HomeNalar PolitikMencari Guna Politik Media Sosial

Mencari Guna Politik Media Sosial

Media sosial bak medan perang tempat peluru-peluru opini politik ditembakkan. Akan tetapi, pengaruh dari perang itu dianggap minimal.


Pinterpolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]ukan Pilpres rasanya jika tidak disertai perang para pendukung di media sosial. Nuansa pemilihan yang sudah panas dibuat semakin membara oleh para netizen yang merajai internet tanah air. Baik pendukung kandidat 01 maupun kandidat 02 tergolong amat militan membela junjungan mereka masing-masing di media sosial.

Fanatisme menjadi kata yang boleh jadi tak berlebihan untuk menggambarkan perilaku masing-masing kubu di media sosial. Twitter, Facebook, dan Instagram kemudian berubah menjadi medan perang yang harus dimenangkan secara mati-matian.

Meski kerap membuat suasana Pilpres membara, nyatanya banyak yang sangsi bahwa peperangan di media sosial ini dapat memberikan dampak secara elektoral bagi masing-masing kandidat. Banyak yang menyoroti bahwa ada jarak antara hasil survei pengguna media sosial dengan hasil survei secara umum. Dari survei tersebut, diambil kesimpulan bahwa dampak elektoral media sosial dianggap tidak maksimal.

Anggapan media sosial tak berdampak elektoral sebenarnya sah-sah saja. Akan tetapi, apakah anggapan tersebut sepenuhnya benar? Jika memang media sosial tak berpengaruh, mengapa para pendukung capres masih amat berapi-api berjuang dengan jempol mereka?

Perang Dunia Maya

Media sosial menjadi gambaran bagaimana masyarakat Indonesia telah terpolarisasi secara ekstrem. Dua kubu pendukung, Jokowi dan Prabowo, tampak mati-matian membela kandidat yang mereka dukung dan merendahkan kandidat yang menjadi lawan.

Perang tagar selama berhari-hari menjadi gambaran dari polarisasi tersebut. Beberapa waktu lalu misalnya, fanatisme pendukung Jokowi memunculkan tagar #UninstallBukalapak. Tak lama berselang, kubu yang beroposisi menciptakan tagar yang tak kalah sensasional, yaitu #UninstallJokowi.

Sekilas, pertarungan di media sosial terlihat amat mencekam. Internet tak ubahnya seperti medan perang tempat memuntahkan segala peluru dan ledakan untuk menjatuhkan korban sebanyak-banyaknya.

Jika merujuk kepada data survei, pengguna media sosial dan internet secara umum memang telah terpolarisasi ke masing-masing kubu. Ternyata, dari data-data survei tersebut terdapat sedikit perbedaan antara masyarakat secara umum, dengan masyarakat yang memiliki dan rajin menggunakan media sosial.

Pada survei yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA misalnya, untuk pengguna media sosial menunjukkan bahwa Jokowi-Ma’ruf Amin unggul cukup tipis dengan 48,3 persen berbanding dengan 39,5 persen milik Prabowo Sandiaga. Padahal, jika dilihat secara keseluruhan, keunggulan Jokowi lebih lebar, yaitu 52,2 persen berbanding 29,5 persen milik Prabowo.

Hal serupa berlaku pada hasil survei milik Indikator Politik Indonesia. Pada survei tersebut, pengguna internet memberikan suara sebesar 52 persen kepada Jokowi-Ma’ruf dan 39 persen kepada Prabowo-Sandiaga. Sementara itu, jika dilihat secara keseluruhan, jarak tersebut sedikit lebih besar, di mana Jokowi-Ma’ruf mendapat 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga meraih 34,8 persen.

Echo Chamber

Jika merujuk pada survei-survei tersebut, terlihat bahwa ada jarak antara kekuatan para pendukung capres di media sosial dengan elektabilitas secara umum. Berdasarkan kondisi tersebut, muncul anggapan bahwa saling serang dan polarisasi di media sosial tak memiliki dampak elektoral secara signifikan.

Pandangan seperti ini diungkapkan misalnya oleh Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi. Menurutnya, perang di media sosial itu hanya bergema di kalangan pendukungnya sendiri. Echo chamber menjadi istilah yang digunakan Muhtadi untuk menggambarkan perang di media sosial yang tak berdampak besar.

Echo chamber sendiri merujuk pada situasi di mana seseorang hanya terekspos oleh informasi yang sejalan dengan mereka. Menurut Kiran Garimella dan kawan-kawan, ada dua komponen dalam hal ini, yaitu opini serta media sosial sebagai ruang (chamber) yang membiarkan opini menyebar atau menggema (echo) di dalam ruang tersebut.

Muhtadi mendasarkan pandangannya ini pada data yang dirilis oleh lembaga yang dipimpinnya. Menurutnya, Twitter yang menjadi arena peperangan hanya diakses oleh segelintir orang Indonesia saja. Merujuk pada hal tersebut, perang tagar yang terjadi seperti tidak ada gunanya.

Pandangan tersebut sesuai  dengan studi yang dibuat oleh Garimella dan kawan-kawan. Menurut studi tersebut, pengguna Twitter, dalam kadar tertentu, terekspos pada opini politik yang sejalan dengan pendapat mereka sendiri.

Hanya Mitos?

Anggapan tentang echo chambers tersebut bisa saja benar jika merujuk pada jarak antara masyarakat pengguna internet dan non-pengguna internet. Akan tetapi, bukan berarti pergerakan masyarakat dan tren di media sosial sama sekali tak memiliki pengaruh.

Media sosial, terlepas dari banyaknya aktivitas buzzer dan bot, juga adalah rumah dari influencer atau orang-orang berpengaruh. Jika suatu isu, opini, atau tagar dikirim atau diikuti oleh sosok yang dianggap berpengaruh tersebut, dampaknya bisa saja besar. Ada potensi bahwa isu yang berkembang di media sosial meluas dari media sosial ke kolam yang lebih besar melalui influencer tersebut.

Tak hanya itu, tren di media sosial juga kini telah menciptakan gaya baru dalam paparan berita di media arus utama. Kini, nyaris semua hal yang menjadi sumber keriuhan di media sosial juga akan menjadi sumber bagi berita media-media massa secara umum. Hal ini menjadi gambaran bahwa isu dan peperangan di media sosial berpotensi memiliki dampak besar.

Secara spesifik, dalam studi Seth Flaxman dan kawan-kawan, disebutkan bahwa masyarakat juga memiliki kemungkinan untuk membuka berita yang berseberangan dengan opini mereka. Pada titik ini, meski konsep echo chamber atau filter bubble telah mengemuka, belakangan muncul gagasan yang menentangnya, yaitu the myth of echo chamber atau mitos dari echo chamber.

Menurut Flaxman dan kawan-kawan, media sosial dan mesin pencari memang memiliki hubungan dengan meningkatnya jarak ideologi antar individu. Akan tetapi, hal-hal tersebut juga justru membuat individu mendapat paparan lebih kepada informasi yang berlawanan dengan spektrum politik mereka.

The myth of echo chamber itu diungkapkan pula oleh Elizabeth Dubois dan Grant Blank. Mereka tidak sepenuhnya menyangkal bahwa hal seperti itu bisa terjadi di Twitter atau Facebook. Akan tetapi, menurut mereka, masyarakat tidak mengonsumsi berita dan informasi dari satu sumber saja. berdasarkan studi mereka di Inggris, hanya 8 persen masyarakat yang berpotensi terjebak dalam echo chamber.

Benarkah media sosial tak memiliki pengaruh secara elektoral? Click To Tweet

Menurut Dubois dan Blank, individu secara aktif memeriksa sumber tambahan, mengubah pilihan mereka berdasarkan informasi yang mereka temukan, dan mencari pandangan berbeda. Melalui hal ini masyarakat dapat terhindar dari echo chamber.

Oleh karena itu, jika sebuah tren di media sosial dianggap memiliki informasi yang cukup, seseorang dapat mengubah pandangan politiknya, merujuk pada pandangan Dubois dan Blank tersebut. Pada titik ini, perang di media sosial, jika berbasis data dan informasi yang kuat, bisa saja memiliki pengaruh secara elektoral.

Hal ini berpotensi akan bertambah kuat jika informasi yang memadai itu dibawa atau disebarkan oleh orang-orang yang tergolong ke dalam influencer. Selain itu, jika tren di media sosial itu memiliki informasi yang kuat, media massa pun akan ikut mewartakannya secara luas. Sebaran informasi dari media sosial itu kemudian memiliki kekuatan yang lebih besar dan bisa mengubah pandangan politik masyarakat.

Jika mau adil, tentu mewajarkan peperangan besar-besaran yang diisi kata-kata makian di media sosial adalah hal yang keliru. Sebaliknya, tidak wajar pula jika para pendukung tersebut menghabiskan waktu dan energi sepenuhnya untuk berjibaku di media sosial.

Akan tetapi, menganggap bahwa media sosial sama sekali berpengaruh juga bisa saja tidak tepat. Kuncinya ada di penyebaran informasi, selagi sebuah tren yang menyulut perang tagar kaya akan informasi, perubahan pandangan masyarakat masih mungkin terjadi. (H33)

Baca juga :  The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024
spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...