi. Memang, ada beberapa yang suaranya besar, macam Grace Natalie, atau Ade Armando. Tapi, dalam konteks sebaran caleg dan dukungannya, kondisinya masih sangat-sangat jauh.

Dari dinamika-dinamika ini, tentu kemudian muncul pertanyaan: apakah strategi PSI selama ini tidak dipikirkan dengan matang? Siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi ini?

Di Tangan Jeffrie Geovanie

Well, kalau kita perhatikan AD ART PSI, posisi tertinggi di partai ini bukanlah Ketua Umum, melainkan Dewan Pembina. Ini adalah posisi yang dibilang cukup “mutlak” di PSI, karena kalau diperhatikan di pasal 16 ayat 5 AD ART PSI tertulis: “Keanggotaan Dewan Pembina berkedudukan hukum tetap dan permanen seumur hidup, kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri atau meninggal dunia”. Artinya posisi ini hanya bisa diganggugugat oleh yang bersangkutan sendiri, atau karena dipisahkan maut.

Dewan Pembina ini ada ketuanya, lalu sekretaris dan anggota. Bisa dibiliang, Ketua Dewan Pembina adalah jabatan utama di partai ini. Dan posisi ini diduduki oleh Jeffrie Geovanie yang adalah salah satu pendiri PSI.

Jeffrie adalah seorang politisi dan pengusaha yang pernah jadi kader Golkar, kemudian sempat pula pindah ke Nasdem, sebelum akhirnya mendirikan PSI di tahun 2014.

Kegagalan PSI di 2019 dan 2024 memang secara tidak langsung membuat banyak orang bertanya-tanya apakah Jeffrie tak menggariskan kebijakan dan strategi pemenangan yang tepat. Misalnya soal rekrutmen anggota. Apakah kader-kader PSI adalah sosok-sosok yang militan – sama militan katakanlah kalau dibandingkan dengan kader PKS yang kuat kaderisasinya?

Tidak heran ada yang kemudian menyebutkan bahwa kalau PSI belum mampu menghasilkan kader militan, agaknya partai ini masih akan terus kesulitan menembus papan atas.

Baca juga :  Golkar: Tarung Jokowi-Prabowo?

Selain itu, kalau diperhatikan kepengurusan partai, PSI bisa dibilang sangat “mini”. Ada 5 orang di dewan Pembina, 5 orang di Mahkamah partai – yang mana Raja Juli Antoni yang juga merangkap di Dewan Pembina – dan 3 orang di DPP – yang mana lagi-lagi ada Raja Juli Antoni yang merangkap sebagai Sekjen. Artinya hanya ada 11 orang di posisi tertinggi partai ini.

Bandingkan itu dengan partai lain macam PPP yang wakil ketua umum saja itu ada 5 orang. Belum terhitung Kepala Bidang dan lain-lain. Atau kayak Perindo yang posisi Ketua Bidang-nya itu diisi oleh banyak orang. Jangan pula bandingkan dengan partai-partai lain macam Demokrat, PKS atau Nasdem yang jumlah kepengurusannya jauh lebih banyak lagi.

Secara manajemen pengembilan keputusan, mungkin model lebih sedikit personel ini akan lebih efektif karena meminimalisir perdebatan. Tapi, dalam konteks ikatan anggota ke partai, makin sedikit orang jelas mengurangi rasa memiliki yang bisa dibagi ke lebih banyak orang. Orang-orang juga bakal bertanya soal ada atau tidaknya sistem merit di partai, dan lain sebagainya. Pasalnya meritokrasi adalah salah satu intisari dari demokrasi dalam kepartaian.

Makanya, tidak sedikit yang menyebut PSI bisa saja terjebak pada semacam “bubble” political party. Diasumsikan sebagai partai yang lumayan besar, namun nyatanya hanya bubble karena efek sosok-sosok yang dikenal publik di level teratas, namun tak bisa mentransferkan pengaruh atau dukungan politiknya ke level terbawah.

Dan jika memang sentralisasi kekuatan pada sosok tertentu – katakanlah Ketua Dewan Pembina misalnya – maka PSI jadi tak ada bedanya dibandingkan parpol-parpol lain macam Nasdem, Gerindra, atau PDIP yang memang tersentralisasi kekuasaan politiknya pada 1 orang.

Yang jelas, jika PSI benar-benar ingin menjadi partai yang besar dan kuat, maka intisari gerakan politiknya harus benar-benar mendorong kebaruan. Harus ada meritokrasi. Harus ada kaderisasi yang kuat. Harus ada semangat memiliki partai. Juga harus ada diferensiasi ideologi yang jelas juga.

Karena harus diingat, anak-anak muda zaman sekarang sudah makin melek politik dan makin kritis. Mereka tak asal telan mentah-mentah iklan, atau jargon politik semata. Kalau PSI benar-benar ingin mendorong republikanisme – seperti yang tertulis di misi partai – misalnya, maka seperti apa bentuk nyata program-program itu didorong.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

RK-Jakmania dan Dekonstruksi Away Day

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Skeptisisme dan keraguan tertuju kepada Ridwan Kamil (RK) yang dianggap tak diuntungkan kala berbicara diskursus Jakmania dan Persija...

Apa Alasan Militer Tiongkok Melesat?

Beberapa tahun terakhir militer Tiongkok berhasil berkembang pesat, mereka bahkan bisa ciptakan kapal induk sendiri. Apa kunci kesuksesannya?

Siasat Rahasia Pramono-Rano?

Apresiasi dan pujian kandidat di Pilkada Jakarta 2024 Pramono Anung dan Rano Karno, maupun beberapa elite PDIP dalam beberapa waktu terakhir kepada Anies Baswedan dinilai merupakan siasat politik tertentu. Bahkan, pujian itu dinilai menjadi “jebakan” bagi Anies. Mengapa demikian?

Mustahil Anies Dirikan Partai?

Usai gagal maju dalam Pilkada 2024, Anies Baswedan mempertimbangkan untuk mendirikan sebuah ormas atau partai politik (parpol).

Mengapa Tiongkok Belum Gantikan AS?

Tiongkok sering diagadangkan akan menjadi negara adidaya baru pengganti Amerika Serikat (AS), tapi apakah Tiongkok sanggup?

More Stories

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Misteri PDIP Tak Pilih Anies

Setelah bikin publik penasaran menanti, PDIP akhirnya mengumumkan tak mengusung Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta 2024.

Jokowi di Tengah Pusaran Konglomerat

Peringatan HUT RI di IKN beberapa hari lalu suguhkan pemandangan menarik. Beberapa konglomerat teratas Indonesia tampak hadir dalam momen tersebut.