HomeNalar PolitikBenarkah Antikorupsi Mahfud Gebrakan Semu? 

Benarkah Antikorupsi Mahfud Gebrakan Semu? 

Di tengah skeptisnya masyarakat atas masalah korupsi di Indonesia, Menko Polhukam Mahfud MD seolah tampil sebagai “hero” yang berani mengungkap transaksi janggal di Kemenkeu. Atas sikapnya ini ia mendapat pujian dari berbagai pihak dan dianggap layak untuk maju dalam Pilpres 2024. Namun, apakah jiwa “heroisme” yang dimiliki Mahfud memiliki motif tertentu? 


PinterPolitik.com 

Ditengah munculnya kritik dan ketidakpuasan atas kinerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggulangi korupsi, terdapat satu hal yang menarik. Muncul seseorang dari dalam pemerintahan yang akhirnya “turun gunung” atas masalah korupsi di Indonesia, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD. 

Tidak hanya sekadar menyampaikan kampanye seperti yang dilakukan para politisi pada umumnya, Mahfud juga berani mengungkap transaksi janggal ratusan triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

Dalam rapat bersama DPR, ia juga terang-terangan mengungkapkan praktik korupsi seringkali terjadi di lembaga-lembaga pemerintah seperti Bea Cukai, Perpajakan, pengadilan, bahkan DPR itu sendiri. 

Keberanian Mahfud membuka kebobrokan di pemerintahan sontak mendapatkan dukungan dan pujian dari banyak pihak. 

Menariknya, atas keberanian itu, Mahfud juga digadang-gadang layak untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024 karena diharapkan mampu memberantas masalah korupsi di Indonesia. 

Namun, apakah keberanian Mahfud ini hanyalah sekedar politisasi wacana antikorupsi belaka? Lalu, jika benar Mahfud dipilih menjadi kandidat, sebagai calon wakil presiden, misalnya, apakah dirinya tetap berani dan kritis atas permasalahan korupsi di kabinetnya sendiri? 

satgas tppu mahfud kpk ditinggal

Curiga Kampanye Antikorupsi? 

Sebelum masuk kepada analisis kemungkinan motif tertentu di balik pengungkapan kasus transaksi janggal dan langkah agresifnya menangani transaksi janggal di Kemenkeu, menelisik impresi publik atas tajuk “korupsi” itu sendiri kiranya dapat menjadi pintu masuk pertama. 

Apabila berkaca dari hasil dari indeks persepsi korupsi selama ini, responden yang juga merupakan masyarakat telah menunjukan sikap pesimisme terhadap cara pemerintah mengatasi korupsi di Indonesia. 

Seperti impresi kasus pencucian uang oleh mantan pejabat Dirjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang mungkin tidak akan terungkap tanpa adanya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anaknya Mario Dandy. 

Keterlibatan netizen yang saat ini berubah menjadi aktivisme digital-lah yang dinilai berhasil mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan penyidikan. 

Lambatnya penyelesaian kasus korupsi yang baru dilakukan hanya saat viral membuat masyarakat agaknya mulai bosan dengan berbagai wacana antikorupsi yang sering diucapkan politisi atau lembaga pemerintah.  

Daniel Smilov dalam artikelnya berjudul Anticorruption agencies: expressive, constructivist and strategic uses menyebut wacana antikorupsi sering dimanfaatkan oleh pemerintah atau politisi untuk kepentingan politik mereka. 

Baca juga :  Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Meski tentu dapat menjadi visi yang menjadi kerangka kerja jika seorang politisi terpilih, wacana antikorupsi pun biasanya memiliki tujuan yang di kemudian hari hanya terkesan sekadar untuk menarik simpati dari masyarakat.  

Itu agaknya dapat dilihat dalam acara debat Pilpres 2019 putaran pertama saat Jokowi dan Prabowo Subianto sama-sama menyampaikan gagasan mereka mengenai strategi penanggulangan korupsi.  

Mahfud MD: the Next Cicero?

Dalam debat tersebut, Jokowi berjanji akan memperkuat posisi KPK dan mendorong kerja sama lembaga antirasuah itu dengan lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan dan Kepolisian. 

Sementara itu, Prabowo melihat pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menaikkan gaji para penegak hukum dan pejabat publik. 

Zuhairan Yunmi Yunan dalam artikelnya berjudul Isu korupsi dalam debat pilpres: tidak terlihat komitmen Jokowi dan Prabowo untuk berantas korupsi menyebut baik Jokowi dan Prabowo tidak memiliki strategi yang konkret dalam penyelesaian korupsi di Indonesia. 

Hal ini berdasarkan fakta bahwa di masa pemerintahan Jokowi 2014-2019 koordinasi antarlembaga masih buruk sementara kasus korupsi terus bermunculan. 

Sementara di sisi lain, strategi yang disampaikan Prabowo dianggap menyederhanakan masalah korupsi, berbanding terbalik dengan presumsi peneliti Amerika Serikat (AS) Jack Bologne yang mengatakan korupsi terjadi karena keserakahan. 

Di tengah krisis kepercayaan di masyarakat atas kampanye antikorupsi itulah, Mahfud seolah muncul sebagai elite pemerintah yang mengakui ketidakberesan di pemerintah dengan melakukan tindakan konkret, yaitu dengan membentuk satgas pencucian uang. 

Gebrakan Mahfud tampaknya menghasilkan karisma tersendiri yang menarik perhatian positif masyarakat. 

Barnes dalam jurnalnya berjudul Charisma and religious leadership: An historical analysis berpendapat karakteristik unik yang bisa menjawab permasalahan sosial dapat membentuk karisma dari seorang pejabat publik maupun politisi. 

Karisma unik yang dimiliki Mahfud telah menunjukan adanya pembeda antara dirinya dengan para pejabat publik maupun politisi lain yang dianggap masyarakat cenderung hipokrit dan tidak mau terbuka atas masalah di institusi mereka masing-masing. 

Terlebih, di tengah proses politik 2024 untuk menentukan kandidat pemimpin bangsa yang benar-benar mendapat simpati positif dari para pemilih. 

Namun, pertanyaannya, andai dipinang menjadi kandidat, katakanlah sebagai cawapres, apakah dirinya akan tetap mempertahankan karismanya sebagai elite yang terbuka, anti korupsi, dan berbeda dari para pemimpin negara di era sebelumnya? 

infografis mahfud mendadak cawapres lagi

Menanti Konsistensi Mahfud 

Nama Jokowi mulai dikenal masyarakat sewaktu ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bersama wakilnya, Ahok, Jokowi mendapatkan pujian dari berbagai kalangan karena dianggap berani mengungkap kasus-kasus rasuah di level pemerintah daerah.  

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Kepopulerannya yang tegas dalam mengatasi korupsi lantas menjadi salah satu variabel yang membuat banyak pihak merekomendasikan Jokowi sebagai kandidat RI-1 yang berujung kemenangannya di Pilpres 2014. 

Sayangnya, karakter hero Jokowi sebagai simbol dan sosok yang antikorupsi kemudian dinilai kian luntur setelah dirinya menjabat sebagai presiden. Hal yang paling terlihat adalah ketika mantan Wali Kota Solo itu menyetujui revisi UU KPK yang akhirnya dianggap memperlemah lembaga pencegahan korupsi itu. 

Berkaca dari case Jokowi, mungkin saat ini banyak yang memuji keberanian Mahfud untuk mengungkap korupsi di kalangan elite. Namun, bukan tidak mungkin dirinya bisa menjadi sosok yang berbeda begitu merengkuh posisi seperti cawapres. 

Kriminolog asal Amerika Walter Reckless dalam teorinya containment theory menjelaskan terdapat dua mekanisme pertahanan dalam diri individu yang dapat mencegahnya terlibat dalam perilaku kejahatan yaitu internal containment dan external containment.  

Selain itu, dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Mahfud Cicero-nya Indonesia? dijelaskan bahwa latar belakang Mahfud MD sebagai seorang pengacara dapat membuatnya memiliki idealisme yang dapat dipertahankan. 

Idealisme yang dipegang teguh oleh Mahfud sebagai pengacara dapat menjadi internal containment sehingga mencegahnya terlibat untuk memudahkan tindakan korupsi di pemerintahan ketika mendapatkan amanat yang lebih besar. 

Namun, bagaimana dengan aspek  external containment? Ini kiranya bisa dijawab dengan melihat realita struktur birokrasi pemerintahan serta orang-orang di dalamnya.  

Apabila mengutip pemikiran dari kriminolog Richard Quinney, sebuah organisasi baik pemerintah maupun swasta pada dasarnya memiliki sifat kriminogenik.  

Graham Brooks dalam bukunya Criminology of Corruption menjelaskan struktur organisasi seringkali menekankan pencapaian tujuan kepada para anggotanya. 

Tuntutan tinggi dalam mencapai tujuan organisasi seringkali membuat para anggotanya melakukan cara menyimpang termasuk korupsi. 

Apabila melihat kembali mengapa Jokowi akhirnya merevisi UU KPK, boleh jadi hal itu tidak bisa dilepaskan dari berbagai tekanan yang muncul dari sesama elite politik dan pemerintahan.  

Alasan disetujuinya revisi UU KPK oleh Jokowi sendiri berdasarkan keterangan Kepala Kantor staf Presiden Moeldoko salah satunya dikarenakan untuk memudahkan investasi. Orientasi atas tujuan keuntungan ekonomi dari kegiatan investasi menjadi alasan bagi sesama elite pemerintah dianggap oleh mereka yang tak sepakat dengan revisi sebagai pembenaran yang justru melemahkan KPK.  

Kuatnya tekanan dari para elite bisa saja membuat internal containment berupa idealisme yang dimiliki oleh Mahfud kemudian tak lagi menemui relevansinya. 

Tinggal kini, terlepas dari persoalan elektoral, gebrakan Mahfud kiranya tetap harus didukung dan diawasi bersama agar tidak sekadar progresivitas semu belaka. (F92) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Kecupan Maut The 1975 di Tanah Melayu?

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan aksi ciuman yang dilakukan oleh vokalis band The 1975 Matty Healy dengan rekan  pemain bassnya Ross MacDonald ketika sedang...

Tembak Mati, Bobby Sedang Pansos?

Maraknya kasus begal di Medan mendorong Wali Kota Medan Bobby  Nasution kemudian mengeluarkan gagasan agar menembak mati para pelaku begal. Meskipun mendapat kritik karena...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...