HomeNalar PolitikTrump-Rusia Uji Nyali Biden?

Trump-Rusia Uji Nyali Biden?

Seri pemikiran Fareed Zakaria #28

Isu peretasan SolarWinds yang diduga dilakukan Rusia sedang menghantui pemerintahan federal AS. Lantas, mengapa kasus tersebut muncul saat ini? Selain itu, apakah dampaknya bagi proyeksi langkah maupun kebijakan Presiden terpilih Joe Biden?


PinterPolitik.com

Tumpukan pekerjaan berat agaknya telah menanti Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Tak hanya dalam mengatasi pandemi Covid-19 beserta efek turunannya yang terus berdampak pada domestik AS, kini Biden dihadapkan pada masalah keamanan nasional yang cukup pelik.

Kasus peretasan yang menyasar produk perangkat lunak SolarWinds yang mulai terkuak di awal bulan ini, kian meningkatkan kekhawatiran setelah diketahui tiga lembaga vital negeri Paman Sam turut terdampak.

Departemen Perdagangan, Keuangan, dan Energi AS yang terkena imbas, diduga kuat memang menjadi target utama peretasan yang secara umum menyasar pemerintah AS.

Pemerintah AS sendiri belum dapat menyimpulkan dalang di balik peretasan tersebut. Sementara pada saat yang sama, Pentagon juga masih terus melakukan penelusuran.

Namun hal berbeda terjadi di parlemen AS. Retorika panas terus mengemuka saat beberapa pihak mulai mengambil hipotesa terkait siapa yang bertanggung jawab atas peretasan di level pemerintah federal yang kasusnya bukan pertama kali terjadi.

Satu yang cukup mewakili jamaknya presumsi datang dari Ketua Komite Intelijen Senat AS, Marco Rubio. Dirinya menyebut, metode yang digunakan untuk menyelenggarakan peretasan siber ini konsisten dengan operasi siber Rusia. Senator dari negara bagian Florida itu juga menyerukan agar Amerika dapat membalas, dan tidak sekadar dengan sanksi.

Dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post, Fareed Zakaria juga menyiratkan hal senada dengan Rubio. Bahkan Zakaria melakukan komparasi metode yang Ia sebut mirip dengan strategi propaganda Presiden Donald Trump selama ini dalam blantika politik domestik AS.

Berbicara mengenai Trump sendiri, sosok Republikan terkesan meremehkan peretasan ini dan menuding Tiongkok ketika mayoritas suara sumbang tertuju pada Rusia sebagai dalangnya.

Baca juga: Trump Di Ambang Menerapkan Martial Law?

Menariknya, Secretary of State AS Mike Pompeo sebelumnya justru tampak tak seirama dengan Trump dan bahkan sempat memberikan pernyataan yang cukup tegas. Pompeo cukup yakin bahwa Rusia terlibat dalam aktivitas yang tergolong sebagai upaya spionase tersebut.

Sementara kembali pada konteks Biden, sosok yang rencananya akan menghuni Gedung Putih bulan depan itu berujar bahwa akan membalas peretasan ini dengan substantial cost atau yang jamak ditafsirkan sebagai sanksi finansial pada individu ataupun entitas yang terbukti bersalah.

Namun pertanyaannya, mengapa kasus peretasan ini muncul dan kian memanas saat ini? Selain itu, adakah konsekuensi geopolitik dari dinamika yang kiranya akan bergulir kelak?

Untuk “Kacaukan” Biden?

Menjadi sebuah ihwal menarik memang ketika peretasan yang menyasar dan membuat riuh pemerintah federal AS terjadi di tengah situasi politik yang masih penuh intrik dalam dua bulan terakhir.

Terlepas dari siapa yang melakukannya, baik state ataupun non-state actor, kemungkinan pihak tersebut berupaya mengeksploitasi proses transisi pucuk pimpinan tertinggi negeri Paman Sam yang tengah bergulir alot saat ini.

Baca juga :  Tiongkok Kolonisasi Bulan, Indonesia Hancur? 

Daniel Weiner dalam Why the Presidential Transition Process Matters menjelaskan aspek presidential transition proses atau proses transisi kepresidenan AS yang salah satunya, memang memiliki signifikansi yang erat kaitannya dengan keamanan nasional.

Secara fundamental, proses transisi tersebut memiliki dua signifikansi, yakni dari aspek simbolis dan praktis. Secara simbolis, transisi tampuk kekuasaan tertinggi AS sendiri mencerminkan ritual yang menggambarkan penyerahan kekuasaan sebagai bentuk penghormatan terhadap hukum, demokrasi, dan suara rakyat.

Sementara secara praktis, sebagai salah satu organisasi yang “mengelola” entitas terbesar di dunia, pemerintahan eksekutif AS memiliki esensi yang sangat vital ketika ada banyak keputusan strategis yang bahkan harus dibuat sejak hari pertama pergantian kekuasaan.

Kedua signifikansi itu disebut tidak hanya penting bagi kredibilitas negeri adidaya itu di mata dunia, tetapi juga secara spesifik bagi aspek keamanan nasional yang korelasinya juga terkait kelangsungan hidup warga negara AS.

Jika menengok saat Perang Dunia II, Presiden Harry Truman secara tak langsung menempatkan AS dalam “kendala” akibat proses transisi kepresidenan yang dinilai kurang mulus dari Franklin D. Roosevelt.

Kala itu, bahkan dirinya baru mengetahui jika AS sedang mengembangkan bom atom 12 hari setelah mengampu jabatan sebagai kepala negara.

Lalu signifikansi vitalnya momentum proses transisi kepresidenan ialah saat 9/11 Commission menyebut bahwa sedikit terganggunya pergeseran kekuasaan dari Bill Clinton kepada George W. Bush di awal milenium berkontribusi terhadap kerentanan keamanan nasional AS.

Baca juga: Jokowi Wajib Contohi Meritokrasi Singapura

Dan seperti yang diketahui, di tahun pertama Bush menjabat itu kemudian terjadi sebuah serangan teror terburuk yang pernah terjadi dalam sejarah AS.

Hal yang sama namun sedikit berbeda tampaknya juga terjadi saat ini. Presiden Trump yang masih bersikukuh bahwa terdapat kecurangan di Pilpres 2020 membuat transisi kepresidenan begitu problematis, plus menempatkan Presiden terpilih Joe Biden dalam posisi sulit.

Isu peretasan yang sejauh ini diketahui menyasar tiga kementerian urusan vital AS, dinilai juga cukup mengkhawatirkan dalam hal eksisnya ancaman terhadap keamanan nasional secara umum.

Yang menarik, Presiden Trump seolah meremehkan kasus peretasan yang oleh pakar keamanan siber Stanford, Alex Stamos, disebut sebagai kampanye peretasan paling berpengaruh dalam sejarah.

Ya, alih-alih dengan kewenangannya dapat menghadirkan narasi dan upaya protektif untuk menjamin keamanan nasional AS, Trump justru menganggap peretasan SolarWinds dibesar-besarkan. Bahkan sikap Trump sendiri juga kontradiktif dengan anak buahnya sendiri, Mike Pompeo yang telah menuding Rusia berada di baliknya.

Namun di titik ini, terdapat satu benang merah yang sedikit tersingkap. Transisi kekuasaan yang kurang berjalan mulus serta narasi kontraproduktif dan “pembiaran” Trump atas isu peretasan yang erat dengan konteks keamanan nasional AS, tampaknya akan bermuara pada dahsyatnya beban yang akan langsung dipikul Biden saat menjabat.

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Artinya, pada sisi berbeda, reaksi underestimate Trump pada kasus peretasan ini mungkin saja bermotif kepentingan politik yang sedang berusaha Ia pertahankan saat ini, sekaligus membuka ganjalan politik sejak awal bagi rival yang telah mengalahkannya saat kelak duduk di Gedung Putih di hari pertama.

Akan tetapi, tendensi itu masih sebatas estimasi politik belaka, yang mana dinamika kasusnya sendiri masih terus bergulir serta berpotensi berakhir dengan berbagai kemungkinan lainnya.

Lalu pada konteks Biden sendiri, konsekuensi seperti apa yang mungkin akan terjadi setelah dirinya berujar bahwa akan membalas pihak manapun yang bertanggung jawab atas kasus peretasan ini?

Biden Konfrontasi Rusia?

Dapat dipastikan, akan membutuhkan waktu dan energi ekstra untuk membuktikan bahwa Rusia berada di balik peretasan SolarWinds yang mengusik pemerintah federal AS.

Namun Presiden AS terpilih Joe Biden telah berkomitmen bahwa dirinya akan memberikan sanksi finansial bagi individu maupun entitas yang bertanggung jawab atas peretasan itu.

Bagaimanapun, ekspektasi agar ada reaksi keras dari pemerintah AS atas peretasan terus mengemuka. Salah satunya datang dari ahli keamanan siber Centre for Strategic and International Studies (CSIS), James Andrew Lewis.

Lewis mengharapkan agar Biden serius dengan ucapannya dan tak mengambil langkah simbolis. Dengan berada di satu barisan dengan mereka yang menuding Rusia, Ia juga menghendaki agar ada reaksi yang membuat negeri tirai besi memahami bahwa AS memiliki kemampuan untuk membalas.

Kendati demikian, Biden agaknya akan sulit untuk memberikan reaksi yang sifatnya keras, terutama jika memang tertuju pada Rusia. Sebab, prioritas visi politik luar negeri yang dikampanyekannya selama ini ialah mengembalikan global leadership AS secara inklusif.

Ditambah dengan realita dan variabel lain seperti urgensi multilateralisme penanganan pandemi Covid-19, isu perubahan iklim, stabilitas Timur-Tengah, hingga reparasi kesepakatan nuklir yang kesemuanya membutuhkan kolaborasi positif dengan Rusia.

Oleh karenanya, Biden agaknya tak sampai membawa AS berada dalam situasi yang konfrontatif dengan Rusia, meski dalam perjalanan dan dinamikanya diwarnai kasus yang menyerempet isu keamanan nasional.

Atmosfer yang terjadi bisa saja seperti yang Fareed Zakaria gambarkan ketika melihat bipolaritas AS dan Tiongkok. Ya, hubungan AS-Rusia ke depan kemungkinan akan pula diliputi nuansa hedgingdeterrencecontainment, dan partnership yang eksis dalam waktu bersamaan.

Tinggal kemudian bagaimana negara-negara lain seperti Indonesia dapat secara cermat menempatkan diri pada situasi tersebut. Tentunya agar tak terlalu condong dan justru dianggap memihak salah satu kekuatan yang tak jarang bersitegang itu. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Jokowi dan Hantu The Great Reset


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?