HomeNalar PolitikHTI Menang Gugatan Pengadilan?

HTI Menang Gugatan Pengadilan?

Beredar kabar di media sosial dan berbagai pesan berantai bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah memenangkan gugatan di pengadilan. Kabar tersebut memang telah dibantah, namun juga kembali membuka perdebatan tentang nasib ormas yang dilarang pemerintah ini, termasuk terkait sumber pendanaannya.


PinterPolitik.com

“Kalau ada yang baca berita ini di medsos, saya beritahukan bahwa ini hoax. Sidang HTI sedang berjalan, belum ada putusan.”

– Yusril Izha Mahendra –

[dropcap]S[/dropcap]impang siur kabar kemenangan gugatan HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memang telah berhembus lama, setidaknya sejak September hingga Oktober 2017 lalu. Beberapa cuitan di twitter maupun postingan di facebook secara jelas menampilkan hal tersebut.

Namun, setidaknya sebulan terakhir, melalui berbagai pesan berantai hingga tulisan di beberapa portal berita, isu kemenangan HTI ini dihembuskan kembali dengan sangat keras. Pihak HTI sendiri telah membantah isu kemenangan tersebut dan menegaskan bahwa persidangan sedang berjalan. Adapun sidang terbaru kasus HTI ini berlangsung pada 18 Januari 2018 dengan agenda pengajuan bukti tambahan dari penggugat.

Bantahan juga datang dari pengacara HTI, Yusril Izha Mahendra. Melalui akun twitter resminya, Yusril mengatakan bahwa pemberitaan tersebut adalah ‘hoax’ karena sidang HTI masih terus berjalan.

Simpang siur pemberitaan tentang hal ini menimbulkan dugaan terkait adanya pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan politik dari tersebarnya informasi tersebut. Selain itu, nama HTI kembali muncul ke permukaan dan membuka perdebatan tentang eksistensi ormas yang telah dibubarkan oleh pemerintah ini. Apakah HTI benar-benar akan bubar?

HTI, Kapan Bubarnya?

Ulasan tentang kepentingan politis di balik aksi pemerintah membubarkan ormas-ormas seperti HTI memang mengundang perdebatan. Pemerintah – dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan partai penguasa PDIP – dinilai sedang berusaha untuk membendung gerakan massa berbasis agama macam HTI untuk mencegah mobilisasi massa dalam tajuk aksi bela Islam terjadi lagi seperti pada akhir 2016 lalu.

Di satu sisi, apa yang diperjuangkan HTI memang dinilai ‘berbahaya’, apalagi karena berhubungan dengan hal-hal yang mendasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), misalnya terkait Pancasila maupun tentang demokrasi.

Cita-cita kekhilafahan HTI memang menjadi ancaman ideologi negara di satu sisi, sekaligus secara politik punya kapabilitas menggerakan massa dalam jumlah yang sangat besar. Karena kemampuannya ini, HTI dianggap akan sangat efektif jika digunakan sebagai basis gerakan politik tertentu.

HTI mengklaim memiliki pengikut hingga puluhan ribu orang. Namun, dalam acara-acara tertentu, massa yang terkumpul bisa mencapai ratusan ribu orang. Bahkan menurut media Australia, The Australian jumlah pengikut HTI diperkirakan mencapai 3,5 juta di Indonesia.

HTI Menang Gugatan Pengadilan?

Dengan jumlah ini, gerakan HTI memang tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi basis pergerakannya adalah di banyak kampus dan komunitas-komunitas akademis yang nota bene merupakan kelompok terdidik dan terpelajar. Kelompok-kelompok ini  punya pendasaran rasional dan sangat mampu meyakinkan orang lain untuk menerima ajaran-ajaran tertentu.

Baca juga :  Tiongkok Kolonisasi Bulan, Indonesia Hancur? 

Tarik ulur pembubaran HTI dengan proses hukum di PTUN memang tidak dapat dilepaspisahkan dari kiprah ormas ini di tahun-tahun sebelumnya. Nyatanya, sekitar tahun 2012, nama HTI sempat mencuat ke permukaan ketika DPR RI membahas Undang-Undang (UU) Ormas. Saat itu, persoalan yang menjadi perdebatan adalah terkait sumber pendanaan beberapa ormas yang punya jaringan internasional yang disebut-sebut rawan menjadi tempat pencucian uang.

Beberapa lembaga dan organisasi nasional yang berafiliasi ke asing yang sempat disebut saat itu antara lain World Wide Fund (WWF), Green Peace, HTI, serta beberapa ormas dan LSM internasional lainnya.

Anggota DPR dari fraksi PKB saat itu, Abdul Malik Haramain  sempat  mengungkapkan bahwa dana asing yang beredar di Indonesia ternyata jumlahnya fantastis. Berdasarkan penelusuran Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) pada Mei 2011 misalnya, ada transaksi sebesar US$135 juta (Rp 1,9 triliun) dari pihak asing ke dalam negeri.

Jumlah ini tidak terlacak peruntukannya, dan diduga masuk ke ormas-ormas yang punya jaringan internasional tersebut. Transaksi ini diperkirakan masih terus berlangsung hingga sekarang dan jumlahnya diperkirakan juga terus meningkat.

Persoalan pendanaan ini juga menjadi perdebatan di antara banyak pihak terkait apakah HTI murni mendapatkan pendanaan dari sumbangan anggotanya – seperti yang selama ini diberitakan ke publik – atau adakah pengaruh afiliasi internasional yang juga menjadi sumber pendanaan ormas ini.

Dana dari Australia?

Jika menilik faktanya bahwa Hizbut Tahrir masih terus berkembang di beberapa negara dan belum dilarang, misalnya di Inggris dan Australia, sangat mungkin pendanaan HTI juga akan masuk dari dua negara ini.

Hizbut Tahrir di Inggris misalnya, mempunyai sekitar 11 ribu anggota dan faktanya selain mendapatkan pendanaan dari iuran anggota, ormas ini juga mendapat bantuan dari negara  dalam bentuk grant karena berbadan hukum resmi dan beraktivitas dengan damai (tidak melanggar hukum).

Hal ini pula yang membuat Hizbut Tahrir tidak dilarang sebab pemerintah Inggris hanya akan mengeluarkan larangan jika organisasi tersebut melakukan pelanggaran hukum. Dengan kesamaan basis organisasi dan tentu saja cita-cita, sangat mungkin HTI mendapatkan bantuan dan dari Hizbut Tahrir di Inggris juga.

Beberapa  pihak juga menyebut hubungan HTI dengan Hizbut Tahrir di Australia ternyata cukup dekat, mengingat pendirian Hizbut Tahrir di Indonesia adalah hasil pertemuan Abdullah Bin Nur (tokoh pendiri HTI) dengan aktivis Lebanon Abd al-Baghdadi yang sedang belajar di Australia. Al-Baghdadi juga dipercaya yang menyebabkan HTI menjadi ormas yang berdiri sendiri dan tidak berafiliasi dengan Hizbut Tahrir di Jordania.

Hal ini yang menguatkan dugaan bahwa aktivitas HTI juga sangat mungkin mendapatkan dana bantuan dari Hizbut Tahrir di Australia. Jika melihat pola pendanaan Hizbut Tahrir di Inggris yang sangat mungkin linear dengan Australia sebagai dua negara persemakmuran, sangat mungkin Hizbut Tahrir Australia juga mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk grant. Apakah hal itu berarti secara tidak langsung pemerintah Australia ikut mendanai HTI?

Baca juga :  Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Masih sulit untuk mengatakannya karena perlu bukti yang kuat untuk itu. Namun, gosip tentang persoalan pendanaan yang menyebutkan bahwa aktivitas HTI menjadi perpanjangan tangan Australia di Indonesia telah menjadi perbincangan di forum-forum diskusi tertutup. Jika melihat sejarahnya, dugaan ini tentu saja bukan isapan jempol.

Dari hubungan-hubungan tersebut, sangat mungkin persoalan yang menimpa HTI ini bukan hanya melibatkan kepentingan domestik dan ideologis semata. Lalu, apakah mungkin menyebut Australia sebagai bagian dari proxy war di Indonesia dengan menggunakan HTI?

Menilik buku putih pertahanan negeri kanguru ini, Indonesia hingga saat ini tetap dilihat sebagai ancaman. Mungkin, hal inilah yang membuat Jenderal Gatot Nurmantyo terus mencurigai peran negara ini di balik semua kondisi dan kekacauan politik domestik di Indonesia.

Apalagi HTI dipercaya menjadi salah satu motor penggerak aksi dahsyat dengan tajuk Bela Islam 411 dan 212. Pasca aksi itu, apa komentar Gatot?  Proxy war! Tidak mungkin seorang Panglima TNI yang disebut sebagai ‘yang paling paham tentang proxy war’ mengeluarkan pernyataan tanpa dasar.

Gatot juga menjadi salah satu orang yang selalu menaruh curiga terhadap Australia. Sangat mungkin agenda negeri kanguru itu di Indonesia dicapai dengan menggunakan HTI melalui grant-grant yang diberikan. Lalu, untuk apa? Perlu tulisan lain yang sama panjangnya dengan tulisan ini untuk membahas hal itu secara khusus.

Ormas Dilarang, Ideologi Jalan Terus?

HTI memang sedang berperkara. Namun, ideologi yang disebarluaskan nyatanya tidak bisa dengan mudah ditangkal. Gerakan yang linear dengan HTI tetap terus menguat apalagi di tahun politik ini.

Isu yang berhubungan dengan HTI masih akan menjadi komoditas politik yang seksi untuk digunakan. Konsep negara tanpa demokrasi, negara tanpa nation state, negara yang seperti pada zaman nabi, dan lain sebagainya masih akan menjadi idealisme tandingan untuk Pancasila dan NKRI. Di tangan ‘penggerak’ yang tepat, kapitalisasi isu ini akan berdampak sangat besar bagi kondisi negara setidaknya di dua tahun mendatang.

Yang jelas, perlu menjadi catatan bahwa isu tentang HTI tidak berdiri tunggal di bawah kaki ideologi semata. Selalu ada irisan kepentingan, baik dalam skala domestik, maupun dalam skala internasional yang saling kait mengait di belakangnya.

Hal ini penting untuk dipahami agar negara ini tidak diadu domba oleh tangan-tangan tertentu. Bagaimanapun juga, ketimpangan ekonomi dan sosial sudah lebih dari cukup menjadi pekerjaan rumah yang berat. Menimpa isu tersebut dengan agama memang akan mungkin menggerakkan perubahan struktur sosial masyarakat, namun akan mendatangkan chaos yang tidak kecil juga.

Pada akhirnya, isu HTI menang di pengadilan atau tidak menjadi tidak begitu penting. Yang paling penting adalah apakah pertautan ideologi akan membawa dampak positif untuk negara dan bangsa atau tidak, bukan begitu? (S13)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.