HomeNalar PolitikErdoğan Sebenarnya “Agen Rahasia” Putin?

Erdoğan Sebenarnya “Agen Rahasia” Putin?

Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg terus melobi Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan terkait dengan keanggotaan Swedia di NATO yang di veto oleh Turki. Erdoğan menuduh Swedia melindungi kelompok Kurdistan yang di cap Turki sebagai teroris. Lantas, benarkah motif Turki menolak Swedia bergabung ke NATO hanya terkait Kurdistan? Atau adakah intrik politik lain di belakang itu?


PinterPolitik.com 

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan sampai saat ini masih menolak Swedia masuk sebagai anggota NATO. Erdoğan beralasan negara skandinavia itu melindungi Partai Buruh Kurdistan (PKK), kelompok yang masuk daftar hitam Turki dan negara sekutu Barat. 

Namun, baru-baru ini Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg mengungkapkan kemajuan terkait status keanggotaan Swedia setelah bertemu Erdoğan di Istanbul. 

Stoltenberg mengatakan Erdoğan mulai melunak setelah bersedia untuk melakukan pertemuan dengan pihak Swedia yang akan digelar beberapa hari kedepan. 

Melunaknya sikap Erdoğan disinyalir terkait dengan Swedia yang telah mengamendemen undang-undang antiteror mereka dan harus dilaksanakan per 1 Juni 2023. 

Stoltenberg mengatakan Swedia telah menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan NATO. Oleh karena itu, menurutnya, sudah tidak ada alasan bagi Turki untuk menolak Swedia. 

Dengan kata lain, secara teknis masih ada cukup waktu untuk mendapatkan persetujuan Parlemen Turki agar Swedia masuk NATO hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para pemimpin NATO di Vilnius, Lithuania pada 11-12 Juli 2023. 

nato finlandia swedia selamat bergabung ed.

Seperti yang diketahui sebelumnya, Swedia dan Finlandia telah mengajukan keanggotaan ke NATO karena khawatir terhadap agresi Rusia ke Ukraina. 

Namun, hanya Finlandia yang telah disetujui masuk sebagai anggota NATO. Sementara, pengajuan Swedia ditolak oleh Turki dan Hungaria. 

Turki menolak dengan alasan seperti yang disebutkan diatas, namun Hungaria tidak menjelaskan secara resmi alasan mereka menolak Swedia. 

Akibat penolakan Turki itu, muncul demonstrasi anti-Turki hingga aksi pembakaran Alquran di Kedutaan Besar (Kedubes) Turki di Stockholm. Setelah kejadian itu, hubungan Turki dan Swedia sempat memanas. 

Dalam aturan NATO, pengajuan keanggotaan baru harus melalui keputusan semua anggota tanpa terkecuali. 

Turki sebagai lima besar anggota dengan kekuatan militer prominen di NATO dianggap memegang peranan penting dalam pakta pertahanan tersebut. 

Ditambah, kedekatan Erdoğan dengan Putin yang selama ini tampak secara tidak langsung menjadi penghubung antara NATO dan Rusia setelah terjadinya konflik Rusia-Ukraina. 

Lalu, mengapa Turki tampak masih belum menyetujui Swedia untuk bergabung ke NATO? Mungkinkah memang ada peran Rusia dalam keputusan Turki itu? 

Ada “Sentuhan” Putin? 

Turki sebagai negara anggota NATO yang terletak di Laut Hitam memegang peranan penting dalam hubungan pakta pertahanan itu dengan Rusia. 

Karena keuntungan tersebut, Turki dapat dengan mudah merencanakan arah kebijakan luar negeri mereka. 

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?

Jerry Indrawan dalam bukunya Studi Strategis dan Keamanan menyebutkan perumusan strategi pembangunan suatu negara demi kepentingan nasionalnya dengan memperhitungkan kondisi dan konstelasi geografi sebagai faktor utama disebut dengan geostrategis. 

infografis putin sharing nuklir nato hipokrat

Jerry menambahkan, dalam merumuskan strategi tersebut juga perlu memperhatikan kondisi sosial, budaya, penduduk, sumber daya alam, lingkungan regional maupun internasional. 

Arah geografis dari kebijakan luar negeri sebuah negara juga sangat terkait dengan sistem internasional. 

Berkaca dari penjelasan tersebut, letak geografis Turki yang sangat strategis dalam proyeksi maupun scenario di konflik Rusia-Ukraina membuat Turki mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang baik sebagai anggota NATO. Selain faktor kekuatan militer Turki yang dibutuhkan NATO tentunya. 

Erdoğan kiranya sangat cerdik merumuskan strategi dan kebijakan luar negeri Turki dengan memperhatikan kondisi negaranya. 

Erdoğan agaknya menyadari arah kebijakan luar negeri yang akan dia rumuskan akan mempengaruhi NATO karena kedekatan Erdoğan dan Putin yang membuat hubungan kedua negara cukup positif sekaligus merupakan salah satu negara yang memegang pengaruh dalam pakta pertahanan tersebut. 

Ketika Rusia melakukan invasi ke Ukraina, Erdoğan memang mengecam serangan dan meminta Rusia menghentikan serangan. 

Namun, Erdoğan tak pernah lebih keras dari mengeluarkan kecaman itu seperti negara-negara NATO lainnya yang ramai-ramai menjatuhkan sanksi kepada Rusia. 

Bahkan, Erdoğan justru mengecam sikap NATO dan negara Barat lainnya yang dianggapnya tak bijak dalam menghadapi konflik Rusia-Ukraina dan menurutnya justru terkesan provokatif. 

Meskipun Turki tergabung dalam NATO, namun Erdoğan tampaknya tidak mau gegabah menyikapi tindakan Rusia tersebut karena faktor kedekatannya dengan Putin. 

Faktor kedekatan ini yang kemungkinan juga menjadi salah satu penyebab Erdoğan masih enggan menerima Swedia bergabung dengan NATO. 

Sebelumya, Putin mengecam NATO yang mulai mengekspansi negara-negara yang berbatasan dengan Rusia karena akan mengancam keamanan mereka. 

Erdoğan yang melihat Putin tidak senang atas hal itu seakan-akan mencoba menahan Swedia yang juga secara kebetulan terkait dengan Partai Buruh Kurdistan (PKK) karena masuk daftar kelompok teroris Turki. 

Kedekatan Erdoğan dan Putin memang sudah terjalin cukup lama. Everett Shirtliff dalam tulisannya yang berjudul Imperial Evolution: The Putin-Erdoğan Quandary mengatakan kesamaan pandangan antara Erdoğan dan Putin tentang pengaruh dunia Barat melandasi eratnya hubungan kedua pemimpin tersebut. 

Shirliff menjelaskan Putin dan Erdoğan tidak mencari ekspansi, tetapi degradasi pengaruh Barat. Tujuan bersama ini telah menyatukan kedua pemimpin, yang keduanya sekarang membentuk “persaudaraan kuat” secara informal. 

Melalui kesamaan pandangan tentang Barat dan populisme, Erdoğan dan Putin seolah mengukuhkan diri sebagai “duri dalam daging” di pihak Barat. 

Selain persamaan pandangan, berbagai kerja sama dalam sektor strategis yang dilakukan kedua negara juga jamak dinilai sebagai salah satu faktor lunaknya sikap Erdoğan ke Rusia meskipun negara itu tergabung sebagai anggota NATO. 

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Rusia merupakan pemasok utama gas alam untuk kebutuhan energi Turki. Kedua negara menjalin kerja sama dengan membuka jalur pipa gas bersama melalui Laut Hitam sepanjang 930 kilometer yang akan mengalirkan pasokan gas dari Rusia ke Turki. 

Dengan jalur itu memungkinkan Rusia untuk mengirimkan gas alam mereka sampai Eropa selatan dan tenggara. 

Atas dasar itu, ancaman terhadap Rusia kemungkinan besar dilihat Erdoğan sebagai ancaman juga bagi kepentingan nasionalnya. 

Lalu, apa keuntungan yang di dapat Erdoğan ketika dekat dengan Putin dan menolak keanggotaan Swedia di NATO? 

tok erdogan tiga periode

Demi Beking Kelompok Nasionalis? 

Kemenangan yang diraih Erdoğan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Turki minggu lalu tak lepas dari keberhasilan dirinya meraih suara dari kelompok nasionalis. 

Seperti yang sudah disebutkan pada artikel Sakti, Rahasia Tiga Periode Erdoğan?, suara kelompok nasionalis adalah kunci dalam Pemilu Turki. Citra Erdoğan yang religius dan konservatif membuat dirinya juga harus dapat meyakinkan kelompok nasionalis. 

Isu stabilitas nasional kebesaran bangsa, hingga pengaruh Turki di panggung internasional membuat Erdoğan dapat menarik pemilih kaum nasionalis. 

Kini, setelah terpilih kembali, Erdoğan seolah mempunyai “hutang” untuk merealisasikan janji kampanyenya tersebut kepada kaum nasionalis. 

George Lawson dan Robbie Shilliam dalam karyanya berjudul Sociology and International Relations: Legacies and Prospects menjelaskan jika, mereka yang mengetahui dan menerapkan sosiologi internasional dengan baik akan menjadi pemenang permanen dari perjanjian internasional. 

Selain itu, Abdullah Murat Tuncer dalam tulisannya berjudul Unclear International Agreements: It’s a Sociopsychological and Domestic Political Phenomenon menjelaskan sikap “veto” Turki terhadap Swedia untuk menjadi anggota NATO diselesaikan dengan cara memuaskan gengsi Erdoğan secara psikologis dengan bantuan negara-negara NATO. 

Melihat dua penjelasan diatas, terlihat bahwa Erdoğan dapat memainkan sosio-psikologis dengan baik untuk memuaskan gengsi dan tujuan politiknya kepada kaum nasionalis Turki. 

Erdoğan mencoba memuaskan kaum nasionalis Turki dengan menolak Swedia bergabung dengan NATO dengan alasan menjadi “surga teroris” kelompok PKK yang juga memang dibenci oleh para kaum nasionalis Turki. 

Melalui cara yang mengaitkan Swedia dengan PKK hingga pada akhirnya juga berdampak pada seolah meningkatnya peran Turki dalam percaturan politik internasional membuat citra Erdoğan dalam kelompok nasionalis semakin baik. 

Erdoğan akan di pandang bukan hanya sebagai pemimpin yang religius dan konservatif, tapi juga akan dikenal sebagai pemimpin yang peduli dan mengembalikan kebesaran bangsa Turki di dunia. 

Menarik untuk melihat sejauh mana lobi yang dilakukan Sekjen NATO kepada Erdoğan akan benar-benar berhasil sehingga Swedia dapat menjadi anggota NATO sebelum KTT NATO di Vilnius. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?