HomeNalar PolitikPKS Dilanda Gempa Politik?

PKS Dilanda Gempa Politik?

“Gempa di Bali, Seluruh pengurus PKS mengundurkan diri. Sedih melihat kejadian ini. Ini dipicu oleh tindakan sepihak DPP yg ngawur. #Save PKS,” Fahri Hamzah


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]anyak aktor politik Indonesia yang mengakui kemewahan mesin politik milik PKS. Bagaimana tidak, partai yang dipimpin Sohibul Iman ini memiliki kader militan dengan kepatuhan yang luar biasa. Tidak jarang, militansi kader tersebut kerap menjadi pembeda dalam beragam kontestasi politik yang diikuti PKS.

Lalu bagaimana jadinya jika mesin tersebut mengalami gangguan? Ini ditunjukkan misalnya melalui mundur massalnya pengurus DPW PKS Bali. Meminjam istilah mantan kader PKS Fahri Hamzah, kejadian tersebut seperti menjadi gempa politik bagi PKS.

Ada alasan yang menyebabkan kader-kader tersebut memilih bubar jalan dari kepengurusan PKS. Salah satunya adalah mereka dituduh mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, padahal keputusan resmi DPP adalah mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Para kader yang pergi menyebut bahwa tuduhan itu adalah fitnah. Meski begitu mereka menyebut tidak ada instruksi spesifik kepada DPW tentang pilihan pada capres untuk Pilpres 2019.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dampak gempa politik ini bagi PKS jelang tahun politik 2019? Secara spesifik, sebagai partai dengan mesin politik yang kerap didambakan, bagaimana mesin mereka bisa bekerja untuk membantu capres yang didukung?

Berharap Mesin Politik

Hampir semua orang sepakat bahwa PKS punya mesin politik yang paling mumpuni di negeri ini. Partai berlogo padi dan bulan ini telah membuktikannya dari pemilihan ke pemilihan dengan berbagai kejutan yang mereka hadirkan.

Salah satu yang teranyar adalah bagaimana PKS mampu mengantarkan pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu ke posisi nomor dua pada Pilgub Jabar 2018 beberapa waktu lalu. Padahal, berdasarkan survei, tidak ada yang memfavoritkan pasangan ini dapat memperoleh posisi tinggi pada gelaran tersebut.

Dikisahkan bahwa pendongkrakan posisi ini didorong oleh gerilya kader-kader PKS menawarkan pasangan Sudrajat-Syaikhu dari pintu ke pintu. Tak hanya itu, gerilya itu juga dilakukan dari satu grup chat ke grup chat yang lain di dunia maya.

Militansi kader ini akan sangat berguna jika dimanfaatkan oleh pasangan capres dan cawapres 2019. Dalam konteks ini, kemewahan mesin politik PKS ini ada pada kubu Prabowo-Sandiaga. Gerilya kader PKS bisa memberi Prabowo-Sandiaga kejutan seperti yang sudah pernah mereka lakukan di tingkat Pilkada.

Salah satu penyebab mesin politik dapat dengan mudah bergerak adalah karena sistem kepartaian mereka yang mengadopsi sistem jamaah. Ada ungkapan lazim di dalam lingkaran kader-kader partai dakwah itu, yaitu bahwa partai adalah gerakan dan gerakan adalah partai.

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Melalui sistem ini, partai dapat dengan mudah digerakkan melalui instruksi langsung dari pimpinan mereka. Doktrin sami’na wa atho’na tergolong kuat di dalam diri kader, sehingga begitu mendengar arahan dari qiyadah (pimpinan), mereka sebagai jundi (kader) harus selalu mau bergerak.

Kini, mesin politik tersebut boleh jadi tengah mengalami ujian yang cukup berat. Alih-alih menuruti para qiyadah, para jundi,  terutama di daerah, tampak tidak lagi menuruti perintah pimpinan mereka. Perpecahan pun terjadi di internal partai, sehingga mesin partai bisa saja tidak berjalan semaksimal biasanya.

Dalam kadar tertentu, melemahnya kekuatan mesin melalui perpecahan ini boleh jadi memiliki kaitan dengan sistem kepartaian itu sendiri. Pimpinan pusat tampak membawa doktrin sami’na wa atho’na ke level yang baru. Cap diktator dialamatkan oleh banyak kader karena sikap pimpinan yang dianggap memanfaatkan doktrin tersebut untuk bersikap otoriter.

Menyerang Kekuatan

Jika merujuk pada pernyataan yang dikeluarkan oleh para kader yang pergi dari PKS, mereka dituduh telah memberi dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Memang, hingga saat ini belum ada pernyataan resmi bahwa mereka benar memberikan dukungan tersebut. Akan tetapi, jika benar, hal ini bisa saja menjadi langkah yang bisa mengurangi kekuatan lawan dalam suatu peperangan.

Kebijaksanaan umum yang beredar dalam perang adalah serang sesuatu yang menjadi titik lemah lawan. Strategi semacam ini diungkapkan oleh Sun Tzu, salah satu ahli strategi perang terkemuka yang buah pikirnya dikompilasikan dalam The Art of War.

Meski pernyataan Sun Tzu tersebut kerap kali bisa memberikan kemenangan pada banyak perang, ada pernyataan lain yang bisa menjadi alternatif dalam perang, terutama dalam perang politik. Strategi alternatif tersebut diungkapkan oleh Karl Rove.

Berbeda dengan Sun Tzu, alih-alih menyerang kelemahan lawan, Rove justru memberikan anjuran untuk menyerang kekuatan lawan. Sekilas, pernyataan ini terdengar membingungkan. Akan tetapi, pernyataan ini justru sempat menjadi salah satu strategi utama pada gelaran setingkat Pilpres AS.

Rove merupakan salah satu konsultan politik yang cukup mendapat tempat di Partai Republikan AS. Ia memiliki saran yang cenderung tidak konvensional dengan menyerang kekuatan lawan karena menurutnya, jika kekuatan lawan diserang, maka sang lawan akan berlari dari kualitasnya yang membuat ia menjadi kandidat yang kurang menarik. Strategi semacam ini ia sarankan kepada  George W. Bush saat maju di Pilpres AS 2004.

Di gelaran tersebut, Bush harus menghadapi kandidat asal Partai Demokrat John Kerry. Kerry muncul di Pilpres 2004 dengan keunggulan khusus jika dibandingkan Bush. Mantan Menteri Luar Negeri AS tersebut adalah seorang liberal yang pernah ikut dalam Perang Vietnam. Di lain pihak, Bush adalah seorang konservatif yang tidak memiliki pengalaman milliter sama sekali.

Meski memiliki kekurangan seperti itu, para pendukung Bush memilih untuk tidak menghindari topik militer itu sama sekali. Mereka bahkan mengeluarkan kampanye Swift Boat untuk mempertanyakan rekor perang Kerry. Di titik itu, Bush dan para pendukungnya tengah melakukan negasi terhadap kekuatan utama Kerry.

Berpengaruh ke Pilpres?

Memang, sekali lagi, belum ada bukti bahwa kader-kader PKS yang memilih keluar dari partai memberikan dukungannya secara langsung kepada Jokowi. Akan tetapi, fakta bahwa mereka memilih pergi, dapat dikatakan sebagai bentuk penyerangan kekuatan utama lawan, dalam hal ini yang dialami oleh Prabowo-Sandi.

Jika kabar bahwa mereka mendukung Jokowi benar adanya, maka kekuatan utama PKS dan Prabowo-Sandiaga tentu saja mengalami pelemahan yang cukup signifikan. Hal ini akan tambah istimewa jika Anis Matta, salah satu kader kunci PKS yang diasingkan, benar-benar mendukung Jokowi. Sayang, belakangan muncul bantahan bahwa mantan presiden PKS tersebut mendukung Jokowi.

Perlu diakui belum ada yang bisa membuktikan bahwa serangan terhadap kekuatan PKS ini dilakukan oleh kubu Jokowi secara langsung. Akan tetapi, gempa politik yang mengganggu kerja mesin politik PKS ini jelas memberi keuntungan tersendiri bagi Jokowi.

Wow, ada eksodus besar-besaran di PKS Click To Tweet

Secara spesifik, “serangan” terhadap kekuatan lawan ini boleh jadi tidak sama persis dengan serangan ala Rove yang menggunakan attacking campaign. Akan tetapi, ada nuansa serupa, yaitu bahwa gempa politik PKS ini membuat kualitas utama yang membuat PKS menarik harus berlari menjauh darinya.

Prabowo-Sandiaga idealnya akan mengharapkan mesin politik PKS mau bekerja penuh untuk mereka. Akan tetapi, salah satu kekuatan utama yang mereka miliki kini justru mengalami penggembosan. Hal ini dapat menjadi kerugian besar bagi mereka.

Kondisinya tentu akan bertambah pelik jika kader-kader tersebut ternyata benar-benar memilih untuk mengalihkan dukungan mereka kepada Jokowi-Ma’ruf. Jika demikian, kekuatan yang mereka miliki ternyata justru berubah menjadi kelemahan.

Jika tidak ingin kekuatan utama PKS dan Prabowo-Sandiaga ini menghilang, maka gempa politik tersebut harus mampu ditangani dengan baik. Penyebab eksodus besar-besaran harus dapat diatasi, sehingga mesin politik dapat kembali bekerja dengan sempurna. Jika tidak, bukan tidak mungkin kejutan-kejutan yang biasa dihadirkan PKS tidak akan berlaku untuk Prabowo-Sandiaga. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...