HomeNalar PolitikJokowi-Prabowo Berebut Pemilih Loyal

Jokowi-Prabowo Berebut Pemilih Loyal

Fenomena strong voters membuat hasil Pilpres seperti sudah bisa ditebak sejak awal.


Pinterpolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]anyak yang menganggap bahwa Pilpres 2019 akan ditentukan oleh para swing voters atau undecided voters. Sayangnya, jika melihat survei belakangan, polarisasi masyarakat yang begitu tajam sejak Pilpres 2014 membuat kelompok pemilih tersebut mulai menjadi mitos.

Hal seperti ini diungkapkan misalnya oleh survei yang dirilis lembaga survei Charta Politika. Lembaga survei tersebut menyebut bahwa saat ini, elektabilitas pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno disokong oleh strong voters.

Menurut Charta Politika, keberadaan strong voters ini membuat berbagai kesalahan yang dilakukan oleh para kandidat, tidak akan berpengaruh banyak pada keterpilihan dan kesukaan mereka. Seolah sejalan dengan hal itu, kantor berita Singapura, The Straits Times juga menyebut bahwa serangan online kepada masing-masing kubu tidak berpengaruh kepada elektabilitas masing-masing kandidat.

Jika benar, bahwa pemilih di Indonesia sudah menjelma menjadi strong voters, lalu bagaimana caranya agar para capres dan cawapres bisa menarik sebanyak-banyak suara dari pemilih? Adakah cara yang bisa dilakukan untuk memecah suara dari strong voters tersebut?

Kemantapan Pilihan

Pilpres 2019 boleh jadi menjadi saksi bagaimana polarisasi masyarakat dalam hal politik telah mencapai titik yang ekstrem. Media sosial diisi oleh berbagai konten-konten berbau fanatisme kepada masing-masing kandidat yang akan berlaga. Fenomena ini dapat menjadi penanda dari bagaimana pemilih Indonesia telah mulai bergerak menjadi pemilih loyal atau dapat dianggap strong voters.

Secara statistik, hal ini terungkap melalui survei yang dilakukan oleh Charta Politika. Lembaga survei tersebut menggambarkan bahwa 71,4 persen responden mereka telah memiliki kemantapan pilihan dalam menatap Pilpres 2019.

Jika diturunkan kepada masing-masing kandidat, loyalitas atau kemantapan tersebut juga tampak terlihat sangat nyata. Digambarkan bahwa 80,9 persen pemilih Jokowi-Ma’ruf telah mantap dengan pilihan mereka. Hal serupa berlaku bagi Prabowo-Sandi di mana 79,6 persen responden telah mantap untuk memilih pasangan nomor urut 02 tersebut.

Jika hasil survei Charta Politika tersebut dirasa belum cukup, ada hasil survei lain yang menggambarkan bahwa fenomena pemilih loyal memang nyata ada. Populi Center misalnya menyebut bahwa 75,2 persen masyarakat sudah mantap dan tak akan mengubah pilihannya.

Jika masih belum cukup juga, hasil survei Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan bahwa 44,8 persen masyarakat kecil kemungkinan akan mengubah pilihannya. Daftar ini kemungkinan masih berpotensi akan terus bertambah jika semua lembaga survei di atas kembali melakukan survei lagi.

Merujuk pada kondisi tersebut, memenangkan gelaran Pilpres 2019 boleh jadi akan sangat berat bagi masing-masing kandidat. Pemilih masing-masing calon tampak sudah sangat loyal dan tergambar bahwa tidak ada banyak ruang yang bisa diambil untuk menarik suara dari pemilih yang tergolong ke dalam swing voters atau undecided voters.

Merujuk pada survei Charta Politika, kondisi-kondisi tersebut bisa membuat semua kesalahan yang dilakukan capres menjadi tidak berarti. Dalam kadar tertentu, kampanye-kampanye setiap kandidat juga bisa saja tidak lagi berarti. Jika sudah begini, masih adakah peluang terjadinya perubahan sikap dari pemilih nantinya?

Memburu Ketidakstabilan

Fenomena strong voters sebenarnya amat erat kaitannya dengan party identification yang menjadi salah satu bahasan utama dalam studi perilaku memilih. Memang, dalam konteks Indonesia, utamanya dalam Pilpres, party identification atau identifikasi kepada partai tersebut tidak banyak nampak dan lebih mengarah pada identifikasi kepada kandidat atau personal.

Menurut Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi, secara umum pemilih Indonesia memang mengekspresikan kesukaan mereka terhadap tokoh politik tertentu. Kesukaan itu tergolong konsisten dari Pemilu ke Pemilu berikutnya. Merujuk pada hal tersebut, hasil dari suatu pemilihan akan bergantung pada figur yang berlaga pada pemilihan tersebut.

Idealnya, setiap individu di dalam masyarakat menjadi target bagi setiap kandidat yang akan berlaga dalam suatu pemilihan. Meski demikian, adanya kelompok pemilih loyal seperti ini, bisa saja membuat usaha mereka menjadi sia-sia.

Terlepas dari hal tersebut, identifikasi politik seperti itu sebenarnya masih dipertanyakan stabilitasnya.  Beberapa peneliti menganggap bahwa sebenarnya ada potensi ketidakstabilan dalam identifikasi pemilih tersebut, sehingga  ada kemungkinan terjadinya perubahan pilihan alih-alih kontinuitas.

Fenomena strong voters membuat kampanye seperti tak ada gunanya. Click To Tweet

Salah satu pandangan mengenai instabilitas ini diungkapkan misalnya oleh Michael B. MacKuen, Robert S. Erikson dan James A. Stimson. Menurut mereka, identifikasi pemilih tersebut dapat berubah dan ekonomi menjadi faktor penggeraknya. Mereka menemukan hal ini melalui studi mereka tentang partisanship atau identifikasi partai politik.

Meski studi MacKuen, Erikson, dan Stimson menekankan pada identifikasi partai politik, pandangan tersebut bisa saja berlaku pula dalam konteks identifikasi kepada figur. Apalagi, dalam konteks politik  Indonesia, identifikasi pemilih kepada calon cenderung lebih kuat ketimbang identifikasi kepada partai politik.

Pengaruh Ekonomi

Jika melihat dalam konteks Indonesia, faktor perubahan ekonomi tersebut boleh jadi akan menjadi penentu untuk memecah suara dari para strong voters tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Greg Fealy yang menyebut bahwa posisi elektabilitas saat ini masih bisa berubah jika ada major economic upset.

Dalam banyak kesempatan, isu ekonomi kerap dianggap sebagai faktor penting bagi kampanye masing-masing kandidat. Cawapres Sandiaga Uno misalnya kerap membawa isu-isu tersebut dalam berbagai safari kampanyenya. Meski begitu, boleh jadi dibutuhkan lebih dari sekadar kampanye isu untuk menyebabkan perubahan tersebut.

Salah satu faktor yang boleh bisa menjadi pembeda adalah kondisi ekonomi secara riil yang belakangan tengah mengalami penurunan. Jika melihat kondisi terkini, berbagai indikator ekonomi dapat menjadi gambaran bahwa penurunan tersebut memang nyata ada.

Catatan ekonomi buruk Indonesia yang kerap membuat khawatir misalnya adalah defisit neraca perdagangan yang memburuk. Selama tahun 2018, defisit tersebut bahkan mencapai rekor terburuk sepanjang sejarah Indonesia yaitu 8,5 miliar dolar AS. Kondisi itu jelas mengkhawatirkan karena selama 2018, defisit tersebut memecahkan rekor terburuk sebanyak dua kali.

Dalam konteks ekonomi tersebut, beban terberat boleh jadi ada di pundak Jokowi sebagai petahana. Bagaimanapun, publik melihat ia sebagai sosok tertinggi dalam menakhodai ekonomi negeri ini. Meski begitu, boleh jadi, Jokowi sendiri terbebani oleh orang-orang di sekelilingnya dalam hal ekonomi ini.

Ekonom Faisal Basri menyebutkan bahwa dalam perkara ekonomi, Jokowi terbebani kebijakan menteri-menterinya sendiri. Dalam hal impor pangan misalnya, para menteri tersebut seperti tak bisa menghentikan derasnya aliran komoditas dari luar negeri.

Mellihat kondisi tersebut, jika akan terjadi major economic upset, maka kebijakan tim ekonomi Jokowi boleh jadi akan menjadi pihak yang bertanggung jawab. Dalam konteks tersebut, perubahan strong voters dari kubu Jokowi bisa saja terpengaruh oleh performa para menteri untuk menjaga agar penurunan ekonomi tidak sampai dikategorikan sebagai major economic upset.

Tentu, penantang dari pihak oposisi juga tidak bisa sepenuhnya santai. Jika ada suatu keajaiban yang dilakukan oleh pemerintah sehingga kondisi ekonomi dan tingkat kepuasan pemerintah di bagian ekonomi menanjak, bukan tidak mungkin strong voters  mereka yang justru terpecah.

Pada akhirnya, patut ditunggu apa yang akan terjadi pada kemantapan hati para pemilih loyal ini. Meski sekarang terlihat perbedaannya, bukan tidak mungkin peristiwa ekonomi besar dalam jangka pendek bisa menggoyahkan hati para pemilih loyal tersebut. (H33)

Baca juga :  Budiman Sudjatmiko, Skenario Brilian Prabowo?
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...