HomeNalar PolitikMonas: Anies Tabrak Aturan?

Monas: Anies Tabrak Aturan?

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengizinkan kembali kegiatan keagamaan dihelat di kawasan Monas. Padahal ada sejumlah aturan yang mengatur penggunaan kawasan tersebut.


PinterPolitik.com

[dropcap]L[/dropcap]antunan doa mengalun dari Monumen Nasional (Monas) pada Minggu malam(26/12/2017). Lagu-lagu Islami berkumandang bergantian di ikon kota Jakarta tersebut. Zikir pun tak henti-hentinya terucap di malam itu. Ribuan orang hanyut dalam suasana khusyuk.

Begitulah suasana yang terangkum dalam acara bertajuk Tausiyah Kebangsaan di Silang Monas. Acara tersebut dihadiri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wakil Gubernur Sandiaga Uno, Habib Luthfi bin Yahya, dan sejumlah ulama serta tokoh lainnya.

Acara tersebut sendiri menjadi penanda berakhirnya larangan kegiatan keagamaan di lingkungan Monas. Sebelumnya warga dilarang melakukan kegiatan keagamaan di tugu karya arsitek Friedrich Silaban tersebut. Beragam aturan dibuat agar kawasan tersebut tetap netral dari kegiatan di luar kegiatan nasional.

Meski disambut positif, langkah Anies ini menimbulkan tanda tanya. Ada alasan mengapa gubernur pendahulunya melarang kegiatan di Monas. Terdapat sejumlah aturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan di tugu ini. Akankah Anies terjegal sanksi akibat langkahnya ini?

Memenuhi Janji Kampanye

Langkah Anies menghadirkan kembali kegiatan keagamaan di wilayah sekitar tugu setinggi 132 ini merupakan upayanya dalam memenuhi janji kampanye. Pada Pilgub DKI lalu, salah satu janji yang ia jual adalah mengaktifkan kembali monas untuk kegiatan keagamaan.

Janji tersebut ia ungkapkan dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan sejumlah tokoh-tokoh agama Islam. Tokoh-tokoh tersebut semula terbiasa melakukan acara di area tugu kebanggaan warga Jakarta tersebut.

“Malam hari ini sebuah janji berhasil dilunaskan pada semua,”

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta

Salah satu momen Anies menjanjikan kembali penggunaan kawasan monumen kebanggaan ini adalah saat ia menghadiri kegiatan yang dilaksanakan oleh Majelis Rasulullah. Kelompok zikir ini terkenal kerap menggunakan kawasan monumen ini untuk kegiatan mereka sebelum larangan diterbitkan. Jika Monas kembali dibuka untuk kegiatan keagamaan maka kelompok ini tentu akan diuntungkan.

Anies menyebut sebagai ruang publik seharusnya Monas terbuka untuk kegiatan apapun. Wilayah tersebut seharunsya tidak dilarang untuk menghelat kegiatan sosial, budaya, maupun keagamaan. Menurutnya tidak seharusnya ruang publik milik negara disterilkan dan tidak diperbolehkan untuk kegiatan masyarakat.

Sang Gubernur nampaknya mendambakan Monas menjadi serupa alun-alun yang di kota-kota lainnya. Ia menginginkan kawasan monumen ini menjadi tempat yang dapat dimanfaatkan warga untuk berbagai jenis kegiatan.

Ia menyebut bahwa langkahnya untuk mengembalikan kegiatan keagamaan ke monumen lambang perjuangan ini tidak akan bersifat diskriminatif. Nantinya tidak hanya satu agama saja yang boleh melaksanakan kegiatan di tempat tersebut.

Baca juga :  Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

Meski begitu, banyak pihak yang menyebut bahwa kebijakan ini hanya bersifat normatif saja. Pernyataan bahwa Monas terbuka untuk kegiatan agama apapun dipandang masih normatif. Anies dianggap abai terhadap realita relasi kuasa yang ada saat ini.

Banyak yang menduga bahwa pasca Monas dapat digunakan untuk kegiatan agama, maka penggunaannya akan lebih banyak dilakukan oleh kelompok mayoritas Islam. Terlebih kelompok ini memang sejak dulu terbiasa menggunakan kawasan tugu di kawasan Medan Merdeka tersebut.

Jika ini yang terjadi, maka pembukaan kawasan ini untuk kegiatan keagamaan dapat dipandang sebagai bentuk balas budi pada kelompok Islam yang menjadi basis pendukungnya. Monas menjadi alat untuk memberikan keuntungan pada segelintir orang saja yang memberikan dukungan pada saat Pemilu.

Secara umum kebijakan yang diambil Anies dapat direspons positif sejumlah warga. Terutama jika dilihat dari jumlah massa yang hadir pada acara Tausiyah Kebangsaan lalu. Selain itu, sempat ada petisi yang menghendaki pembukaan Monas untuk kegiatan keagamaan.

Monas dan Beragam Aturan Pengaturnya

Secara hukum landasan yang digunakan oleh Anies adalah Pergub yang ia terbitkan yaitu Pergub DKI nomor 186 tahun 2017. Pergub ini merevisi Pergub sebelumnya yaitu pergub nomor 160 tahun 2017 yang diterbitkan Djarot Syaiful Hidayat.

Meski menuai tanggapan positif, langkah Anies untuk memenuhi janji kampanyenya tersebut memiliki hambatan sejumlah aturan. Ada alasan mengapa gubernur pendahulunya enggan memberikan izin bagi kegiatan keagamaan di Monas.

Monas: Anies Tabrak Aturan?

Salah satu aturan yang membatasi kegiatan di area tersebut adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka di Wilayah DKI Jakarta. Pada Keppres tersebut disebutkan bahwa wilayah Monas adalah wilayah yang netral.

Menurut Gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wilayah monumen tersebut adalah wilayah netral sehingga tidak ada kegiatan swasta termasuk perkantoran. Menurutnya untuk kegiatan keagamaan telah tersedia Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Sementara untuk kegiatan aksi massa bisa dilakukan di Lapangan Banteng.

Pada Keppres tersebut disebutkan bahwa Monas adalah lambang dari perjuangan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu, kerap diartikan bahwa kegiatan yang tidak sesuai kepentingan bangsa tidak layak dilaksanakan di area tersebut. Jika penggunaan Monas untuk kegiatan agama hanya menguntungkan segelintir orang saja maka Monas sebagai lambang perjuangan bangsa tersebut menjadi terganggu.

Baca juga :  “Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Sebelum memutuskan untuk memberikan izin bagi kegiatan, Anies seharusnya berkoordinasi terlebih dahulu Komisi Pengarah yang diketuai Menteri Sekretaris Negara dan dilaporkan kepada presiden. Dalam hal ini Anies seharusnya meminta izin terlebih dahulu kepada presiden sebelum membuat aturan baru.

Kewajiban kawasan Monas untuk tetap steril juga tertuang pada peraturan lainnya. Pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2008 dan Keputusan Menteri Pariwisata tahun 2016 disebutkan bahwa Monas adalah obyek vital.

Sebagai obyek vital, Monas harus terbebas dari kegiatan yang berpotensi menimbulkan gangguan. Kerumunan seperti pada acara-acara yang bersifat besar kerapkali dikategorikan sebagai gangguan sehingga harus dijauhkan dari Monas.

Di tingkat lokal ada pula beragam SK Gubernur yang terlebih dahulu terbit terkait penggunaan kawasan ini. Salah satunya adalah SK Gubernur DKI Jakarta tahun 1993 yang menetapkan Monas sebagai kawasan cagar budaya.

SK lainnya yang menyebut larangan penggunaan Monas untuk kegiatan keagamaan, komersial, dan politis adalah SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 1994 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Taman Medan Merdeka (Monumen Nasional). Landasan hukum tersebut kemudian diperluas lagi ke dalam SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame Dalam Bentuk Baliho, Umbul-umbul, dan Spanduk di DKI Jakarta.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, kawasan tugu simbol perjuangan tersebut tergolong kepada white area. Hal ini berarti tidak boleh ada reklame, sponsor, dan spanduk yang bersifat komersial. Kawasan monumen ini juga berarti hanya dapat dipergunakan untuk acara kenegaraan seperti upacara.

Meski begitu, ada alasan keamanan tertentu yang dapat membuat kawasan ini digunakan untuk kegiatan tertentu. Keputusan ini harus dilakukan berdasarkan arahan pimpinan tinggi seperti Panglima TNI. Alasan keamanan ini pernah dilakukan untuk memindahkan aksi 212 dari Istana Negara ke kawasan Monas.

Meski ada berbagai aturan yang merintangi kebijakan Anies, aturan-aturan tersebut tidak merinci jelas sanksi yang akan ditimpakan kepada Sang Gubernur. Pada Keppres No.25 tahun 1995 misalnya hanya mengatur alur koordinasi dan pertanggungjawaban dalam pengelolaan kawasan Monas. Pada peraturan-peraturan lain juga tidak ada yang spesifik menyatakan larangan penggunaan kawasan tersebut untuk kegiatan apapun.

Terlepas dari kondisi-kondisi tersebut, Anies idealnya melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat untuk menggunakan kembali ikon nasional tersebut. Jika memang menghendaki perubahan Keppres, Anies bisa saja mengusulkan niatnya tersebut untuk dibahas oleh Presiden. (Berbagai sumber/H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...