HomeNalar PolitikAnies: Bukan Soal Arab-Jawa

Anies: Bukan Soal Arab-Jawa

Lagi-lagi, persoalan identitas dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dipersoalkan. Kali ini, politikus PDIP bernama Ruhut Sitompul mempersoalkan identitas ras dan etnis Anies setelah mantan Rektor Universitas Paramadina menikahkan putrinya, Mutiara Baswedan, dengan tradisi ala budaya Jawa.


PinterPolitik.com

“I just wanna be free. Not a slave to the stereotype” – Logic, “Black SpiderMan” (2017)

Bagi mereka yang gemar mendengarkan musik rap dan hip-hop, nama Logic mungkin bukanlah nama asing lagi. Rapper (penyanyi rap) satu ini terkenal dengan lirik-liriknya yang juga menyoroti isu-isu sosial di Amerika Serikat (AS).

Mungkin, kutipan lirik di awal tulisan bisa menggambarkan apa pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Logic kepada penggemarnya, yakni bagaimana stereotip dan kategorisasi berdasarkan identitas ras bukanlah hal yang melambangkan kebebasan.

Namun, siapa sangka bahwa pesan-pesan yang disampaikan Logic dalam lirik-liriknya ternyata juga didasarkan pada pengalaman pribadinya? Terlahir sebagai seorang biracial – tergolong dalam dua ras berbeda sekaligus, Logic merasa selalu dimasukkan ke kategori kelompok ras masing-masing – entah itu sebagai kelompok orang kulit putih atau kelompok Afrika-Amerika.

Tentu saja, stereotip sosial seperti ini mengekang individu yang dikotak-kotakkan berdasarkan komponen identitas yang dimiliki. Berkaca dari pengalaman buruk Logic, tentu banyak orang akan berharap agar hal yang sama juga tidak terjadi kepada orang lainnya.

Namun, sepertinya, situasi yang mirip mungkin kini tengah dihadapi oleh seorang politikus dan pejabat di Indonesia. Namanya adalah Anies Baswedan yang kini tengah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Bagaimana tidak? Beberapa waktu lalu, seorang politikus PDIP bernama Ruhut Sitompul mempersoalkan identitas Anies. Melalui akun Twitter-nya, Ruhut mempersoalkan budaya dan bahasa yang digunakan dalam pernikahan putri Anies, yakni Mutiara Baswedan.

Bagi Ruhut, meski upacara pernikahan tersebut menggunakan tradisi dan budaya Jawa, akad nikah tetap saja menggunakan Bahasa Arab. Maka dari itu, bagi politikus itu, tetap saja Anies adalah seorang yang memiliki identitas Arab.

Tentu saja, bagi sebagian orang, cuitan Ruhut dinilai bernada rasis. Pasalnya, penggunaan bahasa di luar Bahasa Indonesia belum tentu menjadikan diri mereka sebagai orang yang tidak termasuk dalam kelompok identitas Indonesia.

Anies Arab atau Jawa

Bisa jadi, apa yang dibilang Ruhut sebenarnya tidak perlu dibahas. Namun, mengapa narasi identitas seperti ini selalu muncul menghantui Anies? Mengapa sebenarnya wajar-wajar saja apabila Anies ingin menggunakan budaya Jawa dalam pernikahan putrinya?

Anies, Arab atau Jawa?

Ada sebuah ungkapan umum yang mengatakan bahwa akan menjadi lebih mudah untuk menemukan perbedaan dibandingkan mencari persamaan. Mungkin, sudah menjadi sifat alami manusia untuk merasakan dua hal yang secara kontras berbeda – misalnya hal-hal yang dipandang secara visual.

Baca juga :  Gibran, Wapres Paling Meme?

Warna hitam dan warna putih, misalnya, menjadi dua warna yang sangat kontras bila disejajarkan satu sama lain. Dengan perbedaan visual yang tajam, menjadi masuk akal apabila dua warna ini digunakan dengan fungsi demikian.

Dalam permainan catur, misalnya, warna hitam dan warna putih digunakan untuk membedakan dua kubu yang saling berlawanan. Tidak hanya catur, permainan modern seperti franchise Dynasty Warriors pun menggunakan warna yang berbeda-beda untuk membedakan kerajaan yang dimainkan dalam pertempuran.

Saking terbiasanya mencari faktor-faktor pembeda, kita pun akhirnya menerapkannya di kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dimensi sosial dan politik. Contoh yang paling kentara mungkin adalah gerakan Black Lives Matter yang sempat ramai diperbincangkan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2020 lalu.

Wajar apabila umat manusia akhirnya membeda-bedakan berdasarkan kelompok-kelompok – seperti ras, etnis, kebangsaan, dan sebagainya. Mengacu pada teori identitas sosial dari Henri Tajfel dan John Turner, seorang anggota masyarakat akan melakukan komparasi sosial guna menjadi dasar untuk melakukan kategorisasi sosial.

Mudahnya, seseorang akan menilai kesamaan yang dia miliki dengan kelompok-kelompok sosial. Bila cocok, dia akan menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.

Ganjar Anies Butuh The Next Luhut

Persoalan pembedaan identitas ini juga terjadi di Indonesia – misalnya narasi yang tersebar saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang berlangsung pada tahun 2017 silam. Kala itu, muncul narasi-narasi berbau identitas yang turut mengisi diskursus politik yang ada.

Bukan tidak mungkin, hal yang sama juga muncul dalam diskursus elektoral menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – mengingat Anies merupakan salah satu calon presiden (capres) potensial. Pernyataan Ruhut, misalnya, secara tidak langsung merupakan upaya untuk membentuk eksklusi terhadap Anies dari identitas mayoritas, yakni identitas Jawa.

Namun, dengan kebiasaan kita membeda-bedakan berdasarkan identitas-identitas tertentu – seperti yang dilakukan oleh Ruhut, mengapa kita tidak belajar saja dari pengalaman Logic? Memangnya, apakah benar identitas selalu ditetapkan dan dikotak-kotakkan sedemikian rupa?

Anies Sebenarnya Juga Jawa?

Bila berbicara soal identitas, tentu kata-kata seperti “kepastian”, “statis”, dan “tetap” bukanlah kata-kata yang harusnya digunakan. Pasalnya, identitas seseorang tidak begitu saja terbentuk dalam waktu sekejap.

Mengacu pada penjelasan Brunhilde Scheuringer dalam tulisannya yang berjudul Multiple Identities: A Theoretical and an Empirical Approach, identitas seseorang bisa jadi terbentuk secara unik dan bisa berubah-ubah berdasarkan waktu dan lingkungan sosial (social milieu) di mana individu tersebut berada.

Penjelasan teoretis dari Scheuringer ini pun bisa jadi langsung mematahkan persoalan narasi identitas yang dikemukakan Ruhut. Pasalnya, Anies sendiri secara tanpa sadar juga menjalankan interaksi-interaksi sosial di banyak tempat dan waktu yang berbeda.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pertama, asumsi bahwa Anies juga seorang Jawa bisa dijelaskan melalui latar belakang Gubernur DKI Jakarta tersebut sendiri. Mantan Rektor Universitas Paramadina tersebut sedari belia tumbuh di wilayah yang berbudaya Jawa secara kental, yakni Yogyakarta.

Saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), Anies mengenyam pendidikan di Yogyakarta. Bahkan, hingga pendidikan tinggi tingkat sarjana pertama (S-1), Anies juga masih menghabiskan sebagian besar waktunya di Yogyakarta dengan menjalankan studinya di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Polemik Rumah Sehat Anies

Kedua, selain lingkungan pertemanan dan sekolah, Anies juga memiliki keluarga yang erat dengan tradisi dan nilai budaya Jawa. Kedekatan dengan budaya Jawa ini bisa jadi turut tersalurkan melalui proses internalisasi yang terbangun dari kedekatan personal dengan kakeknya, yakni Abdurrahman Baswedan atau yang lebih dikenal sebagai AR Baswedan.

Meski merupakan keturunan Arab, AR Baswedan lahir dan besar di kawasan Ampel, Surabaya. Ini pun membuatnya lebih menggunakan dialek Bahasa Jawa khas Jawa Timur (Jatim) ketika berbicara.

Tidak hanya itu, pada tahun 1930-an, komunitas Arab sempat dianggap mendukung pemerintah kolonial Belanda. AR Baswedan pun mengambil peran untuk memperbaiki posisi komunitasnya – misal dengan menulis di media-media pribumi dengan fotonya yang menggunakan blangkon khas Jawa.

Ketiga, kedekatan komunitas Arab yang tercerminkan dalam keluarga Anies juga bisa terbangun melalui interaksi sosial yang selama ratusan tahun terbangun antara komunitas Arab dan komunitas Jawa. Contoh paling nyata adalah kehadiran Walisongo yang berperan dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.

Meskipun sebagian besar lahir dari komunitas Arab, para ulama Walisongo pun menggunakan nilai dan tradisi budaya Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Bahkan, interaksi dan kontak sosial antara komunitas Arab dan Jawa ini membuat para Walisongo juga memiliki pengaruh sosial dan politik di kerajaan-kerajaan Jawa.

Pada akhirnya, berkaca dari penjelasan teoretis Scheuringer dan bagaimana proses internalisasi serta sosialisasi di lingkungan sosial sekitarnya, Anies bisa saja memiliki apa yang disebut oleh Scheuringer sebagai identitas jamak (multiple identities). Ini pun bisa membuat Anies memiliki identitas yang unik.

Alhasil, belum tentu Anies memiliki identitas Arab sepenuhnya. Begitu juga sebaliknya, belum tentu juga Anies memiliki identitas Jawa sepenuhnya. Layaknya rapper bernama Logic yang memiliki identitas unik, identitas Anies pun adalah Anies itu sendiri – bukan soal kategori sosial tertentu saja. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.