HomeNalar PolitikPantaskah Indonesia Menjadi Negara Khilafah?

Pantaskah Indonesia Menjadi Negara Khilafah?

Konsep Khilafah bukanlah sesuatu yang disepakati oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Akan tetapi kenapa Indonesia begitu menggebu-gebu ingin mengubah NKRI menjadi Khilafah? Apa mungkin karena kurangnya pengetahuan tentang khilafah tersebut?


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]S[/dropcap]udah beberapa pekan yang lalu ormas yang diduga Anti-Pancasila, Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh Pemerintah. Namun hingga kini Pemerintah belum menentukan kepastian langkah apa yang diambil jika ingin membubarkan ormas Anti-Pancasila lagi.

Wiranto menegaskan bahwa Pemerintah bakal mengambil langkah yang paling tepat dalam membubarkan ormas yang Anti-Pancasila. “Tidak usah anda tanya bagaimana caranya, dengan cara apa. Nanti saat dilaksanakan ada penjelasan yang rasional, konstitusional, tidak melawan hukum. Sabar saja. Waktu kan, relatif. Yang jelas secepatnya, lebih cepat, lebih baik. Ini kan, negara hukum. Sekolah enggak sih? Negara hukum itu semua berdasarkan hukum.

Pada saat ini, organisasi yang semangat membuat propaganda khilafah adalah ISIS dan HTI. Akan tetapi, menurut survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), ada 9,2 persen responden Indonesia setuju mengganti NKRI menjadi sistem kekhilafahan. Angka yang hampir mendekati 10 persen tentu patut membuat kita waspada.

Jumlah tersebut meningkat ketika responden mengetahui HTI. dukungan mendirikan khilafah mencapai melonjak tinggi jadi 11,2 persen, angka ini sama dengan total populasi nasional yang mencapai 8 juta orang. Meski tak sedikit pula yang mendukung pemerintah untuk membubarkan HTI, yakni 78,4 persen. Artinya sekitar 140 juta lebih, warga pemilih di Indonesia.

Terkait kelompok yang masih mengagungkan konsep khilafah, banyak yang ambigu dan tidak mengetahui secara jelas konsep khilafa tersebut.

Utopianisme Konsep Khilafah

Ide khilafah di Indonesia sudah gigih disuarakan oleh HTI sejak 20 tahun yang lalu, dan kini isu tersebut kembali mengemuka. Menurut Kapolri, Jenderal Tito Karnavian pernah menyebutkan di bulan November tahun lalu, ada indikasi pemanfaatan momentum bangkitnya pergerakan umat Islam yang dipicu kasus penodaan agama pada musim Pilkada DKI lalu. Baca : Pembubaran HTI, Pedang Bermata Dua

Terkait konsep khilafah tersebut, Ketua MUI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa di era modern ini belum ada negara yang mengusung ide tersebut. Karena konsep Khilafah ini bukanlah sesuatu yang disepakati oleh seluruh umat Islam di 23 negara Islam di seluruh dunia. Akan tetapi kenapa Indonesia begitu menggebu-gebu ingin merubah NKRI menjadi Khilafah.

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?

Mungkin juga karena kurangnya pengetahuan tentang khilafah tersebut. Karena sejarah mencatat bahwa konsep khilafah ini ada 2 periode, periode pertama adalah khilafah sebagai penerus ajaran Nabi Muhammad SAW yang diisi oleh para Khulafa ar-Rasyidin seperti Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah Umar Al-Khattab, Khalifah Ustman Bin Affan, Khalifah Ali Bin Abi Thalib, ditambah dua kepemimpinan dari Sayyidina Al Hasan Bin Ali dan Al Husein Bin Ali.

Masa berlakunya selama kurang lebih 30 tahun. Disebut juga sebagai Khilafah al-Rasyidah karena posisi mereka sebagai shahabat Nabi yang mendapat petunjuk. Dan memang ada pesan dari nabi untuk mentaati para Khalifah al-Rasyidah ini.

Sementara pada periode kedua ini diawali dengan berdirinya Khilafah Bani Umayyah yang berpusat di Syiria, tepatnya di kota Damaskus. Khilafah ini lahir 89 tahun setelah era Khulafah ar-Rasyidah selesai. Berdirinya Khilafah yang dipimpin oleh Mua’wiyah bin Abi Sufyan ini lahir dari cara licik Mua’wiyah yang memfitnah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berada dibalik kasus terbunuhnya Sayyidina Ustman Bin Affan dan membunuh Sayyidina Al Hasan dan Al Husein demi merebut tanduk kekuasaan khilafah.

Khilafah era kedua ini dipimpin pertama kali oleh Mu’awiyah (tahun 40-64 H/661-680 M) dan diakhiri oleh Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam (tahun 127-133 H/744-750 M). Pada masa ini merupakan masa peralihan dari pemerintahan khalifah Khulafa ar-rasyidin yang bersifat demokratis berubah ke sistem pemerintahan monarchi heredities atau sistem kerajaan yang turun temurun pada keluarganya.

Sistem khilafah monarki ini terus berlanjut hingga kerajaan Islam dipegang oleh Turki Ustmani pada 699 H/1299 M yang dipimpin oleh Ustman I dan kemudian dikenal sebagai dinasti Ustmaniyah. Dinasti memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir yaitu Abdul Hamid II.

Disinilah terlihat perbedaan, walaupun sama-sama berdasarkan konsep khilafah, namun khilafah di masa Khulafa ar-rasyidin berbeda dengan Khilafah di periode kedua yang dimulai sejak Mu’awiyah memimpin. Di masa Khulafa ar-rasyidin, khalifah itu ditunjuk sebagai pemimpin umat Islam di seluruh dunia yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan sistem pemerintahan demokrasi,

Namun khalifah periode kedua yang dimulai dari khilafah Bani Umaiyyah ini, mereka menjadikan khalifah itu sebagai seorang pemimpin negara dan kepemimpinannya ditunjuk secara turun temurun seperti yang sekarang dilanjutkan oleh kerajaan Arab Saudi dengan sistem pemerintahan monarchi heredities.

Menimbang Ide Khilafah Di Indonesia

Di Indonesia, hubungan Islam politik dan negara telah terjadi pertautan yang unik karena terjadinya sebuah kompromi. Hal tersebut bisa dilihat dari upaya membenturkan Islam politik dengan negara justru mengalami jalan buntu.

Baca juga :  Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Sejak masa rezim Soekarno hingga rezim Soeharto, partai-partai politik yang berlandaskan Islam dinilai sebagai suatu kekuatan yang potensial untuk merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan ini pula yang membuat pemerintah Indonesia sepanjang beberapa dekade berupaya keras untuk “menjinakan” partai-partai Islam.

Akibatnya, tidak saja para pemimpin Islam dan aktivis Islam politik yang gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada awal kemerdekaan dan pada akhir tahun 1950-an dalam perdebatan majelis konstitusi mengenai masa depan konstitusi Indonesia. Mereka pun harus menerima disebut sebagai kelompok minoritas atau disebut kelompok luar.

Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dilihat bahwa gerakan HTI dan aktivis pro khilafah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah pasti susah. Karena masyarakat Indonesia telah mempunyai konsepsi Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa.

Selain itu, mereka juga akan berhadapan dengan dua sayap besar organisasi politik Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah yang mempunyai jasa besar di Indonesia dan bekerja keras agar umat Islam menjadi umat yang moderat dan taat kepada Pancasila.

HTI Khilafah Yang Mana?

Jika dilihat berdasarkan sejarah khilafah juga HTI dan aktivis pro khilafah terkesan abu-abu ingin membentuk Indonesia berdasarkan Khilafah di periode yang mana? Jika yang pertama, sudah ada sistem demokrasi di Indonesia. Sementara periode kedua akan susah diterima di Indonesia, karena sudah terbukti bahwa sistem kerajaan tidak mampu untuk menyatukan bangsa. Jadi sudah jelas kedua periode khilafah tersebut sangat berbeda walaupun sama-sama berbasis agama Islam.

Jadi sangat tidak mungkin konsep khilafah diterapkan di Indonesia, karena landasan Pancasila dan slogan NKRI sudah mendarah daging di Indonesia. Pancasila juga dapat merangkul keutuhan NKRI karena sistem politiknya yang menjadikan negara berdasarkan pada kesamaan bangsa dan sejarah bukan karena kesamaan agama.

Jadi, marilah kita membuka mata. Karena untuk membenahi Indonesia bukan dengan mengganti konsep ideologinya melainkan dengan membangun mental dan pola fikir rakyatnya. Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan maka cita-cita Indonesia yang damai dan sejahtera bukan tidak mungkin akan segera terwujud. (A15)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

More Stories

Bukti Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”

PinterPolitik.com mengucapkan Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72 Tahun, mari kita usung kerja bersama untuk memajukan bangsa ini  

Sejarah Mega Korupsi BLBI

KPK kembali membuka kasus BLBI yang merugikan negara sebanyak 640 Triliun Rupiah setelah lama tidak terdengar kabarnya. Lalu, bagaimana sebetulnya awal mula kasus BLBI...

Mempertanyakan Komnas HAM?

Komnas HAM akan berusia 24 tahun pada bulan Juli 2017. Namun, kinerja lembaga ini masih sangat jauh dari harapan. Bahkan desakan untuk membubarkan lembaga...