HomeNalar PolitikRUU Perampasan Aset, Jurus Ampuh Mahfud?

RUU Perampasan Aset, Jurus Ampuh Mahfud?

Dalam rapat bersama DPR, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta agar Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset untuk didorong agar segera disahkan. Mengapa ini bisa jadi jurus ampuh Mahfud?


PinterPolitik.com

Beberapa bulan ke belakang, kasus-kasus marak bermunculan terkait tindak pidana keuangan. Dimulai dari transaksi mencurigakan di tubuh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), lalu anak pejabat yang memamerkan harta, hingga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh Rafael Alun Trisambodo yang sekarang sedang berlangsung diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menekankan bahwa untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset – yang mana berujung pada pernyataan dari Ketua Komisi III DPR Bambang “Pacul” Wuryanto atas permintaan Mahfud MD terkait pengesahan RUU Perampasan Aset bahwa, untuk melakukan pengesahan, harus melobi para ketua partai politik karena anggota DPR hanya menjalankan tugas sesuai perintah dari ketua partai.

Hal ini yang membuat diskursus terkait pengesahan RUU Perampasan Aset kembali mencuat ke publik, yang mana Presiden Joko Widodo pun menekankan kepada pejabat-pejabat yang berkepentingan untuk segera dilakukan pembahasan dengan DPR. Melihat situasi dan kondisi dengan momentum tinggi maraknya kasus kejahatan keuangan, ditambah dengan animo masyarakat yang selalu antusias dan hadir untuk mengawal jalannya kasus-kasus yang viral di media sosial, tampaknya ini sebagai waktu yang tepat untuk pemerintah segera melakukan pengesahan RUU Perampasan Aset tersebut.

RUU Perampasan Aset sudah digaungkan semenjak tahun 2003, yang mana ketika itu Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi dan diratifikasi lah konvensi tersebut dengan akhirnya membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption. 

Apabila sudah menandatangani konvensi tersebut, maka RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah harus ada. Namun, pada saat itu, RUU Perampasan Aset masih belum berhasil disahkan.

RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah selesai di tahun 2010 pada saat itu, sesuai dengan pernyataan Yenti Ganarsih sebagai salah satu ahli yang terlibat dalam tim pembuatan RUU Perampasan Aset. Namun, sayangnya, RUU tersebut hanya menjadi sambil lalu saja dan keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa adanya pengesahan.

Satgas TPPU Mahfud KPK Ditinggal

Kira-kira, kenapa hingga saat ini UU Perampasan Aset belum disah kan juga? Mungkinkah ada kepentingan politik yang “menjegal” pembahasan dan pengesahan RUU tersebut?

RUU Perampasan Aset “Mengganggu”?

Ada sebuah teori yang menarik untuk dibahas, yaitu teori clientpatron. Adapun teori ini dijelaskan oleh James C. Scott dalam jurnalnya yang bertajuk Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.

Dalam jurnalnya, Scott menjelaskan bahwasanya terdapat sebuah hubungan timbal balik antara Patron yaitu pihak yang memiliki kekuatan, kekuasaan, uang, dan status sosial, dengan client – yaitu pihak yang statusnya lebih lemah namun sebagai timbal balik akan memberikan bantuan dan jasa apapun yang dia bisa demi kepentingan sang patron.

Scott menjabarkan bahwa hubungan patron-klien – hubungan pertukaran antara peran – dapat didefinisikan sebagai kasus khusus ikatan diadik (dua orang) yang melibatkan persahabatan yang sebagian besar bersifat instrumental di mana seorang individu dengan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya sendiri untuk memberikan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien). 

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Pada gilirannya, klien membalas dengan menawarkan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk layanan pribadi, kepada sang patron. Apabila dilihat dari teori ini, sepertinya dapat disimpulkan bahwa teori patronclient sebagai sebuah simbiosis mutualisme antara dua pihak.

Lembaga modern seperti birokrasi dan partai politik di Asia Tenggara kerap kali benar-benar dikuasai oleh jaringan informal patron-klien yang merusak struktur otoritas formal. Dinamika jaringan aliansi pribadi sama pentingnya dalam realitas sehari-hari institusi nasional maupun dalam politik lokal, yang mana perbedaan utamanya hanyalah bahwa jaringan semacam itu disamarkan dengan lebih rumit oleh fasad atau wajah yang formal di institusi modern.

Dukungan pada Mahfud Semakin Membludak

Oleh karena itulah, analisis dari patron-klien di sini menjadi penting – yang mana menjelaskan bahwa setiap birokrasi khususnya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih membentuk aturan main berdasarkan hubungan patron-klien, yang mana klien dalam hal ini pemerintah membuat regulasi yang menguntungkan bagi patronnya.

Jadi, mungkinkah RUU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan karena merugikan para pihak yang berkuasa? Lantas, bila bisa berhasil disahkan, apakah ada konsekuensi politis lanjutannya?

Jadi Jurus Ampuh ala Mahfud?

Tampaknya, apa yang dijelaskan dalam teori clientpatron betul berkorelasi, klien atau pemerintah yang kekuatan ekonominya berada di bawah patron atau pengusaha tidak akan mau mengesahkan aturan yang dapat merugikan patronnya. Namun, apabila dilihat secara substansi RUU Perampasan Aset, ini sangat memudahkan negara untuk mengusut dan mengambil alih harta yang diperoleh secara tidak sah oleh pihak yang melakukan kejahatan keuangan. 

Penting untuk mengetahui bahwa payung hukum yang dapat merampas aset para penjahat keuangan belum ada – yang mana masih membutuhkan adanya tindak pidana. Barulah harta yang diperoleh dengan ilegal dapat diambil. 

Sekiranya RUU Perampasan Aset ini disahkan, maka koruptor akan ketakutan karena aturannya yang dapat memiskinkan para pelaku kejahatan ini. Dan tidak ada lagi keperluan untuk menunggu adanya tindak pidana dilakukan untuk merampas aset ilegal tersebut, dan kemungkinan yang melakukan tindak pidana korupsi akan berpikir dua kali, karena RUU Perampasan Aset memberikan unsur hal yang menakutkan di dalam pemerintahan untuk melakukan tindakan yang sejenis.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 

Dibutuhkan waktu yang lama untuk akhirnya RUU Perampasan Aset mulai dibahas, bukan tidak mungkin, dikarenakan pelaku korupsi masih memiliki banyak proyek dan tidak mau kehilangan kesempatan. Kemungkinan juga sangat ada bahwa sampai detik ini masih ada pelaku tindak kejahatan keuangan yang terus melaksanakan kegiatannya dikarenakan hukuman yang akan diterima lebih kecil apabila dibandingkan dengan keuntungan materi yang dia dapatkan.

Tampaknya, untuk kepentingan negara, diperlukan kerja sama dari seluruh pihak, baik pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam penegakkan aturan. Apabila RUU Perampasan Aset ini disahkan kemungkinan dapat membuat jera para koruptor, dan dibutuhkan pemerintah yang memiliki prinsip untuk dapat membasmi kejahatan keuangan ini.

Semudah Itu Mahfud MD Jadi Cawapres

Sejalan dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, tentunya selain memberikan nuansa ketakutan bagi para koruptor, ada pula pihak yang bisa memetik keuntungan dari disahkan nya RUU Perampasan Aset. Mahfud MD yang bertanggung jawab atas kemungkinan di sahkan nya RUU ini sudah pasti akan mendapatkan citra yang baik di masyarakat.

Selain citra yang baik hal ini juga bisa menjadi legacy dari Mahfud MD untuk siapapun yang selanjutnya akan meneruskan kursi pemerintahan. Hal ini sekaligus memperkuat posisi Mahfud MD dan menjadi modal politik ke manapun beliau akan melangkah, baik di jabatan strategis, atau bahkan apabila Mahfud MD mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Christian Fong, Neil Malhotra, dan Yotam Margalit dalam tulisan mereka yang berjudul Political Legacies. Setidaknya, setiap politisi ingin meninggalkan warisan politik sebelum dirinya berhenti menjabat.

Bukan tidak mungkin, hal ini juga berlaku pada Mahfud. Sebelum akhirnya berhenti menjabat sebagai Menko Polhukam, UU Perampasan Aset yang didorongnya bisa saja menjadi warisan berdampak bagi politik anti-korupsi.

Selain itu, Fong dan rekan-rekannya menyebutkan bahwa warisan ini juga bakal terus mengisi diskursus politik ke depannya. Boleh jadi, dengan UU Perampasan Aset, Mahfud mampu terus menjadi sosok yang dibicarakan usai tidak lagi menjabat sebagai Menko Polhukam.

Ini juga menjadi jawaban bagi karier politik Mahfud. Diskursus yang terus berlanjut membuat Mahfud masih pantas untuk dijadikan sosok yang diperhitungkan untuk jabatan publik selanjutnya.

Tentu, hingga kini, belum ada yang dapat memprediksi langkah apa yang akan diambil oleh Mahfud. Namun, sangat menarik untuk diikuti alur perjalanan pemain politik republik ini dan akan kita lihat ke mana ceritanya akan berlabuh. (S93)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Melihat Gibran dari “Sendoknya”

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dinilai buat panik PDIP usai bertemu dengan Prabowo Subianto. Apakah ini berkat "sendok" Gibran?

Moeldoko Makin Pojokkan Anies?

Kasus perebutan Demokrat kembali dilanjutkan ke peninjauan kembali (PK) di MA. Mungkinkah ini upaya Moeldoko makin pojokkan Anies?

Sudah Benar Bima Ngungsi ke Australia?

TikToker Bima (Awbimax) berencana daftar protection visa di Australia. Mungkinkah ini berdampak pada citra Indonesia di negara-negara lain?